Alina, gadis itu pergi ke sekolah dengan penampilan yang berbeda. Dia sudah tak lagi mengepang dua rambutnya yang panjang. Namun dijadikan satu.
Sedikit ragu, namun dengan keyakin yang penuh dia melangkah masuk ke dalam kelas. Mencari bangkunya lalu duduk di sana hingga sang guru datang.
Ketika guru sudah masuk, semuanya mengumpulkan surat izin orangtua. Namanya terpanggil dan meletakan surat itu di antara anak-anak lainnya.
Lalu si guru memberitahu kapan jadwal mereka berangkat ke puncak. Serta barang apa saja yang diperlukan.
"Oke. Anak-anak. Sekarang Ibu akan menjelaskan tentang barang bawaan kalian. Apa saja sih yang harus kalian bawa untuk ke puncak," katanya.
Alina sudah menyiapkan buku serrta bulpen untuk mencatat benda apa saja dan juga keperluan lainnya.
Dia takut jika lupa, salah. Semuanya akan kembali memusuhinya. Alina tidak mau menambah musuh lagi.
"Jadi kalian sudah jelaskan tentang barang bawaannya."
"Sudah, Bu."
"Bagus. Kalau begitu kalian boleh pulang lebih awal untuk mempersiapkan diri serta barang-barang."
"Loh, kita perginya besok, Bu?" tanya Fadel kaget.
"Bukan, tapi Minggu depan."
"Loh kenapa pulang cepatan sih, Bu," protes Sinta.
"Karena Ibu ada urusan mendadak. Apa kalian tidak apa-apa kalau Ibu tinggalkan?"
"Enggak, Bu. Kita pulang aja. Lagian juga gue mau hang out. Ya gak girls."
"Yoi. Benar banget. Mumpung pulang cepat. Gimana kalau kita ngafe aja yuk!" ajak Audia.
Kelas sudah lengang. Namun Alina masih sibuk membereskan buku serta benda di atas mejanya.
Gadis gemuk itu mengambil tas dan kemudian keluar. Namun langkahnya berhenti ketika anak nakal berdiri dan menghadang Alina.
Tentu saja dia mundur. Dia masih belum membangunkan singa dalam tubuhnya. Dia masih seperti seekor kucing yang takut dan juga tak berdaya.
"Mau ke mana lo!"
"Pulang."
"Enak aja lo main pulang. Piket sana!" Reva melemparkan sapu serta sekop.
"Kenapa aku? Kan Al gak jadwalnya hari ini. Kalian saja yang mengerjakannya."
Alina menerobos badan mereka. Namun sayang, kakinya sengaja diingkai sehingga terjatuh dan terjerembab ke saluran got.
"Udah deh, enggak usah drama. Bersihin cepat. Atau lo kau gue gampar kayak kemarin lagi. Iya!" Tangan Audia dilayangkan membuat Alina menutupi muka dengan tangan besarnya.
******
Alina duduk di kelas sendirian. Dia melihat jam tangan Audia tergeletak di meja. Namun entah bagaimana ceritanya panjang, jam tangan itu terjatuh ke lantai.
Karena dia ingin membantu, jadi dia meletakkan kembali jam itu ke meja Audia.
Namun siapa sangka, bahwa dia dituduh ingin mencuri. "Ngaku lo! Lo pasti mau nyolong kan."
"Enggak, Al gak nyuri. Al cuma mau bantu naikin jam itu aja kok. Sumpah!"
"Jangan bohong lo. Gue tahu, lo pasti iri kan sama jam gue. Secara gue bisa beli apapun. Sementara lo, lo enggak bisa."
"Bu-bukan gitu-"
"Alah. Jangan ngebantah! Sekarang cepat lo sujud di kaki gue."
Alina menolak permintaan gila dari Audia. "enggak mau. Lagian kamu siapa. Kenapa nyuruh Al untuk sujud. Kamu bukan Tuhan dan juga bukan orang tua Al," tegasnya.
"Oh jadi gitu. Lo berani ngebantah ya!" Audia menepuk-nepuk tangannya lalu meniup dan melesatkan sebuah tamparan keras di pipi Alina.
Pipi gemoy itu langsung memerah dan juga terasa panas. "Kenapa kamu nampar, Al? Al enggak salah apa-apa. Seharusnya kamu bilang terima kasih karena Al sudah bantu."
"Cuih!" Dia meludahi wajah Alina.
"Anjin*." Tangan Audis menarik kepala Alina dan membenturkan ke dinding. Itu sangat kuat dan juga kasar.
"Ini hukuman buat orang yang berani melawan gue."
Alina sadar. Dia seketika menggeleng dan mengambil sapu yang dilemparkan tadi. Dia segera membersihkan semua area kelas hingga ke sudut-sudut dinding.
Ketika pulang, Alina juga harus berjalan kaki karena uang jajannya diambil oleh Brayan dan juga Fadel.
Alina sungguh menderita. Tapi apa boleh buat. Alina sendiri memendam rasa sakit itu tanpa mau berbagi dengan orang-orang terdekatnya.
"Lo ngapain si gendut. Kok wajahnya bisa sampai gitu."
"Pelajaran biar dia bisa lebih hormat, ya gak, Tik."
"Ya bagi gue sih sah-sah saja. Asalkan kalau dia ngadu ke depannya. Tanggung akibatnya sendiri. Jangan minta tolong ke gue."
"Ya, enggak asik dong. Lo gitu sih, Tik!" rutuk Audia kesal.
"Makanya lain kali ajak kita-kita dong. Biar lebih pro gak sih," kompor Reva.
"Nah itu dia. Gue enggak akan bantu lo kalau lo main sendirian ya," sahut Tika.
"Oke. Aman itu. Gue bakal cari momen di mana dia benar-benar dapat pelajaran. Orang kek dia tuh enggak pantas ada dis sekolah ini."
"Dia tuh harusnya di DO aja dari sekolah," tambah Reva.
"Cabut yuk!"
Mereka berempat pergi menuju kafe. Mereka bersenang-senang di kafe, sementara pekerjaan sekolah mereka dikerjakan oleh Alina. Gadis malang.
Dia terlalu takut untuk menghadapi manusia jahat dan menyimpan rahasia besar itu rapat-rapat.
Siapa sangka, jika suatu saat nanti. Alina akan menentang mereka lalu menghapuskan pembulyan.
Saat di kafe. Alina yang juga makan di kafe yang sama dengan keempat gadis itu tak tahu jika mereka satu tempat makan.
Alina bertemu dengan Fatia. Siswi itu mencoba untuk menjadi teman Alina.
Mereka sama, senasip. Mereka sering di-bully. Namun berbeda saja. Alina orang yang baik, tak pernah berkata kasar, namun Fatia. Dia gadis cukup pemberani.
Hanya saja kalah jumlah. Jika imbang, sudah dipastikan jika dia memang.
"Hai Fatia. Kamu udah lama ya nantiin Al," katanya.
"Enggak juga sih. Kenapa lo datangnya terlambat?"
"Anu, Al tadi nunggu angkot. Tapi lama banget. Penuh semua."
"Kenapa.gak naik grab aja. Kan lebih mudah."
Alina tersenyum kecut. "Aku terlalu besar untuk menambah beban mereka. Cukup sudah aku menahan beban ini sendirian."
"Jangan ngada-ngada deh. Mau segede apapun badan lo, enggak akan ngaruh. Kalau emang gak bisa grab, kenapa gak go-car aja. Kan adem. Gak kepanasan."
Alina lagi menggeleng. "Enggak, Tia. Al lebih suka yang sederhana seperti naik angkot. Kalau di angkot rame, bisa bersosialisasi terus juga punya pengalaman banyak."
"Huf, susah ya ngomong sama orang yang terlalu baik banget dan juga terlalu sederhana."
Alina tertawa kecil. Dia sudah bisa melepaskan tawanya meski itu hanya di depan Fatia.
"Gitu dong, senyum, ketawa, happy. Dibawa enjoy aja. Jangan terlalu tegang, takut atau apalah. Lo kalo dilihat-lihat, manis juga sih."
Wajah Alina memerah seperti kepiting rebus. "Gue ngomong apa adanya loh. Enggak dibuat-buat. Lagian nih ya, mereka aja tuh yang enggak bisa ngelihat lo, Al. Lo juga cantik kok dibandingkan sama mereka," tambah Fatia.
"Cantik itu relatif. Tapi bagaimana cara kita mensyukuri adalah canti yang sesungguhnya."