Karena sudah malam, jadi para penanggungjawab seperti guru yang mendampingi mereka sudah tertidur karena rasa lelah.
Namun Alina menelan pil pahit kehidupan dan juga tertampar berkali-kali.
Keempat gadis itu terus memukul, menendang, memaki, menghina dan juga membuat mental Alina down terus menerus.
Sesuatu yang sangat buruk dan tak diharapkan oleh Alina akan merajalela di puncak.
Bogem mentah membuat sudut bibirnya berdarah. Darah segar kental dan juga bau amis. Tidak hanya itu saja, Reva menarik rambut Alina dan kemudian memotong sehingga tidak rata.
Tika menginjak ibu jari Alina dengan sepatunya. Bunyi tulang belulang tangan Alina bisa dirasakan olehnya. Baru dia berhenti dan sedikit gugup.
Sinta menyiram air got ke wajah Alina. Mereka baru merasa puas melihat Alina sudah tersedu-sedu.
"Gue belum puas. Air mata lo itu enggak berguna buat gue kingkong!"
"Awas kalau sampai guru tahu masalah ini. Hidup lo enggak bakalan pernah tenang," ancam Reva.
Mereka berempat seperti iblis yang menghantuinya. "Kenapa kalau sampai guru tahu? Apa kalian takut?" jerit Alina.
"Ck! Gue suka nih. Dia sudah mulai berani ngelawan kita," kata Audia.
Gadis gemuk itu menutup mata pasti dia akan merasakan sakit. Namun ternyata tidak. Tika bahkan memegangi pundaknya dengan sangat lembut. Tidak ada penekanan.
Alina mendongak melihat Tika melemparkan senyuman. Tapi sayang, dia tidak tahu jika Tika tengah berpura-pura baik.
"Kalian jangan menghakimi Alina lagi. Minta maaf gih sana!"
"Tik, lo udah gila ya."
"Rev, gue enggak gila. Tapi kalian aja ya terlalu gila. Kayak kita terlalu berlebihan deh sama dia." Tika membantu Alina bangkit.
Lalu meminta maaf atas perbuatan teman-teman serta dirinya juga. "Gue mau minta atas kesalahan kami. Lo mau kan maafin kami?"
Alina diam. Dia tidak punya pilihan selain mengiyakan. Tika melihat tangan Alina yang remuk. "Pasti sakit ya!" katanya.
"Enggak terlalu," jawab Alina.
"Biarin aja dia sendirian. Ayo cabut!" Audia menarik tangan Tika dari Alina.
Dari keempat gadis itu, seperti Tika yang memiliki rasa empati dan juga rasa kasihan. Karena itu, ketiga teman-temannya membawa Tika pergi dari sana.
"Tunggu dulu. Di, lo punya perban kan di tas." Audia mengangguk.
"Ambil sana."
"Untuk a-"
"Jangan bantah gue!" Mereka menghargai Tika. Tidak akan membantah apa yang diucapkan oleh gadis itu.
Tika membersihkan luka-luka di wajah serta sudut bibir Alina. Sementara yang lain hanya menjadi penonton.
"Gimana sekarang. Udah mendingan kan, A-Alina," ucap Tika ragu-ragu dan diikuti senyuman.
"Su-sudah. Terima kasih ya, Tika," balas Alina tersenyum.
Audia, Reva dan Sinta seketika muntah. Namun Tika membalas senyuman Alina. "Sama-sama. Gue cabut duluan. Lo hati-hati. Jangan terlalu lama di luar. Enggak baik cewek secantik lo kena angin malam."
"Hah! Apa? Barusan dia menyebut Alina cantik. Astaga. Rasa apa ini. Apakah ini yang dinamakan dengan pujian?" batin Alina.
Alina melihat kepergian empat sejoli itu dengan tatapan penuh haru. Sakit ya ada di badannya seketika hilang dan musnah. Alina benar-benar merasa bahagia dan juga sangat senang sekali.
"Ma, Kak. Sekarang satu persatu dari mereka mulai mengakui keberadaan Alina. Al sangat senang." Alina menangis tersedu-sedu dalam penuh bahagia.
Alina membayangkan senyuman Tika yang sangat manis dan tak bosan-bosan untuk dipandang. Tika memang cantik dan juga menawan. Dia pun merasa iri.
Dari jauh, Fatia prihatin terhadap hal yang menimpa Alina. Dia pun berlari lalu memeluknya.
Fatia meminta maaf karena sudah meninggalkannya sendirian. Seharusnya Fatia tak bersikap begitu kepada Alina.
"Hiks, Alin. Aku minta maaf karena sudah bersikap egois kepada kamu. Aku menyesal, Alin."
Alina tersenyum dibalik wajahnya yang lebam. Perutnya terasa keras dan sakit mungkin itu akibat tendangan dari Sinta.
Lalu Fatia kaget melihat rambut Alina yang panjang pendek. "Al, siapa yang buat kek gini. Ayo kasih tahu aku."
Tersenyum. Ya, hal yang bisa dilakukan oleh Alina hanya tersenyum. Tersenyum adalah obat paling murah dan efektif ketika mendapatkan masalah. Sekalipun itu tentu hati dan juga rasa.
"Pasti mereka kan yang sudah membuat kamu berantakan kek gini?"
"Sudah, Tia. Enggak perlu. Aku tidak apa-apa kok. Malahan tadi Tika suday mengobati lukanya. Jadi, aku enggak sakit lagi."
"Kamu itu bodoh, Alina. Ini sudah di luar batas. Bahkan ini bisa mengancam nyawa seseorang. Mental kamu yang ditanyakan di sini. Kalau kamu enggak kuat, kamu bisa-bisa stress dan juga depresi. Aku tidak ingin kamu seperti dia." Fatia tersedu-sedu. Dia menangis dalam keheningan malam ditemani oleh Alina.
"Alina enggak tahu apa yang Fatia rasakan. Tapi Al percaya sama Fatia. Fatia teman yang baik. Tapi, kalau Fatia enggak keberatan, boleh cerita kok sama Al," kata Alina berusaha tegar. Meksipun dia sebenarnya ingin berteriak karena menahan rasa sakit yang amat sakit ini.
Fatia diam. Dia belum bisa untuk bercerita. Dia masih trauma serta belum terbebas dari rasa bersalahnya.
"Aduh, sakit!" Tak sengaja Alina menelan jarinya terlalu kuat.
"Tangan kamu kenapa. Kok biru gini," kata Fatia panik.
"Hm, tadi Al jatuh."
"Jangan bohong deh. Kita ini teman kan. Jadi harus saling jujur."
Alina menceritakan tentang kekejaman dan juga kebengisan dari teman-teman sekelasnya.
Fatia yang mendengarkan begitu emosi dan ingin mendatangi Tika, namun dilarang Alina.
"Jangan, Tia. Mereka udah meminta maaf dan juga mengakui kesalahannya."
"Kesalahan apa?"
"Kesalahannya karena mereka sudah berperilaku buruk sama Alina."
"Apa kamu percaya dengan mereka yang tiba-tiba meminta maaf. Terus Tika yang mengobati tangan kamu. Kamu percaya Alina?"
Jika sudah berdebat, mereka seperti air dan juga api. Alina yang terus-menerus mengalah dan berpikiran positif, sementara Fatia seperti api yang mengobar-ngobar dan juga menyala-nyala.
Dia menentang pendapat Alina terhadap pembulyan. "Kamu salah! Sampai kapanpun juga mereka tidak akan pernah menyadari kesalahannya. Mereka itu monster yang tidak akan pernah merasa puas," cecar Tia penuh emosi.
"Tia, jangan berpikir buruk. Setiap orang pasti bisa berubah. Mereka hanya sedang bertahap dalam proses itu. Karena itu kita harus-"
"Tetap berpikir positif dan jangan suudzon. Begitu kan!"
Alina terkekeh. "Kamu sudah tahi aja apa yang mau Al bilang, hehe."
"Karena kita teman. Aku sedang berusaha untuk mengerti sesama agar bisa memiliki seorang teman. Tapi aku lebih penasaran dengan kamu, Alina. Aku merasa kamu memang bisa untuk dipercaya dan juga dijadikan tempat untuk bercerita," ujar Fatia yang membantu Alina berdiri.
"Terima kasih, Fatia karena sudah mau menjadi teman Alina. Selama ini, Alina belum pernah bertemu orang yang mau berdekatan seperti ini."
"Udah, tenang aja. Sekarang ada aku. Aku akan terus ada buat kamu kok."