Alina sampai di rumah Tia. Tia sudah menghubungi keluarga dari Alina dan mengatakan bahwa anaknya akan menginap di rumah Tia. Mereka mencari alasan dengan hujan.
"Assalamualaikum, Tan. Saya Tia, temannya sekolah Alina."
"Iya, mana Alinanya Tia?"
"Al muntah dalam perjalanan, Tan. Jadi kalau boleh Alina main-main di sini ya, Tan. Di sini juga hujan dan kemungkinan terjadinya macet panjang."
"Baiklah kalau gitu. Kalau Alina sudah bangun, segera hubungi Tante ya."
"Baik, Tan." Tia bisa bernapas dengan lega. Akhirnya dia tak lagi sendirian di rumah ini.
Dia memiliki teman meksipun hanya semalam saja. Dua jam sudah Alina tidur dan tak siuman.
Tia sudah membuatkan bubur hangat dan juga beberapa gorengan. Hujan masih terus membasahi atap rumahnya.
Suara sayup dari hujan membuat Tia memakai jaket dan mematikan AC kamar.
Setelah sadar, Alina pun kebingungan. Dia tidak berada di kamarnya.
Sembari memegangi kepalanya yang berdenyut, Alina melihat foto Tia yang tersenyum ke arah kamera. Dia nampak manis dengan balutan koplok berwarna merah kuning itu.
Jika dilihat-lihat, Tia sedang berada di kawasan salju. Alina mengambil foto itu dan memerhatikan dengan lamat-lamat.
"Kamu sudah sadar?" Alina melihat ke arah pintu masuk.
Fatia datang dengan membawa minuman hangat dan juga gorengan.
Gadis yang memakai baju kimono itu meletakkan sup hangat dan kemudian duduk di samping Alina.
Gadis itu terlihat imut ketika rambutnya digerai dan juga ada senyuman manis yang membuat Tia kagum dengan kepolosan Alina.
"Wah, Al. Kamu imut banget. Foto yuk!" Tia mengambil gambar mereka berdua dan akan mencetak besar lalu dipajang di dinding kamar Tia.
Rumah sebesar ini hanya ada Tia dan juga dua orang lainnya. Pembantu serta supir yang sekaligus menjadi Mamang kebun.
"Tia, mana keluarga kamu? Kenapa rumah Segede ini gak ada orangnya." Mata Alina melihat ke sana ke mari mencari keberadaan keluarga besar Tia.
Gadis yang memakai kimono itu kelihatan sedih dan bingung harus menjawab apa.
"Tia, kok kamu gusar gitu? Kenapa? Ada apa? Apa aku salah ngomong?"
Tia tersenyum dan menggeleng. "Tidak, Alina. Aku tuh bingung harus jawab apa sama kamu. Bingung cara ngomongin kek mana."
"Cerita saja sama aku."
Tia menarik napas dalam. Dia tersenyum kecut dan menenggelamkan wajahnya di antara bantal Boba besar.
Dia merasa malu dan tidak ingin mengatakan mengenai keluarganya yang menyebalkan.
"Mereka enggak ada waktu sama sekali buat aku. Papa sibuk dengan bisnisnya, Mama sibuk traveling ke luar negeri dan kedua saudaraku. Mereka mengikuti jejak Mama yang berpergian. Mereka selalu saja meninggalkan aku sendirian di rumah ini."
Tia mengelilingi kamarnya yang seluas kelas. Lemari pakaian, sepatu dan aksesoris berjejer panjang serta rapi.
"Ya ampun, kenapa mereka tega meninggalkan kamu, Tia? Kamu yang sabar ya."
"Haha, aku sudah biasa ditinggalkan sama mereka. Aku merasa seperti anak yatim piatu dan tidak memiliki saudara. Ya, aku selalu menganggap mereka sudah pergi dan mati."
"Jangan berbicara seperti itu. Enggak baik. Mungkin mereka pergi gitu ada alasannya. Mereka pasti cari uangkan buat kamu."
"Aku tuh enggak butuh uang. Aku maunya kasih sayang mereka. Toh uang bisa dicari kan, kalau kasih sayang aku harus cari ke mana coba?"
Alina tidak bisa meneruskan ucapannya lagi. Perbedaan pendapat akan membuat pertikaian di antara mereka.
Karena itu, dia memilih diam dan mengiyakan apa ungkapan hati Tia.
Setelah gadis itu mulai tenang, Alina baru mengatakan bahwa apa yang dipikirkan oleh Tia adalah salah. Sampai kapan pun hubungan darah di antara mereka akan terjalin.
"Darah lebih kental daripada air. Mau bagaimana pun kamu memisahkan diri semuanya akan percuma."
"Iya aku tahu. Tapi aku tetap benci sama mereka. Enggak terima dong aku kalau diperlakukan kek gini. Aku seperti anak angkat. Anak tiri!" Dia tertawa dan menahan air matanya.
"Hus jangan dilanjutin. Oh ya, Mama aku ada telepon gak?"
"Ada. Tadi Tante minta agar kamu hubungi setelah kamu bangun. Ini handphone kamu!" Dia menyerahkan ponsel kepada Alina. Gadis itu menelepon Mamanya dan mengatakan hal yang serupa dengan Tia.
"Ma, Al bolehkan nginap di rumah Tia. Soalnya Tia sendirian di sini. Kasian dia."
"Oke. Sehari saja ya."
"Makasih Ma."
"Makasih Tante. Tia akan jaga Alina dengan sangat baik kok. Janji!"
Tia mengajak Alina berkeliling rumahnya yang besar. Lalu mereka berenang di kolam berenang dan kemudian tetswa bersama.
Alina bisa melepaskan rasa sedihnya karena terus mendapatkan pembulyan dari Tika di sekolah. Sementara Tia memiliki teman. Dia tidak lagi merasa kesepian.
"Al, sering-sering dong main di sini. Aku tuh senang banget kalau ada teman. Aku gak kesepian lagi," rengek Tia.
"Maunya sih gitu, Tia. Tapi Alina enggak bisa sering-sering. Nanti Mama sendirian."
"Ya ampun, Alina. Kamu tuh anak Momi banget ya. Atau enggak gini aja ya. Kalau kamu enggak keberatan."
"Gimana?" tanya Alina.
"Seminggu kita di rumah kamu terus seminggu laginya di rumah aku. Gimana?"
Alina berpikir panjang. Dia meyakinkan kepada Tia bahwa orangtuanya takkan mengizinkan dirinya untuk tidur di rumah orang lain.
"Pasti gak akan diizinkan sama Mama. Apalagi Bang Toni," ucap Alina.
"Eits, kita coba dulu. Ingat pepatah yang dibilang sama orang dahulu enggak. Jangan menyerah sebelum mencoba. Karena itu kita harus semangat." Tia semangat 45.
Mereka tertawa bahagia seperti saudara. Tia yang mendapatkan perhatian dan juga orang lain kini tak lagi merasa sepi. Bagi Alina, Fatia adalah teman baik yang pertama kali berbicara banyak dengannya.
Dan Alina adalah teman pertama yang diajak oleh Tia ke rumahnya.
Mungkinkah ini takdir? Mereka dipertemukan karena saling membutuhkan sama lain.
Jika Alina bisa membuat Fatia tertawa, maka Tia membuat hidup Alina berbeda.
Namun apakah Alina bisa mengikuti semua masalah yang akan dihadapi olehnya karena Tika?
Bagaimana cara Tia merespon kejadian-kejadian yang sedang menimpa mereka.
Lalu apakah Tia akan terus menjadi teman Alina karena banyak orang yang mengatakan bahwa Alina adalah gadis pembawa sial seperti badannya yang gemuk.
"Siapapun yang berteman dengan dia akan merasa sial!"
"Benar. Bakalan rugi deh!"
Alina menceritakan kepada Fatia apa saja yang dialaminya selama bersekolah di SMA Sejahtera.
"Ssst! Itu pemikiran mereka kan. Pendapat mereka. Bukan aku. Aku tidak menilai orang dari fisiknya namun hatinya. Kalau menurut aku kamu baik, ya mau kek mana pun mereka bilangnya, aku tak peduli. Percaya deh sama aku!"
Tia berusaha meyakin Alina bahwa dirinya berbeda dengan orang lain yang hanya memandang fisik saja.
"Apa kamu bisa dipercaya?"