Chereads / Ricketly House / Chapter 11 - Rembulan dan Janji

Chapter 11 - Rembulan dan Janji

Rembulan kembali menampakkan sinarnya, bulat sempurna dan sebagaian sinarnya tak sengaja menerpa wajah Liona, membuat wajah itu tampak bercahaya.

Lion yang duduk di samping Liona tersenyum melihat kilat cahaya putih lembut yang menyinari wajah gadis yang ada di sampingnya.

"Cahaya ini lembut menerpa wajah, tapi tidak pernah bisa menyentuh kelembutan hati kedua orang tua ku," cicit Liona.

Gadis dengan rambut panjang yang tertutup kain berwarna abu-abu itu tersenyum kecut.

Mengingat berbagai momen yang telah ia lalui, bukan hanya momen kehidupan tanpa kasih sayang yang utuh dengan keberadaan dua orang tua yang masih ada, tapi dilain sisi ia memiliki satu keinginan.

Mendekap cinta pertamanya dengan penuh kerinduan, menyalurkan segala cinta yang ada di antara keduanya.

"Tapi cahaya lembutnya cukup untuk membuat gadis di sampingku tersenyum walau penuh duka, ia bisa bangkit dengan sisa tenaganya. Percayalah Liona, ada manusia lain yang dengan kehadiran kamu di dunia ini diam-diam tersenyum dan bersyukur hanya cukup dengan kehadiranmu," balas Lion mengingatkan.

Mungkin satu orang membuat hati patah, membuat hidup tak tentu arah, tapi banyak jiwa yang akan mendekap jauh lebih erat dari dia yang hanya bisa menyayat hati.

Cukup bersyukur dengan apa yang bisa dimiliki saat ini, sama halnya seperti Liona, ia hanya perlu bersyukur dengan kasih sayang Lion juga keluarganya, maka itu jauh lebih cukup dibandingkan ia mengharapkan hal yang saat ini sulit untuk digapai.

"Dan manusia itu kamu, bener kan?" tanya Liona memastikan.

Dalam hati harap melambung hingga rasanya sulit untuk mengungkap satu katapun, tapi ia juga takut. Takut suatu saat nanti Lion pergi dengan sikap juga berbagai sikap dan sifatnya.

Manusia jelas akan menunjukkan sisi diri yang sebenarnya saat hubungan yang terjalin semakin erat dan dalam jangka waktu yang lama.

Hangat jadi dingin, dekat jadi asing. Sering kali hubungan antara manusia memang berjalan seperti itu.

Seperti kedua orang tua yang kelak akan memberikan anak perempuannya pada seorang pria, dulunya jika ada masalah anak itu akan bercerita panjang kali lebar pada kedua orang tuanya, tapi kelak jika sudah menikah maka peran orang tua akan di gantikan oleh dia, pria yang berhasil meminang hati dengan tekad yang kuat.

Tapi, belum sampai kisah itu terjadi, Liona telah mendapatkan rumah yang menjadi tempat bercerita.

Lion, tempat paling nyaman untuk bercerita selain pada Tuhan. Oleha karenanya ketakutan akan kehilang semakin menjadi dengan meningkatnya usia kedua remaja itu.

Jika Liona terang-terangan menunjukkan rasa gelisahnya, berbanding terbalik dengan Lion yang lebih memilih diam dalam bayang-bayang rasa takut.

"Iya, itu aku. Aku bersyukur kamu ada di dunia dan aku bersyukur Tuhan memberikan kamu untuk hadir dalam hidup aku," balas Lion.

Tidak ada yang lebih patut disyukuri dari karunia Sang Ilahi, menghadirkan mahluk ciptaan-Nya untuk melengkapi rumpang cerita yang kurang serasi jika dijalani seorang diri.

"Kenapa?" tanya Liona singkat.

Matanya tertoleh, menatap penuh bagian samping wajah Lion yang tampak tegas dengan dagu yang mengeras.

Lain halnya dengan Lion, binar mata pria itu menatap penuh ke atas langit yang tampak abu-abu dengan binar bulan dengan cahaya putih bersihnya.

"Karena...," Lion tak dapat menjawab pertanyaan itu. Ia juga tidak tahu menahu akan hal yang bersangkutan dengan hal itu. Tapi sungguh ia sangat bersyukur dengan kehadiran Liona.

Kadang kala ada beberapa kalimat juga kata tidak bisa diungkapkan untuk menggambarkan apa yang ada dalam hati, cukup dirasakan hingga nantinya bisa diketahui oleh dia yang terpenjara dalam hati.

"Kenapa selama kamu pergi kamu gak pernah bales surat-surat yang aku kirim? Kamu tahu, aku nunggu semua hal itu. Aku berharap suatu saat nanti akan ada satu balasan surat dari kamu, tapi sampai sekarang, sampai kamu lulus gak ada satupun balesan surat dari kamu. Aku salah apa? Aku salah nulis? Aku... Apa yang lebih buruk dari menunggu tanpa komunikasi?" ucap Liona dengan derai air mata yang mulai turun membasahi kedua pipinya.

Kali ini untuk yang kesekian kalinya Liona menangis di hadapan Lion, gadis itu benar-benar rapuh jika bercerita menyangkut perasaannya.

Rasa sesak yang memenuhi dadanya kini tumpah ruah di hadapan seorang pria yang selama ini ia rindukan.

Sungguh rasa rindu yang kian membuncah akan terselesaikan dengan pertemuan juga perbincangan yang cukup antara dua manusia yang saling mengubur komunikasi dengan jarak.

Lion balas tersenyum, ia balik menatap wajah Liona yang tampak murung bahkan penuh dengan tangis derai air matanya.

Tangan Lion kini sempurna terangkat, untuk pertama kalinya ia menyentuh kedua pipi Liona, melupakan prinsip utamanya, ia benar-benar telah jatuh dengan kesakitan yang Liona rasakan.

Tangannya dengan lembut menghapus bulir air mata yang kian mengalir membasahi pipi Liona tanpa henti.

Semenit kemudian ia dengan lembut menarik tubuh Liona dalam dekapannya, mendekap tubuh gadis itu dengan erat. Menyalurkan rasa hangat juga aman.

"Aku sakit Lion, aku sakit tanpa kamu di sini. Aku kehilang kamu, aku bertahan sejauh ini juga karena kamu, aku selalu nunggu kamu pulang. Supaya nanti kita bisa bertukar cerita dengan bebas. Hiks hiks..." Liona tak sanggup lagi mengungkapkan berbagai rasa yang menyesakan dada.

Sungguh setelah beberapa kata itu tumpah ruah di hadapan Lion, ada sedikit kelapangan di dadanya. Ia bisa bernapas dengan mudah tanpa ancang-ancang.

"Semua jawaban kamu ada di buket mawar tadi, semua ada di sana Lio, kamu cukup buka itu. Aku gak mau kamu berharap lebih disaat aku belum bisa bawa hubungan kita ke jenjang yang lebih serius, aku minta maaf Lio. Aku gak tahu kamu akan sesakit itu," jelas Lion.

Hatinya jelas terisi sakit, niat hati ingin melindungi, tapi nyatanya ia justru menoreh luka dengan belati hati.

Liona tidak main-main dengan hatinya, ia tidak akan pernah bisa melalui hal tidak mengenakan ini jika tanpa Lion di sisinya.

"Aku gak mau kamu pergi lagi Lion. Aku mau kamu selalu ada di samping aku, kita arungi dunia ini sama-sama. Aku mohon, please don't leave me again," pinta Liona dengan sangat.

Liona lebih dulu mengurai pelukan hangat itu, ia memberanikan diri menatap binar mata Lion yang kini dibalas dengan binar mata yang sama.

"Aku janji gak akan pergi lagi Liona, tapi satu hal yang pasti. Suatu saat nanti ketika usia kita sudah legal untuk menikah, aku tidak akan menunda lagi. Jika kamu setuju itu artinya kamu siap jika hal itu datang bahkan saat kita masih sekolah, apa kamu siap?" tanya Lion serius. Baginya tidak ada kata pacaran, oleh karena itu ia ingin segera membawa hubungan itu pada jenjang yang lebih baik lagi.

Bukan berarti ia tidak memiliki persiapan, Lion bukan pria yang hanya berbual, ia benar-benar telah mantap dengan keinginannya itu.

"Off course, aku siap kapanpun itu." Tuntas Liona.

Kedua manusia itu kembali menikmati keheningan malam yang dingin dengan cahaya rembulan yang kian menjauh, malam ini menjadi saksi akan komitmen dua anak manusia yang saling berjanji untuk sehidup semati.

Tapi sekali lagi jalan cerita kehidupan selalu berbeda dengan harapan.