"Gila itu ya cewek. Dia yang pendatang, malah gue yang disosor. Kan anjir," maki Toni yang sibuk membersihkan diri di kamar mandi. Kemudian Toni keluar untuk sarapan makan malam.
Tia merasa bersalah sedangkan Alina berusaha menenangkan temannya itu.
"Sudah, jangan dipikirkan lagi. Toni enggak akan marah kok. Nanti biar Tante yang jelaskan ya sayang. Kamu tenang ya."
"Tapi, Tan. Aku salah banget. Enggak seharusnya aku memperlakukan Bang Toni kek gitu, argh!"
"Kamu tunggu di sini ya." Alina pergi ke kamar Toni. Dia melihat laki-laki itu tengah keluar dan menutup pintu kamarnya.
Dia tahu kalau Toni kesal karena sudah salah paham dengan kejadian tadi.
"Bang, pasti lapar kan. Yok makan!" Ajak Alina.
"Apaan sih, dek. Abang itu malas makan sama teman kamu. Eh benarkan, itu teman kamu."
Alina mengangguk. "Iya, Bang. Namanya Tia. Dia teman Al di sekolah. Ayuk turun biar kenalan." Alina menggandeng tangan Toni dan mengajaknya turun ke bawah.
Namun Toni menolak sebab dia masih kesal dengan Tia.
"Gak mau, dek. Abang mau makan di tempat lain."
"Is Abang gitu! Masak iya masalah gitu aja ngambek. Kek anak kecil saja deh!" Alina merajuk. Dia melipatkan tangannya di depan dada, matanya tak berkedip lalu mulutnya sedih.
"Bukan masalah anak kecil, haduh. Ya sudah, ayo makan!" Toni mengacak rambut Alina dan bergandengan turun.
Sedangkan Tia deg-degan dan takut bila harus diusir secara tak hormat oleh Toni. Secara dia adalah tuan rumah.
"Toni, duduk!"
Meskipun dia sudah dewasa, Toni tidak pernah membantah apa yang dikatakan oleh Laras. Dia mengikuti semuanya.
"Maaf, saya tidak tahu kalau Anda adalah saudara Alina," ucap Tia merunduk.
"Oke. Tapi lain kali jangan begitu ya." Lalu diiringi dengan suara tawa. Membuat mata Tia melotot.
Suasana yang tadinya tegang menjadi kendor, kondusif membuat makan malam berjalan dengan lancar.
Setiap rumah memiliki ruang masing-masing, memiliki kisah masing-masing dan juga jalan tersendiri.
Hal yang tak bisa kau dapatkan, tak kau temukan di rumah bisa kau temukan di tempat lain.
Alina bahagia melihat Laras serta Toni menjadi sosok yang berbeda. Setidaknya dengan kedatangan Tia menambah suasana bahagia hati.
Setelah selesai makan, Tia membantu Laras dan juga Alina membereskan meja makan, mencuci perkakas kotor dan duduk di depan rumah.
Tia melihat ke arah jalanan yang sepi namun tak menakutkan. Suasana yang berbeda jika dilihat dari rumahnya.
Toni datang dan memberikan secangkir kopi latte hangat kepada Tia.
"Jangan melamun aja. Ini minum dulu lattenya."
Tia menerima dengan senang pemberian Toni. Sementara itu, Alina melihat dari jauh jika Toni dan Tia sedang berbincang.
"Ma, lihat deh Abang. Gak biasanya kan Abang bisa dekat gitu sama orang baru."
"Iya, ya sayang. Ya sudah kita ke belakang saja yuk. Biarkan saja mereka berdua berkenalan."
"Baik, Ma."
Kopi hangat di malam hari. Apalagi cuaca yang dingin memang enak jika meminum kopi hangat.
Ada rasa canggung dan juga malu. Namun Toni tahu jika anak seumuran Tia memiliki rasa ego yang tinggi.
"Alina seperti apa orangnya di sekolah?" tanya Toni.
"Hah!"
Toni memperhatikan Tia yang kaget. Entah dia kaget atau malah gugup.
"Iya?" Alis Toni bertaut membuat Tia semakin salah tingkah.
"Alina orang yang baik. Dia gak pernah bedain siapapun. Baik ke siapapun."
"Siapapun?"
Tia mengangguk antusias. "Iya, aku beruntung bisa punya teman kayak dia. Bukan hanya baik, Alina juga menerima semua perlakuan yang diterimanya."
"Terus?"
"Dia tak pernah membalas meskipun tersakiti. Terkadang aku pengin jadi dia yang memiliki hati lembut seperti malaikat."
Toni semakin tak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Tia. Namun dia membiarkan gadis itu untuk berkata. Dia takkan mencegah.
"Pembulyan yang terjadi di sekolah membuat para murid yang lemah menjadi mainan."
"Apa? Pembulyan? Jadi maksud kamu Alina mendapatkan pembulyan di sekolah?" Suara Toni meninggi membuat Tia meram dan dia merutuki dirinya karena bodoh.
"Tia, lo bodoh banget sih! Kenapa sampai keceplosan gitu! Bangsat!" Makinya.
"Bukan kayak gitu. Jadi gini, Alina tuh ngebantuin orang yang dibulyy di sekolah. Iya kek gitu. Bukan Alina yang dibulyy."
"Kamu serius? Tidak berbohong!"
"Bang, apa ada tampang gua bohong apa? Lo jangan ngeremehin gua."
"Aneh! Cewek itu memang aneh. Aturan saya yang marah, eh kok malah kamu."
"Lagian juga, kamu tuh cepat banget nilai orang. Belum lagi dijelaskan semuanya, udah main ambil kesimpulan aja. Siapa coba yang gak kesel."
"Makanya lain kali itu jelaskan dengan detail, jangan cuma sepotong-sepotong aja."
Tia bernapas lega. Toni mempercayai ucapannya. Namun siapa sangka jika Toni tidak sepenuhnya percaya pada perkataan Tia.
"Jadi bagaimana nasib anak yang mendapat pembulyan itu? Dia baik-baik saja kan."
"Baik. Dia sudah lebih baik dan juga mendapatkan keadilan. Namun tidak semua yang mendapatkan perundungan memperoleh keadilan. Ada juga di antara mereka yang masih di-bully secara diam-diam."
Bersekolah di tempat yang terkenal bukan berarti jauh dari kata miring, perlakuan buruk.
Namun sekolah di tempat yang mahal akan mendapatkan perlakuan yang terkadang mahal juga.
Seperti halnya yang diterima oleh Tia dan juga Alina. Kedua gadis itu pernah mendapatkan perundungan di sekolah mereka masing-masing.
Namun bedanya dia tidak menyerah dan melawan ketidakadilan yang ada. Karena itu dia memutuskan untuk pindah ke sekolah Alina.
"Hah, kayaknya nggak mungkin deh kalau SMA sejahtera menyembunyikan pembullyan atau perundingan kepada muridnya," kata Toni menolak.
"Enggak ada yang enggak mungkin. Buktinya di SMA sejahtera banyak muridnya yang tidak sejahtera. bahkan mereka dari kalangan rendah ataupun manusia lemah menjadi mainan dan juga menyita untuk mereka yang kuat atau berkuasa."
Toni kembali mengingat masa-masanya bersekolah di sana. Hanya ada kata sejahtera dan jauh dari kata miring seperti pembullyan atau perundungan.
"Tapi aku masih tidak percaya."
"Huf!" Terdengar suara helaan napas Tia yang entah sudah keberapa kalinya.
"Wajar jika kamu hanya tahu dengan hal-hal baik dari Sekolah sejahtera. Sebab kamu hanya fokus dengan pendidikanmu dan tidak mau keluar dari zona nyaman. Jadi ya sudahlah percuma jika harus berdebat dengan orang yang tidak mau membuka matanya lebar-lebar."
Toni diam begitu juga dengan Tia. Dia bertanya-tanya apa yang sudah terjadi di sekolah lamanya itu. Jika memang perundungan ada, maka dia harus sangat was-was. Terlebih lagi dengan Alina.
Dia akan mencari cara untuk menjaga dan juga mencari tahu apakah benar yang dikatakan oleh Tia.
"Syukurlah kalau dia tidak menanyakan soal Alina lagi. Setidaknya dengan kami berdebat mengenai sekolah, dia sudah lupa. Huff!"