Malam ini baik Lion maupun Liona, keduanya bisa tidur dengan nyaman dan nyenyak tanpa sesak rindu.
Liona berkali-kali tersenyum dengan kejadian tadi, ia benar-benar mabuk kepayang dengan Lion.
Di lain sisi Lion akhirnya bisa bernapas lega karena kini ia bisa memastikan satu hal yang selama ini ragu untuk dia ucapakan.
Bukan meragukan keteguhan cinta Liona, tapi ia hanya takut bahwa gadis itu hanya terobsesi tanpa menginginkan hal yang lebih.
Bagi Lion cinta memang hal wajar, tapi sewajarnya jika cinta bisa dibawa ke ranah yang lebih serius dalam sebuah mahligai pernikahan.
Mungkin bagi kebanyakan remaja di luar sana, menikah diusia dini bukanlah hal yang menyenangkan bahakan sekedar terlintas dalam benak pun rasanya sulit.
Melihat bagaimana gaya hidup dijaman sekarang juga kebutuhan ekonomi yang kian meningkat seiring berkembangnya jaman, maka sudah dipastikan beban ekonomi akan kian meningkat dan pagi pundak seorang remaja tentu bukan hal yang mudah dan menyenangkan.
Mereka akan lebih fokus pada tujuan bagaimana cara supaya bisa membiayai hidup anak gadis yang telah mereka ambil dari kedua orang tuanya.
Umumnya remaja akan menghabiskan waktu dengan bermain-main juga menghabiskan waktu dengan teman-teman dan lagi mencari jati diri, tapi jika memilih menikah muda, maka semua itu akan mudah terlepas. Mengikhlaskan masa pencarian jati diri dan menuntut diri untuk bisa dewasa dengan pilihan yang diambil.
Hingga pagi menjelang rasa bahagia itu kian membuncah, terutama bagi Lion.
Jam 4 pagi Liona bangun lebih awal, mengalah bunda.
Dia bergegas ke dapur, memasak makanan untuk sarapan. Saat adzan berkumandang, Liona bergegas mandi dan berganti pakaian. Sebagian makanan telah rampung ia masak, hanya tinggal memasaknya saja dan sebagai lagi belum ia olah.
"Gue shalat dulu deh," ujar Liona.
Setelah menunaikan kewajibannya, Liona kembali asik berkutat di dapur, tidak berselang lama bunda menyusul.
"Sayang, kamu udah masak? Jam segini?" tanya Bunda, matanya menggerling, melihat jam yang ada di dinding dapur lalu kembali menatap wajah Liona yang kini kembali dibanjiri peluh.
"Hehehehe iya, maaf ya Bun. Sebagian bahan makanan udah Liona masak," balas Liona.
Sebenarnya ini bukan kali pertama ia memasak di rumah ini, saat Lion berada di pondok, Liona sering nemasak bersama dengan bunda dan bunda pernah bilang, "Anggap rumah kamu, jangan sungkan buat masak atau makan di sini," ucapnya.
Hati Liona menghangat saat bunda dari pria yang ia cintai mendukung apa yang ia sukai.
Bukan hanya memasak, Liona bahkan suka dengan kegiatan menulis juga menyanyi dan jangan lupa bermain bola voli.
Setiap kegiatan yang ia sukai selalu mendapat dukungan penuh dari Bunda. Lain halnya dengan Mami yang kadang kala menentang hal itu.
Sudahlah lupakan! Untuk hari ini Liona ingin tampak secantik mungkin, hingga tidak ada lagi wanita yang bisa menatap wajah Lion, karena pria itu kini miliknya.
"Gak papa sayang, bunda bantu ya," balas Bunda.
Liona balas mengangguk, membiarkan Bunda membantu beberapa pekerjannya.
Ayah menjadi yang pertama hadir di meja makan.
"Wahhh masak apa nih?" tanya Ayah dengan mata yang bergeliat kemana-mana.
Mata penuh binar dengan napsu makan yang tiba-tiba meningkat saat melihat beberapa makanan yang telah tersaji di meja makan.
"Semua masakan Liona dan semua kesukaan Lion," ucap Bunda.
Liona yang tengah asik mencuci anggur merah itu tersenyum canggung, mau sampai kapanpun ia tetap merasa malu jika dipuji Bunda atau Ayah.
"Bangunin Lion Yah," pinta Bunda.
Ayah mengangguk dan bergegas naik ke lantai dua, membangunkan putranya yang masih meringkuk di bawah selimut.
Semalam ia tidur larut malam, bangun jam 2 pagi, tidur beberapa jam dan bangun lagi saat adzan subuh. Sungguh Lion kini sangat mengantuk. Matanya berat sekali.
Tok tok
Pintu yang diketuk oleh Ayah dari luar tak dapat membangunkan pria itu.
Untung pintu itu tidak dikunci, Ayah bergegas merangsek masuk dan bergegas melempar selimut itu dari tubuh putranya.
"Bangun! Liona udah capek-capek masak buat kamu. Cepet!" tegas Ayah.
Pria setengah baya itu kembali pada sifat aslinya yang tegas dan tidak suka dibantah.
"Bangun! Jangan males! Kita harus ke pondok kamu kan! Acara jam 9! Kita gak boleh telat!" sekali lagi Ayah berucap dengan tegas, bahkan kini ia mulai mencubit lengan putranya itu agar segera bangkit.
"Iya Ayah," balas Lion malas-malasan.
Mata 5 watt itu terpaksa harus dibuat terjaga demi bisa membungkam mulut Ayahnya.
"Mandi sana! Siap-siap!"
Lion mengangguk cepat, bangkit dan bergegas menyambar handuk yang tergantung di dekat pintu kamar mandi.
Dengan langkah yang gontai, pria itu melangkah menuju kamar mandi. Bergegas menyiram tubuhnya dengan air yang dingin membuat sebagian kantuknya pergi.
"Cepet Lion!" gerutu Ayah.
Padahal Lion baru saja mandi, mungkin baru 10 menit dia berada di kamar mandi, tapi Ayah lagi-lagi memintanya bergerak cepat.
"Lion!" teriak Ayah tak sabaran.
"Bentar Yah. Ini lagi ganti baju," balas Lion.
Liona dan Bunda yang masih sibuk dengan beberapa lauk pauk tertawa singkat mendengar gerutuan Ayah.
"Ayah sama Lion kalau deket selalu kek kucing sama anjing. Susah akur, giliran jauh saling merana," celetuk Bunda.
Liona kembali tersenyum, ya! Itu memang benar adanya. Anak dan Ayah itu memang tidak pernah akur jika dekat. Tapi itulah perekat hubungan yang sebenarnya antara buah hati dan orang tuanya.
"Tapi rumah jadi rame ya Bun. Gak kayak rumah Lio, sepi terus," cicit Liona.
"Ehh maaf Bun," sambung Liona. Ia tidak bermaksud menurunkan selera humor Bunda, tindakan itu benar-benar spontan.
Ia memang sering membandingkan kehidupan orang lain dengan dirinya, tapi hanya pada orang-orang yang ia anggap bisa menyimpan rahasianya.
Bunda menggeser posisinya, kini ia berdiri tepat di sisi samping tubuh Liona.
"Jangan sedih, kan ada rumah Bunda. Rumah kita cuma kehalang dua rumah aja, ada Bunda Lio. Lio anak Bunda juga kok," ucap Bunda berusaha membesarkan hati Liona.
Apa lagi yang bisa ia lakukan selain membesarkan hati gadis di sampingnya itu. Gadis yang seumuran dengan putranya dan berharap bisa menjadi anaknya seutuhnya.
Tangan kanan Bunda seperti biasa meraih jemari tangan Liona, mengelusnya lembut.
"Jangan sedih ya," ucap Bunda lagi.
Liona mengangguk samar, matanya yang mengembun tanpa kendali justru banjir dengan lelehan cairan bening di atas pipi.
"Don't cry, Bunda ada di sini buat kamu."
Bunda bergegas memeluk tubuh Liona. Ia tahu perjuangan Liona tidaklah sesingkat itu. Ia bangga bisa berkenalan dengan Liona, gadis yang kuat.
"Makasih Bunda," ucap Liona tulus.
Bunda tersenyum dan mengurai pelukan itu.
"Yaudah yu siap-siap. Nanti beres Saparan kita langsung otw," ajak Bunda.
Baiklah demi tampil cantik Liona akan berdandan. Baju telah disiapkan Bunda juga kado yang telah Liona siapkan. Ia jauh lebih siap dalam menghadapi beberapa santriwati yang mungkin memiliki perasaan lebih pada Lion.
"Siap tempur," gumam Liona, setelahnya ia bergegas bergabung untuk sarapan.
Hari ini aja menjadi awal sakit hati bagi Annisa, sakit hati yang sesungguhnya. Ia dipaksa untuk menerima kenyataan yang tidak pernah ia harapkan.