Sesuai ekspektasi Liona makan siang dalam rangka merayakan kelulusannya itu berubah menjadi acara bisnis yang membosankan.
Liona berkali-kali harus memasang senyum manis seolah menikmati jamuan makan siang yang mewah itu.
Lion bahkan berkali-kali juga harus mengikut lengan Liona supaya gadis itu mau diajak berkompromi dengan keadaan.
Ini bukan hal baru bagi Lion melihat Liona yang malas-malasan dengan jamuan makan siang antar kolega bisnis kedua orang tuanya.
Berkali-kali Liona selalu berkilah, berusaha untuk kabur dan tidak menghadiri setiap jamuan makan siang atau makan malam yang membosankan itu.
Terkadang ada niat terselubung di sana, entah itu perjodohan atau hal lain yang sama sekali tak ingin Liona ketahui.
"Anak kamu cantik banget," puji wanita setengah baya dengan tampilan tak kalah glamor dari Mami Liona.
Mami Liona balas tersenyum bangga dengan tangan yang mengelus lembut pundak kiri Liona.
"Makasih loh jeng. Rio juga ganteng, pinter lagi. Nanti kalian satu SMA kan?" tanya Mami pada ibu dari pria bernama Rio itu.
Rio tersenyum mendengar pujian dari ibu Liona, tapi berbeda dengan Liona yang justru acuh. Kuping sudah kebas dengan kata-kata manis itu.
"Iya," jawab Rio singkat.
Dalam diam Lion berkali-kali menatap raut wajah Rio penuh selidik. Tatapan pria itu bukan tatapan seorang teman, tapi seorang pria yang mencintai wanitanya.
"Lo kenapa bro?" tanya Bagas yang duduk di samping Lion sedangkan Lion duduk di samping Liona.
Dengan tegas Liona menolak duduk berdampingan dengan Rio dan dengan terpaksa kedua orang tuanya menyetujui hal itu dari pada obrolan bisnis keduanya batal.
"Enggak," balas Lion singkat.
"Liona," tegur Mami saat melihat Liona yang hendak berdiri, bisa dipastikan gadis itu akan pergi meninggalkan meja makan dan memilih keluyuran di sekitaran jalan dekat restoran.
Liona balas mendengus kesal dan bergegas kembali meraih beberapa hidangan penutup dari pada moodnya hancur.
Sudah hampir 3 jam mereka makan dan berbicara, tapi masih saja ada bahan pembicaraan yang entah apa itu.
Urusan bisnis sudah, saling memuji sudah, apalagi?
"Mami..." rengek Liona setelah beberapa menit ia menyantap satu hidangan penutup berbalut coklat itu.
"Kenapa sayang?" tanya Mami lemah lembut.
Kedua bola mata Liona menggerling ke segala arah. Dalam hati ia berkata, "Pencitraan!"
"Pulang yu. Liona capek," ujar Liona.
Mami balas menatap tajam, putrinya itu selalu saja merusak rencana bisnis yang tengah dijalin.
"Sabar ya sayang, bentar lagi kita pulang kok," balas ibu Rio dengan senyum manisnya.
"Yaudah kalau gitu Liona, Lion, Bagas sama Rio mau jalan-jalan ke mall yang ada di dekat sini, gimana?" usul Liona. Baiklah mungkin Rio bisa jadi alasan mereka bisa keluar dari lingkar bisnis yang memuakan itu.
"Boleh juga, boleh ya Ma?" tanya Rio memastikan.
Lion dan Bagas balas mengangguk, mereka juga bosan berada di sana.
Terutama Bagas, pria itu benar-benar bosan! Pria berkepribadian extrovert itu nyaris kehabisan akal mengusir rasa jenuhnya.
"Akhirnya bisa keluar juga!" cicit Bagas saat keempatnya tengah berdiri di depan salah satu gedung pencakar langit yang menyajikan berjuta wahana permainan.
"Come on!" seru Liona sambil berlarian masuk ke dalam mall yang ramai itu.
Bagas yang lebih dahulu menyusul berlari, disusul Lion dan Rio.
Liona dan Bagas benar-benar menikmati berbagai wahana permainan di mall itu terutama di wahana time zone.
Keduanya seperti sudah mengenal lama, lupa bahwa ada dua manusia lain yang kini tengah berdiri menatap penuh iri pada Bagas dan dilain sisi saling perang dingin.
"Berapa lama lo kenal Liona?" tanya Rio datar.
"Dia sahabat gue, kita kenal sejak kecil. Lo sendiri?" tanya Lion balik.
"3 tahun lebih," balas Rio singkat.
"Lion!" teriak Liona, Lion balas mengangkat kedua alisnya seolah bertanya, 'Apa?'
Liona yang mengerti balas melambaikan tangannya, meminta Lion untuk mendekat.
Lion bergegas berjalan mendekat, meninggalkan Rio yang balas menatap sebal dengan hati yang dongkol.
"Kenapa?" tanya Lion.
Liona semakin mendekat, mengikis jaraka antara dirinya dan Lion.
"Makasih ya buat hari ini. Aku bahagia banget," bisik Liona tepat di telinga Lion yang ditatap nyalang oleh Rio.
Lion mengangguk sebagai balasan. Liona kemudian bergegas kembali ke wahana permainan bola basket bergabung kembali dengan Bagas.
"Apa dia cuma manfaatin gue aja?" gumam Rio.
Liona bahkan asik bermain, mengabaikannya. Sudah jelas ia hanya diajak sebagai alasan agar Liona bisa segera keluar dari restoran tadi.
"Sini!" ajak Lion. Ia tahu Rio memiliki perasaan pada Liona, tapi mengabaikannya jelas bukan tindakan yang baik. Jika ingin bersaing maka bersaing lah dengan sehat.
Dengan malas Rio melangkah menuju Lion. Keduanya kembali berdiri sejajar memperhatikan Liona dan Bagas yang asik menjajal berbagai permainan.
"Lo pasti ngerasa dimanfaatin kan?" tanya Lion.
Rio menoleh, kenapa pria di sampingnya ini berkata seperti itu?
"Kenapa lo ngomong gitu?" tanya Rio.
"Karena ini bukan kali pertama Liona pergi keluar dengan alasan anak kolegan bisnis kedua orang tuanya, apa lo gak liat wajah Liona tadi. Dia gak nyaman di tempat itu, jadi gue harap lo bisa ngerti kalau Liona emang gak bahagia dengan jamuan tadi. Dia lebih nyaman dengan dunia yang selama ini ia harapkan. Hanya kebahagiaan kecil, jadi gue harap lo gak marah," jelas Lion.
Ia tahu dimanfaatkan seperti itu bukanlah hal yang menyenangkan, maka dari itu ia harus menjelaskan alasannya pada Rio.
Rio diam membisu, ia balas menatap Liona yang tengah asik bermain di depan sana. Apa gadis itu benar-benar tidak menyukai jamuan tadi? Kenapa?
Apa Kebahagiaan yang dimaksud Lion? Kebahagiaan? Liona? Bukankah dua hal itu melekat pada Liona? Semua orang tahu itu! Jadi kebahagiaan apa yang dia cari sebenarnya?
"Ayo!" ajak Lion.
"Kemana?" tanya Rio.
"Gabung sama mereka, lo gak bosen diem di sini terus?" tanya Lion.
"Bosen sih. Boleh deh," balas Rio.
"Gue Lion," ucap Lion sambil menjulurkan tangannya pada Rio, sedari tadi mereka hanya berbicara soal Liona lupa saling mengenalkan diri. Saking antusiasnya dengan hati masing-masing pada Liona.
Kadang kerenggangan sosial bisa berasal dari hati, misalnya kasus Lion dan Rio kedua saling egois dalam mementingkan ketenangan hati, memilih untuk tidak saling mengenal lebih jauh kecuali mengenal dia yang dicintai dari pihak lawannya.
"Gue Rio," balas Rio singkat.
Setelahnya kedua pria itu memilih bergabung bermain bersama Liona dan Bagas yang kini sangat dekat, Bagas memiliki sifat yang mudah untuk bergaul, humbel dan friendly membuat Liona nyaman dan mudah menerima pria itu di dalam kehidupannya.
Keempat remaja itu saling melengkapi satu sama lain, tapi sayang hati tak menjadi alasan mengapa kerenggangan itu harus ada.
Padahal cinta itu baru saja seumur jagung bahkan sering dianggap cinta monyet yang hanya sesaat.
"Gue gak akan berjuang Liona," batin kedua pria yang saling memiliki perasaan pada Liona.
Liona sendiri lebih menikmati harinya, hari bahagia yang tak ingin ia lewatkan begitu saja.