"Tia, aku pamit ya. Makasih karena sudah diizinkan nginap di rumah kamu," ucap Alina yang berberes memasukan bajunya ke dalam tass serta berjalan ke rak sepatu. Gadis gemuk itu mengambil sepatu cat berwarna putih dan menyarungkan ke kakinya.
Fatia duduk di dekat Alina, memperhatikan wajah gadis itu yang tiba-tiba saja merah merona.
"Al, kamu sesenang itu ya pulang ke rumah?" tanya Fatia.
Alina mengangguk dibarengi dengan senyuman. Dia sangat merindukan rumah, terutama Laras, Ibunya.
Sosok wanita tangguh yang selama ini sudah mengurusi dan juga menyanyinya segenap hati.
"Iya, Tia. Soalnya ada sosok bidadari yang aku rindukan," jawab Alina antusias.
Hal itu membuat Fatia penasaran dengan sosok Ibu Alina. Karena itu dia meminta untuk ikut ke rumah Alina meskipun dia sudah memesan grab.
"Aku boleh ikut ke rumah kamu tidak?"
"Hah? Kamu seriusan mau ke rumah aku, Tia? Rumah aku kecil, jauh banget dari rumah kamu."
"Ya ampun, Alina. Semua rumah itu sama. Yang membedakannya cuma isinya saja."
"Boleh deh. Tapi aku kan cuman pesan satu grab. Kamu gimana?"
"Tenang aja. Aku sudah pesan grab juga kok. Palingan kita beda dua menit kok," ucap Fatia merangkul bahu Alina yang lebar.
Kedua gadis remaja itu tertawa bersama dan terlihat begitu dekat. Mereka menuju kediaman Alina. Setelah sampai, Tia membayarkan ongkos grab Alina.
Tentu saja Alina canggung, menolak dan ingin membayar sendiri.
"Enggak usah, Tia. Aku ada uang buat bayarnya."
"Sekali-kali aku bayarin kamu, gak masalah kan."
"Ini Pak, makasih ya." Kedua grab itu pergi.
Kini Alina serta Fatia berdiri di depan rumah besar bernuansa klasik tahun 80-an.
Keluarga Alina memang tertarik dengan nuasana tahun abu-abu itu. Bagi mereka, kenangan dari generasi ke generasi ada di rumah itu.
Jika ditukar, tentu saja kenangan yang ada akan berbeda. Di samping rumah itu ada pohon besar, lalu ada ayunan terbuat dari ban menghadap langsung ke jalan raya.
"Al, ini benaran rumah kamu?" Mata Tia memutari sekeliling rumah Alina yang dikelilingi oleh tanaman hijau. Juga ada buah-buahan stroberi dan juga bunga-bunga.
"Benar. Ayo masuk!" Alina mengajak Tia untuk masuk.
"Assalamualaikum, Ma, Al pulang nih!" jeritnya.
Seorang wanita yang memakai celemek, membuat hiasan di atas kue serta sampingnya itu membuka celemek serta mencuci tangannya.
Senyuman merekah di antara kedua bibirnya. Bagaimana tidak, anak gadisnya sudah kembali dari perjalanan yang cukup jauh dan juga mereka telah berpisah selama seminggu.
"Waalaikumsalam, sayang. Anak gadis Mama sudah pulang!" Laras. Itu nama Ibu Alina.
Dia memiliki paras cantik dan juga bodynya seperti anak ABG. Orang-orang akan mengira jika dia dan Alina adalah adik Kakak.
"Apa? Jadi ini nyokap kamu, Al!" tanya Tia meyakinkan.
"Iya, Tia. Cantikan? Tapi akunya jelek!" Alina memasang wajah jelek dan juga cemberut.
"Ini teman kamu sayang?" Laras tersenyum kepada Tia.
Sangat manis dan menawan. Akan membuat hati siapa saja merasa bergetar-getar dan juga tak karuan.
"Iya, Ma. Ini namanya Tia. Dia teman Al di sekolah dan juga di perkemahan," jelasnya.
Tia mengangguk dan menyalami tangan Laras. Laras menyentuh rambut Tia.
"Sentuhan ini, aku sangat merindukan ini," batin Tia. Gadis itu kemudian duduk dan Laras kembali ke dapur.
Alina mengikuti Laras untuk mengambil air minum serta juga kue yang dibuat oleh Laras.
"Ma, teman Al cantikan, manis kan."
"Iya, tapi lebih cantikan anak Mama dong!" Puji Laras yang menarik dagu Alina agar tidak cemberut lagi.
"Mama ih, gak pernah mau jujur."
"Sayang, Mama sudah jujur. Di mata seorang Ibu, anaknya, putrinya merupakan anak tercantik dan juga tersayang. Gak ada kata jelek, buruk atau apapun itu."
"Mamasa!" Alina memeluk tubuh ramping bak model itu.
"Jangan manja sayang. Alina harus bisa jadi lebih dewasa ya. Ayo antarkan cemilan ini ke depan. Tia pasti sudah kehausan."
"Siap, Ma."
Alina meletakkan kue kering serta cake yang baru saja dimasak oleh Laras. Namun mata Tia terus saja melirik ke arah Laras.
Laras yang menyadari jika dirinya diperhatikan pun bertanya pada Tia.
"Tia, kenapa kamu memperhatikan Tante terus? Ada yang salah?"
"Sempurna! Gak ada yang salah kok, Tan. Cuman takdir saja yang salah!"
"Hah?"
"Aduh, anu, maksudnya Tante cantik banget. Pantas saja kalau Alina manis," bohong Tia.
"Terima kasih atas pujiannya sayang!" Laras tersenyum.
"Oh iya, kalian berdua sekelas ya?"
"Iya, Ma. Al sekelas sama Tia. Dia anak baru di kelas, ya kan, Tia!"
"I-iya, Tante. Tia anak baru."
"Ya sudah, kalau begitu Tante ke belakang dulu. Dimakan ya kuenya. Itu buatan Tante sendiri loh!" Laras berjalan menuju dapur.
Sedangkan Alina langsung mengambil cake, roti kering dan melahapnya. Dia sangat kelaparan selama ada di puncak. Dia juga harus berbagi makanan dengan anak-anak lainnya.
Tia kaget dengan selera makan Alina yang besar. Pantas saja jika dia memiliki tubuh yang gemuk karena hobi makan.
"Al, apa kamu gak ngerasa pengap gitu dengan porsi makan segede gaban ini."
"Ten-tu saja tidak, Tia. Aku sudah terbiasa makan seperti ini. Mama juga tahu, karena itu Mama membedakan porsi kita," balas Alina dengan mulut berisi.
"Telan dulu, baru ngomong. Nanti keselek loh kamu."
"Alina, sayang, kamu dengarkan apa yang dibilang sama Tia. Jangan ngomong kalau mulutnya lagi berisi." Laras meletakkan jus mangga di atas meja dan kemudian ikut duduk.
Dia menanyakan tentang rumah Tia, tinggal dengan siapa saja lalu hanya lainnya.
"Jadi gitu, kamu sabar ya sayang. Tante yakin kok kalau Mama sama Papa kamu enggak lupain kamu. Mereka berjuang untuk membahagiakan kamu ya." Laras mengelus punggung tangan Tia.
"Tan, Tia boleh meminta sesuatu tidak? Itu kalau tantenya tidak keberatan."
"Tia mau apa sayang? Katakan saja."
"Boleh gak kalau Tia peluk Tante?" Alina dan Laras saling pandang. Lalu saling mengangguk.
"Tentu boleh sayang. Mari!" Laras membuka tangannya lebar-lebar dan memeluk hangat Tia.
Sangat hangat. Tia merasa sangat nyaman dan juga tidak mau pergi.
Dia berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh dan membuat baju Laras basah.
"Ma, Pa. Apa gini rasanya dipeluk sama orangtua? Alina beruntung banget bisa hadir di dalam keluarga penuh kehangatan ini," katanya dalam hati.
"Tia, are you oke baby?" Laras memerhatikan sudut mata Tia yang berwarna merah.
"Enggak apa-apa kok, Tan. Tia senang bisa peluk sama Tante. Sering rasa itu hadir dan sudah Tia rasakan. Makasih ya Tante."
"Iya, sama-sama sayang. Dihabiskan ya."
"Siap, Mama. Bikin yang lebih enak lagi ya," teriak Alina.
"Dasar tukang makan!" Tia mencubit gemas perut Alina yang berlipat.