Lima bus pariwisata ukuran jumbo menurunkan para penumpang di parkiran mall besar.
Siswa serta siswi berlarian keluar dan menghirup udara mall atau tempat perbelanjaan yang dikunjungi oleh orang ramai.
Tia memilih membantu Alina mengambil baju ganti dan mereka keluar. Di belakang mereka ada kelompok Tika yang sedang keluar juga mengikuti kedua gadis itu.
"Al, ayo cari toilet. Kamu harus bersihin diri kamu dulu," kata Tia.
"Iya nih, Ti. Aku juga lagi cari toilet, cuman gak ada. Apa kamar mandinya ada di dalam ya."
"Mungkin saja si. Tapi tunggu dulu, biar aku tanyain sama Pak Heru." Tia menemui Heru sedangkan Alina duduk di kursi kayu. Dia melihat Tia yang sedang bercengkerama serta tertawa dengan Heru.
Entah kenapa dia merasa tidak suka melihat Tia akrab dengan Heru. Ada rasa cemburu dan tak terima. Ah, apa jangan-jangan dia mencintai Heru?
Alina segera mencampakkan pikiran tidak mungkin itu dari kepalanya. Ada banyak pertimbangan yang harus dikelola oleh otaknya yang semena-mena.
Pertama sial fisik, tubuh. Jika dia berdiri dengan Heru berdua, mereka terlihat seperti angka 10.
Bisa kalian bayangkan bukan angka 10. "Pak, kita berapa lama ada di sini?"
"Maksudnya Tia?"
"CK, maksudnya saya kita sampai kapan ada di sini. 1 jam atau berapa gitu," jelasnya.
"Paling lama 3 jam. Soalnya para guru mau belanja dan membeli oleh-oleh."
"Oke. Thanks Pak." Tia berjalan ke arah Alina.
"Ayo masuk!" Dia menarik tangan Alina dan menuju toilet.
"Emangnya enggak masalah kalau aku masuk dengan baju kotor kayak gini, Tia."
"Ya kenapa harus jadi masalah coba."
"Kan kotor TIA!!"
"Memangnya mereka siapa. Mereka di sini itu cuma pekerja, dibayar. Kita tamu, pengunjung. Udah deh, Al. Jangan pikirin yang gak-gak lah. Tuh kamu di sana, aku di sini." Tia menyuruh Alina untuk masuk ke toilet ke kanan sementaranya dia di kiri.
Terdengar suara guyuran air di toilet Alina. Ya, gadis gemuk itu sedang mandi. Sebab perjalanan mereka cukup jauh untuk sampai di Jakarta.
Tia keluar karena dia tidak perlu mandi, dia cukup membersihkan wajahnya dan juga memakai sedikit bedak lalu lipgloss.
"Al, aku mau beli minum dulu. Kamu nanti tunggu aku di depan aja, jangan ke mana-mana," teriak Tia.
"Oke," balas Alina berteriak.
Brukkkkk..... Tia bertabrakan dengan Heru. Ini salah Tia karena tidak melihat jalan dan sibuk bermain ponsel.
"Aduh, maaf, Pak. Saya tidak lihat."
"Lain kali jalan tuh jangan main handphone. Masih mending saya, kalau orang lain kamu sudah dimarahin ya." Heru membantu mengambil ponsel Tia yang jatuh.
Alina masih asik mandi dan membersihkan sekujur tubuhnya. Dia yang terlalu menikmati mandi tidak tahu jika sedang terancam dalam bahaya.
Reva serta ketiga temannya mengunci kamar mandi tempat di mana gadis berbobot besar itu sedang membersihkan diri.
"Lo yakin dia gak bakalan ke napa-napa?"
"Aduh Tika, jangan lebay. Lo kayak pertama kali aja deh ngerjain anak orang."
"Bukan gitu. Ah, terserah kalian deh. Kalau terjadi apa-apa nanti jangan bawa-bawa nama gue ya," ancam Tika yang kemudian meninggalkan Reva serta Audia.
"Rev, matiin lampu pro kali ya," ide gila Audia.
"Matiin aja. Terus gue bakal hidupin suara hantu, haha."
Tik. Mati lampu. Semuanya gelap dan tak ada cahaya. Alina meraih handuk dan meraba-raba tas yang digantungnya tadi.
"Handphone mana handphone," ucap Alina. "Akhirnya ketemu juga." Di saat dia akan menyalakan flash, suara hantu mengisi seluruh isi toilet.
Alina kaget dan ponselnya terjatuh ke lantai. Gadis itu ketakutan bukan main. Di mana, masa-masa trauma akan momen terkunci di kamar mandi terlintas di benaknya.
Alina menutupi telinganya dengan tangan dan berteriak meminta tolong. Berharap jika ada yang mendengar dan menolongnya.
Suara bulyyan membuat telinga Alina ingin pecah dan berteriak meminta tolong, memohon ampun agar mereka menghentikan pembulyan itu.
Ya, Alina mendapatkan pembulyan bukan hanya sejak SMA saja. Namun sudah dari duduk sekolah dasar atau SD.
"Stop. Jangan dilanjutin. Aduh sakit."
"Aw, perih!"
"Mama, sakit, hiks. Hiks, perih."
"Abang, Ayah, tolongin Al. Al takut di sini." Setelah dia disiksa habis-habisan, mereka mengunci gadis itu selama seharian di kamar mandi. Tanpa penerangan, tanpa cahaya.
"Kenapa? Kenapa kenangan itu muncul lagi, kenapa?" Jeritnya dalam hati.
Alina mencoba untuk bangkit dan melawan rasa takutnya. Dia meraba-raba ponselnya di lantai dan berhasil menemukannya.
Segera dia nyalakan dan memakai pakaiannya. Kemudian menghubungi Tia yang sedang berbelanja dengan Heru.
"Haha, Bapak bisa saja, haha."
Tia yang menerima panggilan dari Alina meninggalkan Heru begitu saja. Laki-laki itu juga tidak mau bertanya atau menghalangi. "Cewek memang begitu. Suka ninggalin, tapi marah kalau ditinggalkan. Haduh!"
Suara minta tolong terdengar jelas di kamar mandi Alina. Namun ada kejanggalan. Kenapa tidak ada yang mendengar suara Alina yang besar? Atau mereka sengaja menguncinya di dalam.
"Tolong, siapapun tolongin Alina." Alina sudah sesak karena kekurangan oksigen. Namun bala bantuan belum datang juga.
"Al, kamu dengar suara aku kan."
"T-Tia. Aku dengar kok. Bantuin akuuuu-"
"Iya-iya. Aku bantuin. Kamu tenang dulu di dalam ya. Aku cari bantuan."
Tia berlari dan menarik tangan Heru tanpa menjelaskan. "Bantuin Alina, Pak. Dia terkunci di dalam kamar mandi. Kasihan dia." Heru ikut panik. Bagaimana juga Alina merupakan muridnya, tanggungjawab selama di luar kota Jakarta.
Heru mengambil balok dan mencoba untuk mematahkan kunci lalu mendobrak pintu kamar mandi.
"Al, sabar. Saya lagi berusaha untuk ngebuka pintunya!"
"I-iya, Pak."
Dada Alina naik turun, kembang kembis menahan rasa sesak di dada. Dari kejauhan, Reva serta Audia sangat deg-degan. Mereka takut jika ketahuan dan sudah pasti orang tua mereka akan dipanggil ke sekolah.
"Aduh, gimana nih, Rev. Gue takut kalau dia ngadu ke kepala sekolah," takut Audia.
Reva berusaha untuk tenang dan tidak panik. "Gue juga bingung mau ngapain. Tapi lo jangan kelihatan gitu banget. Yang ada mereka bakalan curiga ke kita."
"Tapi-"
"Hus, si gendut itu enggak tahu kan kalau kita yang sudah kunciin dia. Nah, dia gak ada bukti dan gak bisa sembarang nuduh dong."
"Lo benar juga. Berarti kita aman dong."
"Untuk saat ini. Cabut yuk sebelum ada yang curiga."
Tia membantu Heru mendobrak pintu hingga pintu itu terbuka. Tubuh gadis itu sudah lemah dan juga lemas. Tia langsung membimbing Alina keluar dan mencari udara segar.
"Al, kamu aman kan. Masih bisa dengar aku kan. Nih minum dulu!"
Alina minum air mineral yang diberikan oleh Tia. Gadis itu sangat ketakutan dan banyak kenangan buruk di kamar mandi.