Chereads / Fat or Slim? / Chapter 20 - Bab 20. Rintihan Tengah Malam

Chapter 20 - Bab 20. Rintihan Tengah Malam

Masing-masing dari kelompok ditugaskan untuk mencari kayu bakar. Ada pula yang mengambil air di sungai, atau membersihkan tenda.

Karena Alina dan Fatia hanya berdua. Mereka juga membagi tugas. Alina mengambil air di sungai dan Tia mengumpulkan ranting pohon untuk dijadikan bahan bakar.

Awalnya Fatia tidak terlalu yakin membiarkan Alina untuk ke sungai sendirian.

Terlebih lagi dia juga melihat Tika and the geng menuju sungai juga.

"Aku takkan membiarkan kalian memfitnah Alina lagi. Terlebih lagi kalian adalah manusia licik," ucap Fatia yang buru-buru menyusul Alina.

Gadis gemuk itu turun menyusuri sisi pinggir sungai dengan membawa ember sebagai tempat air.

Dia turun dengan sangat hati-hati dan mencari batu yang tak licin.

"Al, tunggu!" jerit Fatia yang ngosa-ngosan. Alina kembali menarik langkahnya dan menunggu Tia.

"Kenapa, Tia? Kok kamu menyusul Al ke sungai sih. Terus kayu bakarnya mana?"

"Huf hah, jangan pikirin kayu bakar. Aku tuh enggak tenang ngebiarin kamu ke sini sendirian. Aku takut kalau terjadi sesuatu yang buruk dengan kamu, Alina," tukasnya.

Alina merasa senang. Ada seseorang yang mengkhawatirkan dirinya selain keluarganya di rumah.

Apakah ini saatnya untuk Alina mempercayai dan juga menerima Fatia sepenuh hati sebagai teman?

"Kamu tunggu saja di sini. Biar aku yang ambil airnya. Nanti kamu tarik ya." Alina mengangguk.

"Al, tarik!" Alina menarik ember besar dan menolong Fatia untuk naik ke atas.

Saat di tengah jalan kembali ke tenda. Mereka berpapasan dengan Tika. Sinta, Audia serta Reva. Mereka pun mengejek Alina dengan kata-kata yang kasat serta tak bagus.

Mereka juga sengaja menyenggol tangan Alina sehingga air yang dibawanya setengah tumpah.

Fatia marah dan menegur perbuatan buruk mereka.

"Lo punya mata kan. Dipakek dong, jangan asal seruduk kayak domba hutan aja lo," kata Fatia tak terima.

"Hmp! Maaf, lo siapa ya?" ucap Tika.

"OMG OMG, jangan-jangan dia pahlawan kesiangan si babi hutan ini, haha!" Audia tanpa perasaan menunjukkan Alina lalu menyemburkan air.

Tangan Alina mengelap wajahnya yang basah dengan tangannya.

"Eh bangke. Jaga ya ucapan lo. Siapa yang lo bilangin babi hutan hah!"

Alina menahan Fatia agar tidak terlalu terpancing dengan ucapan mereka. Mereka semua tertawa dan seakan-akan puas melihat mereka menderita.

"Al, katanya mau ngebalas mereka. Ayo tunjukkin sekarang. Jangan lemah!"

"Tapi, aku gak berani, Tia. Alina enggak setangguh Fatia yang pemberani." Fatia merasa kesal. Dia meninggalkan Alina dan membuang air setengah ember dan menyirami ke Tika.

"Anjir!"

"Gue basah, Nyet!"

"Cewek belagu."

Alina mengekor dari belakang. Dia tahu sudah mengecewakan Fatia. Dia tidak bisa menjadi sosok pemberani seperti Fatia atau apa yang diinginkan oleh Fatia.

Fatia duduk sembari memainkan ranting kering pohon lalu mengukir di tanah.

Dengan rasa malu serta juga ragu, Alina mendekat. Wajah Fatia menampik keberadaan Alina.

Meksipun badannya besar, nyalinya sangat kecil dan juga ciut. Fatia benci dengan penindasan. Apalagi jika yang ditindas adalah temannya lagi.

Ada kenangan buruk dalam otaknya mengenai perundungan. Hal yang sulit untuk dilupakan dan juga diterima olehnya.

"Fatia, maaf karena sudah membuat kamu kecewa," kata Alina.

"Hmp!"

"Alin sudah bilang ke Tia untuk jangan berharap banyak. Alin enggak setangguh Tia dan juga tak seberani Tia."

"Aku enggak nyangka kalau kamu benaran seorang penakut. Bahkan kamu lebih buruk Alina."

Alina sadar diri. Dia juga tak menyela apa yang dikatakan oleh Fatia. Itu semua benar dan tak ada sebuah kesalahan apapun.

Suara kicauan burung menambah kesal mencengkam serta kelam. Keduanya saling mengenang masa lalu yang buruk.

Fatia juga kerap kali dibully serta juga Alina. Mereka sama-sama menjadi orang yang pernah mengalami rasa takut dan juga tidak ada keberanian

"Jadi mau sampai kapan kamu akan merasakan kelamnya penindasan ini? Apa kamu tidak mau merasakan bagaimana rasanya disanjung, punya teman banyak dan jiga dihargai?"

"Bu-bukan enggak mau, Tia. Tapi apa pantas orang seperti Alin bisa merasakan itu? Hal yang mustahil dan juga tak bisa untuk digapai oleh gadis gemuk ini." Alina berdiri. Dia memukul-mukul badannya yang besar seperti kingkong.

Karena itulah diolok, dicemooh serta dijauhi dengan alasan yang buruk. Alasan yang tak dimengerti oleh manusia yang merasa dirinya paling baik.

Namun hal itu bisa dimengerti oleh mereka yang mengalami jika berada di posisi itu. Apakah Fatia salah satu orangnya? Karena itu dia meminta Alina untuk bangkit serta jangan menjadi orang yang penakut.

Malam itu, Alina kembali sendirian. Di saat semua orang tertawa girang bersama, dia menyendiri dan hanya berteman dengan kesepian.

Sepi dalam keramaian, sepertinya Alina tengah berada di posisi ini.

"Kenapa kau tidak menemui Alina? Bukankah kalian berteman?" kata Heru.

"Kau benar. Tapi jika dia masih memiliki rasa takut dan tidak berani berubah. Maka, aku tidak akan mau berteman dia lagi."

"Kau sungguh kejam, Tia. Tapi apa kau yakin?"

"Entahlah."

Alina melihat jika Tika bersama dengan teman-teman sekelasnya sedang menikmati jagung bakar.

Fadel serta Brayan pun mendekati Alina dan mulai menjahili gadis gemuk itu. Fadel membawa jagung bakar dan membuang batangnya ke wajah Alina.

"Bos, kayaknya di sini ada tempat sampah deh!"

"Udah, buang aja. Lagian enggak ada orang kok," balas Brayan.

"Maaf, tapi kalian membuang sampahnya di wajahku. Apa kalian tidak melihat jika aku sedang duduk di sini?"

"Haha, muka lo itu emang tempat sampah! Enggak deh, lo emang sampah," makinya.

"Badan gede, tapi nyali kecil. Tapi bagus sih. Kita ada bahan bulyyan," tambah Fadel.

"Kenapa kalian sangat jahat? Apa salah Alina. Kenapa semua orang membenci Alina tanpa ada kesalahan? Bukankah itu sama saja dengan-"

Audia langsung mendorong tubuh Alina hingga terjungkal ke tanah. Kepalanya berdarah terkena ranting kayu kering yang tajam.

"Lo enggak usah komen. Lo manusia sampah. Seharusnya lo enggak dilahirkan ke dunia ini. Jadi beban keluarga, buat nama keluarga lo buruk aja."

"Apa karena badan ini, iya? Karena ini kalian membenci Alia. Kalian menjauhi dan juga tidak mau dekat-dekat!"

"Cuih!" Sinta datang dan meludahi Alina.

Semua kaget menyaksikan betapa menyedihkannya hidup Alina. Kemudian tertawa secara kompak.

"Cewek gendut, sialan kayak lo enggak pantas buat ngomong bijak. Mulut lo ini harusnya gue sumpel pakai ini. Biar gak nyerocos aja!" Tangan Audia meremas kasar dagu Alina hingga memerah.

"Sa-sakit-" rintih Alina menahan rasa sakit.

Plak... Reva menampar pipi Alina secara bergantian. Gadis itu kembali mendapatkan perlakuan buruk di puncak.

Baru saja tadi merasakan memiliki teman, sekarang dia harus menahan pilu dan menelan pil pahit kehidupan lagi. Sungguh kejam dan tidak adil.