Pukul empat sore, Liona masih setia dengan secangkir coklat panas yang tersisa setengah. Ia genggam erat gelas berwana putih itu sambil menatap langit yang mulai berubah warna.
Senja kembali menampakkan sinarnya tanpa ada awan atau penghalang apapun.
Bagas dan keluarganya pulang setengah jam lalu dan Liona kembali kepada dunianya yang sepi.
Kedua orang tuanya kembali asik di ruang kerja, mempersiapkan beberapa proyek yang tengah mereka garap.
Beberapa asisten rumah tangga juga sibuk mempersiapkan menu makan malam atau melakukan tugas rumah lainnya.
Rumah dengan halaman yang luas itu tampak bersih dah terawat, tapi sayang di sana hanya ada kesunyian.
Pyuh, cicit Liona menatap sekitar.
"Lagi-lagi sepi! Lagi-lagi gue overthinking. Kampret emang si Bagas! Bukannya bantu malah nambah runyem masalah," keluh Liona.
Semilir angin menerpa rambut panjang Liona yang tergerai. Sekali dua kali Liona menarin napasnya dalam, menghembuskannya dan pilihan terakhir ia bangkit lalu berjalan menuju kamarnya yang ada di lantai dua.
Mandi, ganti pakaian dan bersiap makan malam.
Meja makan masih kosong, belum ada satupun lauk yang siap. Jam dinding tak terasa menunjukan pukul tujuh malam. Tiga jam berlalu bergitu saja tanpa ada keistimewaan didalamnya.
Liona tetap diam, memikirkan apa yang seharusnya ia lakukan. Menerima? Baiklah, tapi tunggu dulu. Masih ada hari esok, tapi hari ini biarlah ia diselimuti gundah.
"Capek banget sih jadi human," gumam Liona pelan.
"Apa maksud kamu?" tanya Papi yang tiba-tiba datang ke meja makan.
"Gak ada Pi," balas Liona singkat.
Lenggang, lima menit berlalu menyisakan suara piring yang berisi makanan.
"Makan!" ucap Papi.
"Mami?" tanya Liona sebelum menyendok nasi beserta lauk pauknya.
"Nanti Mami nyusul. Sekarang makan ada yang mau Papi omongin!" tuntas Papi.
Liona tak banyak bicara, ia bergegas menghabiskan menu makan malamnya, entah hal apa yang akan Papi bahas. Liona sebenarnya malas, apalagi jika berhubungan dengan kehidupannya. Kehidupan remaja yang dikekang dengan tuntutan nilai.
Aghhgh, membayangkannya saja membuat perut Liona mual. Makanan yang malam ini Liona makan seolah racun yang siap membunuhnya secara perlahan.
"Udah?" tanya Papi satu setengah jam kemudian.
Liona balas mengangguk.
"Ikut Papi!" ajak Papi yang langsung berdiri lalu melangkah ke area taman bunga.
Liona pasrah mengikuti langkah lebar Papi dari belakang. Wajahnya tertekuk malas, sorot matanya juga lelah. Ia butuh istirahat setelah berperang melawan pikirannya sendiri.
Tidur menjadi solusi terbaik kala kepala sangat berisik, walaupun jelas tidur dengan kondisi beban masalah yang belum selesai bukan pilihanl
yang baik.
"Duduk!" tegas Papi dengan sorot mata tajam bak elang.
Liona tanpa sadar meneguk salivanya sebelum duduk di kursi kayu yang ada di hadapan Papi.
Ketegangan pun terjadi antara Ayah dan anak gadisnya itu.
"Kamu satu sekolahan sama si Lion?" tanya Papi.
Liona yang sedari tadi menunduk ragu-ragu mengangkat kepalanya, menatap Papi penuh tanya.
"Iya," balas Liona singkat. Kepalanya mengangguk mantap.
Papi tampak menghela napasnya berat, tersenyum kecut dan beralih menatap ke samping kanan dengan spot kolam ikan dan air mancur mini.
"Nilai kamu harus jauh lebih baik dari dia. Bukan cuma dari Lion, tapi dari Bagas juga Rio. Anggap ketiganya musuh kamu, ingat itu!" tegas Papi.
Raut wajah Papi tampak mengeras dengan dagu lancip juga sorot mata bagaikan elang.
Ragu-ragu dengan mata sayu Liona menatap balik binar mata hitam legam milik Papi. Tersenyum kecut dengan mata yang juga mulai berembun.
Lagi-lagi ia harus berjuang. Ia bahkan harus menganggap teman-temannya sebagai musuh, apalagi yang akan Papi minta?
"Kenapa? Kenapa Liona gak bisa kayak yang lain. Liona capek Papi, nilai Liona juga bagus kok, gak perlu jadi juara satu terus supaya bisa lulus kan Pi? Dan soal universitas, SMA aja baru mulai. Kenapa Papi udah berpikiran ke sana? Itu masih jauh Pi!" keluh Liona yang langsung mendapatkan cengkraman kuat di kedua bahunya. Saking kuatnya cengkraman itu membuat Liona meringis kesakitan dan perih yang menjalar di kulit pundaknya.
"Denger! Kamu pewaris satu-satunya bisnis keluarga kita. Jadi jangan buat kita malu dengan nilai kamu yang pas-pasan! Jadi yang terbaik dari yang terbaik!" tegas Papi.
Tidak ada secuil pun binar mata penuh cinta, hanya ambisi! Ambisi yang membuat Papi gila kerja dan senang menuntut Liona.
"Pi," cicit Liona pelan.
"Jangan nangis! Cengeng kamu! Papi dulu berjuang dari nol supaya bisa mewarisi perusahaan kakek kamu, Mami juga. Bahkan tindakan yang Papi lakukan sekarang ke kamu itu jauh lebih baik dibandingkan kakek kamu. Jadi buat Papi bangga memiliki anak perempuan seperti kamu yang bukan cuma cantik, tapi juga berprestasi. Udah cukup masa SMP kamu yang santai! Sekarang SMA kamu harus jauh lebih berprestasi lagi! Papi gak terima penolakan!" tegas Papi untuk yang kesekian kalinya. Setelahnya Papi dengan enteng mendorong bahu Liona yang membuat Liona limbung lalu jatuh ke rumput taman yang hijau.
Papi pergi begitu saja meninggalkan Liona, sedangkan Liona hanya bisa menatap punggung Papi yang kian menjauh.
"Apa nilai yang bagus, prestasi memukau lebih penting dari mental gue? Apa Papi emang mau gue masuk RSJ? Kenapa? Apa gak cukup! Gue capek sama drama ini!" gumam Liona pelan.
Malam semakin larut, udara dingin mulai menusuk tulang. Liona masih setia duduk di rerumputan hijau itu sambil memandang gelapnya langit tanpa berniat untuk beranjak pergi.
"Non Liona?" tegur salah satu asisten rumah tangga Liona.
"Pergi Bi!" balas Liona yang tidak ingin diganggu.
Tiga puluh menit berlalu dan Liona akhirnya jatuh berbaring dengan mata yang sembab. Ia lelah, lelah dengan apa yang terjadi di hidupnya.
Tuntutan-tuntutan yang kian mencabik akal sehatnya, membuat kepalanya begitu berisik dengan deru napas juga detak jantung yang meningkat sedangkan pasokan oksigen yang kian menipis membuat dadanya terasa sesak.
"Kenapa? Kenapa harus gue? Kenapa kayak gini! Sampe kapan? Gue capek, gue bener-bener capek, kenapa sih! Kenapa gue cuma bisa ngeluh doang? Kenapa gue gak berusaha lebih, kenapa gue gak bisa bangkit terus kabur dari rumah ini, kenapa sih?" keluh Liona di tengah kegelapan yang kian mencekam.
Kesadaran Liona mulai menipis, semilir angin dingin yang berhembus berhasil membuat mata Liona tertutup sempurna ditengah rumput hijau yang terawat itu.
Biarkan ia tertidur di ranjang berseprai rumput ini. Ia sangat lelah dan jika bisa biarkan ia terbangun di ranjang pesakitan berwarna putih yang ada di rumah sakit. Ia menyukai hal itu, sangat!
"Astagfirullah! Non Liona!" teriak salah satu asisten rumah tangga yang tadi menegur Liona, tampaknya ia panik melihat kondisi Liona yang jelas jauh dari kata baik.
"Ada apa Bi?"
"Ada apa?"
"Kenapa?"
Dan masih banyak kalimat lainnya, namun sayang Liona telah lebih dulu menutup telinganya. Ia benar-benar kehilangan kesadarannya.