Chereads / Fat or Slim? / Chapter 23 - Bab 23. Ancaman

Chapter 23 - Bab 23. Ancaman

Alina diam dan tidak bisa berkutik. Dirinya sedang dikunci mati oleh kedua gadis jahat itu.

Sinta terus saja membalik-balikan buku diary Alina dan membacanya sangat keras.

Namun bibirnya berhenti ketika membaca sebuah surat cinta yang berisi kata-kata romantis dan juga penuh perasaan.

"Untuk kamu pangeran baik hati di sekolah." Ketika mendengarnya Alina langsung tegak dan mencoba merebutnya. Namun sayang, dia dihadapan Reva.

Gadis itu mendorong Alina sengaja membuat arah Alina dengan Sinta jauh.

Sinta yang berpikir jika ini merupakan aib, ah tidak. Lebih jauhnya lagi adalah curhatan dari Alina memiliki ide.

Dia berlari ke dalam tenda dan memberikan diary itu kepada Tika.

Tika, gadis yang memakai jaket bulu halus itu membaca dan tawanya menggelegar.

"Lo seriusan ini diary si gendut!" ucapnya menutup mulut.

"Jelaslah. Gue ngambil dari tangannya langsung kok. Baca lagi deh ke belakang. Gadis yakin kalian pasti ngakak parah," tambah Sinta.

Audia penasaran mengambil dan membacanya. "Oh pangeranku, aku mencintaimu dalam diam."

Audia menatap mata Sinta tak percaya. "Geli banget gue bacanya anjir."

"Apalagi gue. Merinding."

Tika tertawa. Dia memiliki rencana untuk membuat Alina memberitahu siapa pangeran yang dia maksud.

Brakkkkk. Alina jatuh ke tanah dengan tangannya yang berdarah terkena ranting pohon kecil.

Sedangkan Reva pergi setelah membuat Alina cedera. "Reva, tolong kembalikan buku diary itu," pintanya.

"Datang 10 menit lagi ke tenda gue," jawab Reva.

Alina berdiri dan pergi ke tendanya. Dia membersihkan dirinya yang berantakan serta mengobati tangannya yang berdarah.

Tia yang melihat wajah Alina seperti habis menangis pun bertanya. "Al, kamu kenapa? Ada yang jahatin kamu lagi?" tanya Tia yang duduk dengan badan yang masih gemetar.

Alia tidak ingin terlihat lemah di depan Tia yang sedang sakit. Makanya dia berbohong dengan alasan jatuh.

"Enggak kok. Tadi aku enggak sengaja jatuh karena jalannya licin," jawabnya.

"Ah yang benar kamu? Jangan bohong ya?"

Alina mengangguk. "Serius, Al enggak bohong. Tuh lihat, tangan Al luka terkena ranting-ranting pohon kecil, untung saja enggak yang gede ya kan." Alina mencoba bercanda.

Tia kembali tidur. Dia merasa lega. Namun hatinya seperti ada bagian yang mengganjal dan dia belum bisa untuk bertanya kepada Alina.

Alina melihat jam di ponselnya. Dia pun gugup dan seperti sedang menguatkan diri untuk pergi ke tenda Reva.

"Tia, Al pergi keluar sebentar ya. Ada urusan," kata Alina.

Reva yang sedang terbaring tidur hanya mengiyakan dan kemudian mengucapkan kepada Alina segera kembali.

"Oke. Tapi jangan lama-lama ya," kata Reva.

"Iya, Alina cuma sebentar kok."

Alina memakai jaketnya dan kemudian merasa deg-degan.

Reva dan teman-temannya sedang tertawa dan kemudian mencampakkan diary itu ke wajah Alina.

Di saat gadis gemuk itu ingin mengambil diarynya, Sinta menginjak tangan Alina dan kemudian memutarnya.

Suara rintihan itu keluar dan membuat keempat gadis itu tertawa puas. Audia menarik rambut Alina dengan ganas.

"Aduh, sakit," ucap Alina.

Namun sayangnya Audia tidak memperdulikan hal itu. Dia semakin kuat menarik rambutnya.

"Guys, kalian penasaran gak sih siapa pangeran yang dimaksud sama cewek gendut ini."

Tika bersemangat. Dia mengangguk paling antusias. "Iya, gue penasaran banget tahu enggak. Kasih tahu dong sama kita-kita," ujar Tika dengan penuh kepura-puraan.

Alina terdiam. Dia tidak ingin mengatakan siapa pangeran yang dimaksud dia di sini. Jika dia jujur, maka itu akan menjadi masalah besar yang nantinya dihadapi oleh Alina.

Berhadapan dengan para gadis jahat, licik seperti mereka akan menyulitkan. Karena itu, Alina berusaha mencari akal lain.

"Kau baik dan tampan. Tutur bicaramu sungguh menggetarkan hati, eyak, haha." Tika tertawa diikuti oleh Reva.

"Sumpah geli gue lama-lama bacanya. Iuw," kata Sinta.

"Daripada kita penasaran mendingan tanyain saja langsung ke orangnya. Ya gak sih," ide Reva.

"Eh gendut, kingkong, alien. Cepat kasih tahu siapa pangeran yang lo maksud di sini." Reva menendang buku diary bersampul biru muda itu.

"Bu-bukan si-siapa kok. Itu cuman khayalan aku saja," kilah Alina.

"Bulshit! Lo jangan coba-coba buat nipu kami deh. Lo pikir gue enggak tahu apa, hah."

"Gue enggak bodoh gendut," ujar Sinta

"Memangnya siapa yang ngatain kamu bodoh."

"Hah?" Keempat gadis itu ternganga besar.

"Haha, parah. Lo dikatain bodoh sama dia Sin."

Sinta semakin emosi. Dia menampar wajah Alina dengan keras. "Anji*ng, maksud lo apaan ngatain gue bodoh hah. Ngerasa paling hebat lo. Paling benar!" Sinta menarik rambut Alina.

"Loh kan aku tidak bilangin kamu bodoh. Tapi kamu sendiri kan yang anggap diri kamu bodoh. Ya bukan salah aku dong."

Semakin ke sini Alina semakin menjengkelkan. Dia sudah sedikit memiliki keberanian untuk menjawab dan juga membuat keempat gadis itu kesal.

Entah keberanian dari mana di dapatkan oleh Alina. Yang jelas saat itu tanpa sadar Alina menjawabnya.

"Heran gue. Lo dapat keberanian dari mana, hah? Kok bisa-bisanya lo ngejawab. Di mana jawaban lo langsung ngena ke Sinta, haha," ucap Audia yang masih tertawa sembari memegangi perutnya yang tegang karena sejak tadi terus saja tertawa.

"Enggak dapat dari mana-mana."

"Bangsat! Lo masih aja berani ngejawab ya." Kini Sinta menendang perut Alina dan gadis itu terduduk memegangi perutnya.

Perutnya terasa mual dan sakit. Kepalanya pusing. "Sin, jangan terlalu keras gitu ah sama dia. Liat tuh dia sampai kesakitan gitu," ucap Tika memperingati.

"Iya, kita tuh lagi di puncak sekarang. Guru bakalan mudah curiga."

"Aaarg, sial! Abisnya gue enggak bisa nahan emosi gue. Lo sih Audi."

"Kok gue sih. Kan lo yang nendang dia. Tanggung jawab lo lah."

"Sial!"

"Udah-udah jangan pada berantem."

Reva berjalan mendekati Alina dan mengancam gadis itu.

"Kingkong, abis keluar dari sini. Lo jamgan pernah buka mulut atau hidup lo enggak akan pernah tenang. Paham!"

"Haha, kalian takut ya kalau aku buka mulut terus ngadu sama guru-guru kan."

Reva terbawa emosi dan menampar sangat keras wajah Alina sehingga meninggalkan bekas.

Alina meringis menahan rasa pedih. Air matanya sudah tak bisa lagi untuk ditahan. Dia tumpah dan membasahi wajahnya.

"Makanya jangan bantah ucapan gue. Cabut lo!" Dia menyeret Alina dan melempar gadis gemuk itu keluar.

Di dalam tenda, keempat gadis itu sibuk memikirkan tentang Alina yang sudah berani melawan mereka.

"Lo yakin kalau dia gak bakalan buka mulut."

"Gue yakin. Lo tenang saja. Kalau sampai dia buka mulut, kita bakal bikin dia lebih menderita."

"Gue setuju sama Reva. Kita buat hidup dia tidak tenang. Kalau perlu kita teror keluarganya."

"Wah-wah ide yang gila sih Audi. Tapi gue setuju," tambah Tika.