"Al, rumah kamu adem banget ya. Aku betah deh di sini lama-lama," ucap Fatia yang berjalan menaiki tangga menuju kamar Alina.
Alina hanya tersenyum menanggapi ucapan temannya itu. Dia tidak tahu kenapa Tia terobsesi dengan rumahnya yang sederhana dan tidak sebagus rumahnya.
Namun Alina mengurungkan niatnya bertanya. Jika pertanyaan yang akan ditanyakan nanti akan membuat Fatia tersinggung.
"Kalau kamu betah, di sini aja dulu. Lagian juga aku gak ada teman ngobrol kalau mau tidur. Mau tidur sama Mama, kadang kasihan. Mama sudah capek kerja dari pagi. Terus malamnya mau aku ganggu, gak deh. Aku mikir berulang kali."
"Apa? Segede kamu masih tidur sama nyokap?" Tia kaget. Alina hampir saja terguling ke bawah mendengar nada suara Fatia yang menggelegar.
"Iya, memangnya ada larangannya?"
Tia mendengus kesal. Dia merasa sangat iri. Alina adalah gadis yang beruntung, sedangkan dia tidak.
"Tia, kamu kenapa? Apa kamu tidak pernah, maaf, maksudnya aku, jarang tidur sama Mama atau Papa kamu?" Alina bertanya dengan sangat hati-hati.
Dia takut jika Tia tersinggung. Sebab semua orang akan merasa sensi ketika ditanya perihal keluarga mereka.
Ada juga yang marah atau malah menanggapi dengan kepala dingin. Mereka sensitive jika menyangkut keluarga.
Semuanya memiliki kisah masing-masing dan juga cerita-cerita hebat yang tak terceritakan ataupun perlu diumumkan kepada khalayak ramai.
Tia tertawa kecil sambil menutupi mulutnya. Jika ditanya bagaimana hatinya saat ini, tentu saja hancur. Sangat hancur.
Anak mana yang tidak menginginkan atau membutuhkan kasih sayang dari orang tuanya?
Semuanya membutuhkan. Namun tak semuanya bisa merasakan dan berada dalam keadaan itu.
"Anjir, aku mana mungkin marah apalagi tersinggung. Ya gak lah. Lagian ya, aku tuh udah gede. Gak butuh yang kek gitu-gituan. Aku sekarang butuh seseorang yang bisa menerima keadaanku. Seseorang yang menganggap bahwa aku itu ada," jelas Tia.
Mereka sudah sampai di lantai atas dan gadis gemuk itu membuka kamarnya.
Kamar yang dihiasi dengan cat berwarna hijau muda itu terlihat begitu rapi dan juga wangi.
"Ngomong-ngomong, kamu suka warna hijau ya?"
"Iya, aku suka sekali dengan hijau. Buat mata enak memandang terus juga gak bosan," balas Alina.
"Kamu benar. Tapi aku tak terlalu tertarik dengan hijau-hijau. Namun pengakuan."
Kedua alis Alina bertaut. Dia mengernyit bingung, tidak mengerti dengan ucapan Fatia.
"Pengakuan yang bagaimana?"
"Orang yang anggap kalau aku itu ada. Bukan mereka yang sibuk dengan urusan masing-masing lalu beralasan demi kebahagiaan."
Tia mulai menyinggung soal keluarganya yang seperti ditelan bumi. Mereka tak ada di saat dia membutuhkan dan juga tidak memberikan kabar.
Jangankan memberikan kabar, untuk kepikiran saja mereka tak ada.
"Tia, jangan pikir yang gak-gak. Kita tidak harus menuntut mereka untuk ada. Seharusnya kaku bersyukur bisa lahir dan juga menjadi bagian dari keluarga kamu. Kamu tidak kekurangan apapun. Semuanya bisa kamu beli. Tidak seperti kami. Kami harus berkerja keras lalu baru bisa membeli itu."
"Tidak semuanya bisa dibeli dengan uang. Terutama dengan kebahagiaan. Harta tidak selamanya akan membuat bahagia. Aku butuh pengakuan, butuh waktu. Aku tidak meminta banyak."
"Kamu benar. Namun kita sebagai anak harus menghargai dan juga menghormati bukan. Lakukan itu meksipun pahit. Sebab hidup butuh yang pahit untuk dijadikan obat. Jika kemanisan yang ada bikin sakit."
Mereka berdua terkekeh dan menyeruput teh hangat yang sudah disediakan oleh Laras.
Wanita itu sangat perhatian dan juga pengertian. Dia baik. "Andai saja aku terlahir di keluarga ini, maka aku tidak akan kesepian seperti sekarang ini," batinnya.
Lima jam berlalu. Hari yang tadi cerah seketika menangis dan menumpahkan rasa gundahnya.
Membasahi dedaunan serta memberikan tanaman air minum.
Ketiga gadis itu tampak akur dan menikmati pekerjaan mereka. Tia ikut membantu Alina membersihkan bunga-bunga lalu membungkus dalam plastik yang cantik.
Kehidupan seperti ini yang aku butuhkan. Kita berkumpul bersama dan tertawa. Ya, tertawa.
"Tia, kamu betah gak di sini?"
"Tentu aja aku betah. Malahan ya, kalau bisa aku mau tinggal di sini, sama kalian," bisik Tia.
"Haha, jangan. Nanti Mama Papa kamu marah. Kalau masih ada rumah sendiri, lebih baik di rumah daripada di tempat orang lain. Sebab tidak ada tempat senyaman di rumah. Percaya deh sama aku."
"Iya, tapi kalau rumahnya kayak di neraka, penuh tekanan, apa bisa buat nyaman. Enggak kan!"
Alina terkekeh. Dia tahu jika Tia bukan sembarangan orang. Dia bisa mematahkan apa yabg dikatakan olehnya, dia bisa menjawab apa saja. Apa ini yang dinamakan dengan berpikir rasional?
"Ya sudah, kalau kamu betah, kamu bisa datang kapan saja yang kamu mau. Pintu rumah ini terbuka selalu untuk kamu. Ya kan, Ma!" Jerit Alina kepada Laras yang sibuk menyemprot pupuk.
"Iya, Nak."
Mereka asik berbincang, berbagi cerita dan juga bertukar pikiran. Ada seorang pria yang nyelonong masuk dengan pakaian basah kuyup tanpa mengucapkan kata permisi.
Hal itu membuat Fatia marah. Dia menghadang Toni yang sudah kedinginan.
"Siapa lo? Ngapain sembarang masuk ke rumah orang? Cabut lo!" Usir Tia.
"Hah!" Tentu saja Toni kaget. Pria jangkung itu melirik Alina yang pura-pura sibuk dengan bunga di depannya.
"Eh, kamu yang siapa? Ngapain halangin jalan saya, Mbak."
"Saya Tia, teman yang punya rumah. Kamu cepat pergi atau saya teriak ini."
Toni sudah sangat kedinginan. Dia menarik Alina dan langsung memeluknya.
Mata Tia melotot. Dia menarik kuping Toni layak adiknya.
"Berani banget lo meluk-meluk teman gue."
"Aduh duh!" Ringisnya.
"Tia, dia Abang Toni. Abang kandung aku," jelas Alina yang sudah terlambat.
Tia merasa malu dan membiarkan laki-laki itu masuk.
"Maaf, Bang. Saya tidak tahu, kal-"
Toni masuk tanpa menghiraukan Tia yang berdiri mematung dan menepuk jidatnya.
"Al, kenapa kamu tidak bilang kalau dia itu saudara kamu, haduh!"
"Alina sudah mau bilang, tapi kamunya tidak mau berhenti dan terus saja menghentikan Bang Toni."
"Jadi gimana ini? Abang kamu galak gak?"
Laras mendengar suara gaduh dan menghampiri dua gadis itu.
Alina mengatakan kepada Ibunya tentang kejadian antara Tia dengan Toni.
"Tia, jangan takut ya. Tante yang akan menjelaskan kepada Toni kalau ini cuma kesalahpahaman saja."
"Tapi-"
"Udah, jangan dipikirkan lagi." Laras mengelus-elus tangan Tia.
"Haduh, Al."
"Sudah, jangan dipikirkan lagi. Bang Toni baik kok. Dia gak jahat. Percaya deh sama aku."
"Al, gimana gak takut coba. Semua Abang itu bakalan baik ke adiknya. Tapi gak sama orang lain. Apalagi ini pertemuan pertama kami. Aku malah buat kacau."
"Nih minum biar gak grogi." Alina menyodorkan gelas berisi air putih dingin kepada Tia yang gelisah.