Chereads / Fat or Slim? / Chapter 19 - Bab 19. Sekilas Senyuman

Chapter 19 - Bab 19. Sekilas Senyuman

Fatia mengelap air mata Alina dengan punggung tangannya. Wanita itu mengerti apa yang dirasakan olehnya. Karenanya fianjuga pernah menjadi bahan pembulyan di sekolah.

Jika kata orang, sekolah mahal dan bergengsi pasti memiliki attitudenya yang bagus. Namun pada kenyataannya tidak.

Sekolah itu mengundang sejumlah perundungan yang berasal dari anak-anak orang kaya dan juga terbiasa manja.

Tia tersenyum. Dia menarik Alina untuk duduk di bibir sungai. Kakinya dimasukan ke dalam air sehingga terasa dingin dan juga sejuk.

"Kita sama, senasib. Aku juga korban bulyyan," kata Fatia. Matanya samar-samar mengingat kejadian yang tidak mengenakkan dulunya.

"Tapi aku enggak mau nyerah gitu aja. Aku bangkit dan melawan mereka balik. Pada akhirnya, aku memang tidak cukup kuat sebelum kita bertemu."

"Hah?!"

"Iya. Aku sadar jika tidak semua orang itu sama. Tidak semuanya akan memperlakukan aku seperti sampah. Aku melihatnya ketika kamu datang dan menolongku, Al!" Tangan Tia memegangi bahu Alina.

"Tapi Al gak ngapa-ngapain. Kan pak Heru yang bantuin, Tia."

Tia menjetikkan jarinya. "Nah justru itu. Seandainya saja kamu tak memberitahu Pak Heru dengan masalah ini. Apakah aku akan selamat. Lalu wajahku ini masih terjamin akan mulus?" Mata Tia melotot membuat Alina jadi ketakutan.

"Kenapa? Kamu takut sama aku?"

"Enggak." Alina menggeleng. "Al cuma trauma sama kata besar.

Tia menghela napas. Tangannya kini bermain air. Lalu matanya melihat ke seluruh sisi sungai yang terbentang panjang serta airnya yang jernih.

"Sudah aku duga. Kamu pasti mengalami halnya lebih mengerikan daripada aku ya, Al. Kamu yang sabar. Tapi kamu harus berubah, Al. Buktiin!" kata Tia menyemangati Alina.

"Buktiin apa, Tia. Apanya yang harus Alina buktikan!"

"Buktiin kalau kamu itu kuat. Kamu pantas diperlakukan dengan baik dan tidak semena-mena."

"Semuanya percuma, Tia. Al tidak memiliki keberanian seperti yang kamu miliki. Al terlalu takut untuk menatap mata mereka semua."

Fatia juga tidak bisa memaksakan kehendaknya kepada Alina. Setiap orang memiliki kepercayaan dirinya masing-masing dan juga memiliki batas.

Mungkin saat ini Alina belum terlalu membangkitkan rasa percaya dirinya untuk membuktikan kepada orang-orang bahwa dia adalah seseorang yang patut untuk dihargai dan dianggap keberadaannya.

Dia bukanlah sampah yang bisa diinjak serta dibuang begitu saja. Sebagai teman yang baik, Fatia akan membantu Alina untuk menemukan jati dirinya.

Berbeda dengan Alina. Dia takut mengecewakan Fatia. Temannya itu sudah menaruh harapan yang besar kepadanya, namun nyarinya sebesar biji wijen.

Bahkan biji itu tidak akan tumbuh serta berkembang menjadi lebih besar. Hal yang mengganggu pikiran Alina sedari tadi adalah caranya agar dia tidak mengecewakan temannya, yaitu Tia.

Hari sudah malam. Kini semua anggota rombongan tengah berkumpul di dekat api unggun. Mereka mengelilingi api unggun untuk menghangatkan badan serta mengambil absen.

Alina dan Fatia mengambil absen paling terakhir. Namun semuanya menyalahkan Alina.

Suatu kesalahan yang patut untuk ditanya dan alasannya kenapa. Akan tetapi mereka enggan untuk menyatakan alasan kenapa Alina harus disalahkan.

"Ini dia biang keroknya," tuduh Fadel.

Alina berdiri seperti patung. "Memangnya Al salah apa?" tanyanya.

"Gara-gara lo gue hampir mati terbawa arus," kata Reva mengiba.

"Maksudnya bagaimana?"

"Sudah deh, nggak usah sok polos gitu. Gue tahu lu sengaja kan ngedorong gua biar jatuh ke sungai," tambah Reva.

"Al enggak ngelakuin hal kayak gitu. Lagipula saat Al ke sungai, Al nggak ngelihat Ade Reva di sana."

"Pembohong!" sanggah Tika.

"Lu pinter banget ya bikin drama," sambung Audia.

"Kalian ngomong apa sih? Alin itu benar-benar enggak tahu apa yang terjadi sama Reva. Dan juga Alin nggak ngelihat Reva sama sekali ada di sungai."

"Jangan ngelak deh! Gua melihat dengan mata kepala gue sendiri lo yang dorong Reva sampai jatuh ke sungai."

"Bukan. Alina enggak mungkin berbuat jahat sama Reva."

Ibu Zizi datang dan melelahkan para muridnya yang sedang bersitegang. Dia memanggil Alina dan juga Reva.

Lalu menanyakan kronologi kejadiannya. Di sini Alina sudah tentu terpojokkan. Dia yang tidak memiliki teman sama sekali sudah pasti tidak akan ada orang yang mempercayainya.

"Alin, apakah kamu punya bukti jika bukan kamu orangnya yang mendorong Reva!"

Alina terdiam. Dia tidak memiliki bukti atau seseorang yang akan membelanya. Fatia sendiri tidak bisa membantu Alina. Dia yang sedang mengumpulkan kayu bakar sempat mendengar suara jeritan dari Reva.

Dan kebetulan juga ada Alina yang berdiri di sana. "Buk, saya melihat dengan jelas kalau Alina yang sudah mendorong Reva," kata Sinta.

"Saya juga Buk."

"Kami mendengar suara jeritan Reva. Jadi kami berlari ke sana. Dan pas kami sampai, Alina berdiri di atas batu dan hanya melihat Reva. Bukankah sudah pasti dia adalah pelakunya?"

"Benar itu, Bu."

Bahkan satu kelas kompak untuk menjatuhkan Alina. Dia menangis serta berkelahi dengan nasibnya yang buruk.

"Alin, 90% kamu terbukti bersalah. Jadi kamu akan diberikan hukuman," kata Zizi.

"Kenapa aku dihukum? Sementara aku tidak melakukannya? Apakah keadilan di sekolah ini tidak ada?" jeritnya.

Semuanya pergi dan tidak menganggap keberadaan Alina serta juga pembelaan darinya.

Gadis itu tersedu-sedu di bawah pohon besar. Fatia duduk di samping Alina dan memberikan kekuatan.

"Maaf, Alin. Aku enggak bisa bantu kamu apa-apa. Tapi aku percaya kok sama kamu. Kamu pasti tidak akan melakukannya bukan?"

Alina menatap temannya itu dengan haru. Di saat semua orang menjauhinya, Fatia duduk di samping dan memberikan kekuatan. Dia juga percaya jika hal ini tidak melakukan perbuatan itu.

"Kamu beneran percaya sama aku?"

Fatia mengangguk. "Percaya dong. Nggak mungkin seorang Alina bisa berbuat curang. Apa lagi bermain di belakang seperti itu. Terlihat sangat buruk dan tidak keren."

Keduanya saling tertawa. Mulai perlahan Alina memiliki kepercayaan diri. Dia sudah bisa tersenyum meskipun itu hanya sekilas.

"Al, apa kamu nggak mau ngebales perbuatan mereka?"

"Mau, tapi bagaimana caranya?"

"Ok. Karena kamu mau membalas mereka. Kita akan melakukannya setelah pulang dari study tour ini. Apa kamu setuju?" Fatia mengulurkan tangannya dan kemudian disambut oleh Alina.

Mereka berdua mendengarkan suara dari penunggu hutan yang sedang bernyanyi. berada di hutan seperti ini membuat hati terasa tenang dan juga pikiran menjadi ringan, seharusnya.

Tapi bagaimana jika kau berada di hutan namun kejadian buruk terus saja menghantui dan juga menimpamu?

Apa yang akan kau lakukan? Apakah kau akan terus berjalan dan melewati semuanya. Ataukah kau akan kembali ke tempat semula dan berdiam di sana menunggu seseorang yang datang untuk dirimu?

Semua pilihan ada pada diri kita masing-masing. Namun hanya sedikit di antara kita yang berani untuk mengambil jalan pintas.