Liona diam membisu, berusaha mencerna baik-baik apa yang dikatakan Bagas barusan.
Mungkin hal itu mudah dilakukan jika saja Liona memang mengabaikan rasa tidak nyaman itu.
Rasa yang perlahan membuat kepercayaannya goyah, rasa yang membuat dadanya penuh sesak. Seakan dia memang bersalah atas rasa sakit yang dialami Annisa, padahal Annisa sendiri yang menjerumuskan dirinya ke dalam pusaran cinta yang salah.
Tapi dasar wanita, sekuat apapun dia berkata tidak pada dunia, maka hatinya senantiasa ingkar.
"Lio--- em terserah sih lo mau percaya atau enggak, tapi gue yakin Lion emang gak bercanda sama lo, gue juga berharap hubungan kalian bisa langgeng sampe Kakek-Nenek, sebagai sepasang kekasih," harap Bagas.
Liona tetap diam membisu. Kakek-nenek? Apa mereka bisa menjalin hubungan selama itu?
Jika dibayangkan memang menyenangkan, tapi jika dipikirkan lagi itu jelas bukan proses yang mudah. Akan ada banyak rintangan yang menghadang, sama halnya dengan masalah Annisa, mungkin nanti akan ada Annisa, Annisa lainnya yang siap memporak porandakan hati Liona atau mungkin nanti akan ada Lion lainnya yang bersiap menghancurkan kebahagiaan Lion.
"Liona!" tegur Bagas.
"Ehhh-- iya kenapa?" tanya Liona gelagapan. Ia baru saja tersadar dari lamunan panjangnya yang entah akan berakhir di mana.
"Jangan ngelamun tar kesambet!" celetuk Bagas. Niatnya sih bercanda, tapi gak lucu.
"Hmmm...," balas Liona sambil meletakkan gelas yang berisi air mineral yang tersisa seperempatnya.
"Udahlah gak usah bahas bucin mulu. Intinya sih lo cukup percaya sama si Lion, diluar hal itu, itu sih ujian lo. Kalau lo bisa bertahan mungkin suatu saat nanti Tuhan kasih Lion buat lo begitupun sebaliknya. Sekarang waktu bahas masalah kita," celetuk Bagas mengalihkan topik pembicaraan.
Sebentar, sebentar---kita? Sejak kapan? Apa Liona salah dengar? Sepertinya tidak! Lalu kenapa tiba-tiba Bagas membahas soal kita.
Kata kita biasanya tersemat pada mereka yang sudah mengenal lama. Baik itu wanita maupun pria yang menjalin pertemanan atau ikatan lainnya.
Rasanya aneh saat Bagas justru membahas hal itu dikala mereka baru saja mengenal, masih itungan jari mereka bertemu dan saling berbicara satu sama lainnya.
"Emang kita kenapa?" tanya Liona balik.
"Ya gak kenapa-kenapa sih! Secara fisik mungkin sehat, mental siapa yang tahu!" balas Bagas santai.
"Mental? Kenapa lo jadi bahas mental sih, lo penasaran sama mental gue ya?" tanya Liona penuh curiga.
"Dih! Enggak juga tuh!" balas Bagas bohong, dalam hati jelas sekali Bagas bertanya-tanya akan mental Liona yang hidup ditengah-tengah keluarga yang berkecukupan. Menjadi anak tunggal dan pewaris dari kerajaan bisnis milik ke-dua orang tuannya.
Tapi lihatlah, Liona tampak tidak bahagia dengan apa yang dia miliki, mungkin bagi Liona harta bukan tolak ukur kebahagiaan, walaupun di luar sana banyak pasang mata yang ingin hidup di posisi Liona.
"Bohong aja lo!" sanggah Liona. Dengan santai tangan Liona melayang menggeplak lengan kiri Bagas.
"Astaga! Sakit woyy!" ringis Bagas.
"Lebay deh!" canda Liona.
Bagas balik mendengus kesal. Menghiraukan Liona yang tampak bahagia diatas penderitanya.
"Lo sendiri gimana? Bahagia sama keluarga lo? Ahhh! Gue yakin lo bahagia, Bunda lo pasti perhatian sama lo kan? Dia selalu ada setiap hari, gak sibuk kayak Mami gue!" celetuk Liona.
Raut wajah bahagianya seketika berubah sendu, topik keluarga selalu menjadi kelemahan Liona. Keluarga? Entah jangan bahas itu, untuk saat ini Liona masih enggan beradaptasi dan menerima kenyataan yang tidak bisa ia rubah sedikitpun.
"Alhamdulillah sih, semua berjalan dengan baik. Sesibuk-sibuknya Ayah atau Bunda mereka masih bisa istirahat. Dibilang kurang kasih sayang juga enggak. Semua tergantung pola pikir kita juga standar bahagia yang kita inginkan. Buat gue adanya mereka di dunia aja udah lebih dari cukup. Soal pelukan hangat dan tetek bengeknya gue gak masalah kalau gak dapet, asal gue emang anak biologis mereka aja!" balas Bagas.
Pola pikir? Liona kembali bertanya-tanya dalam hati, pola pikir? Apa selama ini pola pikirnya yang kurang luas dan memandang sempit di satu arah?
Lalu standar kebahagiaan? Apa standar kebahagiaan yang Liona inginkan terlalu tinggi, bukankah itu standar yang wajar saja.
"Lo tahu gak, semakin lo mau berubah, deketin diri ke Tuhan. Setiap langkah kaki lo di dunia pasti akan ada kebaikan juga pembelajaran berharga atau step by step Tuhan bantu lo dapetin apa yang lo mau, coba aja kalau gak percaya!" ujar Bagas.
Liona kembali diam. Memikirkan apa benar yang dikatakan Bagas, memang sejauh ini Liona masih jauh dari Tuhan, dia selalu fokus pada apa yang tidak bisa ia dapatkan.
Soal kasih sayang yang tidak pernah ia gapai dan soal keluarga yang terus menjauh.
Dua hal yang sejatinya tidak bisa digenggam erat, dua hal yang kelak akan diminta oleh Tuhan dan dua hal yang kelak akan dipertanggung jawabkan.
Kehidupan dunia selalu menipu Liona, seakan manisnya dunia itu lebih manis dari surga. Seakan pahitnya dunia itu akhirnya dari kehidupan.
Padahal setelah mati akan ada kehidupan lain yang menunggu dan lebih berat untuk dijalani.
"Gue gak tahu, apa pola pikir gue bener atau enggak? Gue juga gak tahu, apa standar kebahagiaan gue terlalu tinggi atau enggak? Gue juga gak tahu harus ngelakuin apa. Mungkin lo pernah denger soal kehidupan gue dari Lion, atau kalau enggak pun gue yakin sekarang lo ngerti. Ya! Ini hidup gue, ini keluarga gue dan gue ada di dalam kehidupan ini. Gue tokoh utamanya, tapi kadang gue gak bisa jadi tokoh pigura di cerita kedua orang tua gue, gue selalu pengen jadi tokoh utama dan semua itu jelas buat gue semakin menderita," jelas Liona.
Tokoh utama sebuah cerita, sering kali ditempa derita lalu bertemu dengan beberapa orang yang membantunya untuk bangkit, lalu kehidupan si tokoh mulai membaik dan semuanya mulai tertata rapih sesuai keinginan si tokoh, and happy ever after.
Tapi itu belum terjadi pada kehidupan Liona. Dia baru saja mencapai tangga pertolongan belum kebahagiaan, tapi ia ingin segera mencapai tangga terkahir itu.
"Hidup gak kayak di negeri dongeng Liona. Sampe kapanpun lo kejar! Gak akan bisa! Ya, ini dunia yang sebenarnya, kehidupan yang harus lo jalanin. Baik buruknya lo sendiri yang tentuin, bukan pengarang amatir bernama manusia. Segala urusan ada di tangan Tuhan, jadi minta sama Tuhan. Kebahagiaan dunia itu bukan tolak ukur yang pas, karena segala hal yang berkaitan dengan dunia jelas aja binasa, maybe lo harus ubah pola pikir. Jadi setiap kali lo tersakiti lo akan biasa-biasa aja!" saran Bagas.
Memberikan solusi memang mudah, yang susah itu melaksanakannya.
"Hmmm, next I will try," tuntas Liona sebagai bagian akhir dari cerita yang tak berkesudahan ini.