Setelah kejadian semalam, arena mendapatkan lebih banyak pembullyan dari teman-temannya.
Dia yang pergi ke sekolah diboncengi oleh Toni, melihat jika beberapa kelompok sudah menunggu kedatangannya di depan gerbang.
Matanya terus saja melihat ke sekeliling gerbang untuk mencari jalan lain agar bisa masuk ke sekolah. Akan tetapi tidak ada jalan kecuali melewati gerbang.
Banyak perandaian yang dicurahkan oleh Alina kepada Tuhan. seandainya saja Dia kurus sudah pasti bisa melompat atau menaiki pagar belakang.
Toni yang melihat adiknya gelisah pun bertanya. Tangannya menerima helm yang diberikan oleh Alina.
"Dek, kenapa kamu terlihat seperti gelisah begitu?" tanya Toni.
Alina segera tersenyum untuk menutupi kebohongan agar Abangnya tidak tahu jika dia akan mendapatkan masalah.
"Nggak, nggak ada apa-apa kok, Bang," katanya tersenyum.
"Yakin tidak ada apa-apa?" kata Toni masih kurang yakin.
"Iya, Bang!" Dia mengangguk mantap. Lalu Alina menyuruh Abangnya agar segera pergi ke kantor dan tidak terlambat.
"Udah, Abang pergi sana. Baik-baik aja kok. Mungkin aja itu perasaan, Abang."
"Barangkali. Ya sudah kalau begitu Abang pamit dan kamu semangat sekolahnya." Alina mengecup punggung tangan Toni.
Dia dapat melihat sepeda motor Abangnya bersaing dengan kendaraan yang ada di jalan raya.
"Aku harus bagaimana? Jika aku hanya berdiri di sini, maka aku akan membolos. Akan tetapi jika aku maju, mereka tentu tak akan membiarkan aku lepas begitu saja," ucapnya bingung.
Alina berdiri di depan gerbang hingga bel masuk berbunyi. Jika sudah begitu, dia baru bisa masuk melewati gerbang dengan tenang dan aman.
Tapi jangan senang dulu, kejutan besar sudah menanti dirinya di pintu kelas. Terlebih guru mereka tidak hadir ke sekolah.
Alina yang malang. Dia yang tidak bergabung dalam grup WhatsApp sekolah, tidak tahu apa-apa tentang guru ataupun pelajaran yang telah dirubah.
Saat tubuh besarnya memegang kenop pintu, bunyi suara air mengalir dan membasahi seluruh badannya.
Seperti biasa, dia akan pergi ke kamar mandi untuk mengganti seragam serta membersihkan diri.
Tidak ada tempat yang nyaman selain kamar mandi bagi anaknya selama di sekolah. Dia yang tahu jika guru tidak masuk, memilih untuk berada di kamar mandi.
Hingga pelajaran tertukar, barulah dia akan kembali ke dalam kelas. Kelas yang menurutnya adalah neraka tersendiri di dunia. Jika dia boleh meminta untuk pindah kelas, maka dia akan mengikutinya.
Semua murid kelas 10-3 berkumpul di lapangan bola basket. Heru datang dengan membawa bola basket di tangannya.
Dia membunyikan peluit, memberikan aba-aba kepada muridnya agar segera berkumpul dan membentuk barisan.
Mereka yang mendengar bunyi peluit pun segera membentuk beberapa barisan. Alina selalu berada pada barisan paling belakang.
Setelah selesai mengabsen muridnya, Heru akan membagi mereka menjadi beberapa kelompok.
Anak laki-laki bermain di lapangan sebelah kanan sementara bagi perempuan mereka akan bermain di tengah bagian lapangan.
Sial! Alina tidak bisa menolak ketika Heru menyebutkan namanya tergabung ke dalam Tika beserta teman-temannya.
Keempat gadis itu memandangnya dengan sinis. Alina hanya menunduk dan mengambil posisi paling belakang. Setelah Heru pergi dari lapangan dan meninggalkan murid cewek bermain seperti yang mereka mau.
Pukulan bola mengenai lengan kanan Alina. Dia menjerit namun semuanya mentertawakan Alina serta mencemoohnya.
"Pukulan bola kayak gini juga nggak akan mempan sama badan lo yang gendut," sindir Sinta.
"Benar itu. Kayaknya kurang asyik deh kalau cuma satu kali pukulan. Gimana kalau 5 kali lagi." Semuanya setuju dengan penuturan Reva.
bola berulang kali mengenai Alina dan mereka sama sekali tidak memiliki rasa kasihan atau iba.
Hingga jam pelajaran olahraga habis, Alina baru tidak mendapatkan pem-bully-an lagi.
*****
"Baik anak-anak semuanya. Minggu depan kita akan pergi ke puncak," kata gurunya.
"Apa? Puncak?" Sorak Sinta berserta murid lainnya.
"Kenapa harus minggu depan sih, Buk. Besok pun jadi. Ya gak guys!"
"Tika, ini adalah keputusan saya. Kamu tidak berhak untuk mengatur saya, mengerti!"
Si guru memberikan masing-masing dari siswanya surat pemberitahuan kepada orang tua tentang perjalanan mereka ke puncak.
"Buk, kalau di dalam kelas ini enggak ada yang ikut 1 orang, gimana?" tanya Brayan tiba-tiba.
"Pertanyaan yang bagus, Brayan. Jadi begini, jika ada salah satu di antara kalian yang tidak ikut dalam study tour ini, maka acara kita dibatalkan."
Semuanya kaget dan saling pandang. "Ya nggak bisa gitu dong, Buk. Masa iya cuman karena satu orang aja bikin kami semuanya di sini kecewa," bantah Audia.
"Bener itu. Siapa sih di kelas ini yang nggak ikut study tour?" tanya Tika.
"Sudah, jangan pada ribut. Kita akan mendapatkan hasilnya besok. Sekarang buka halaman 62."
*****
"Ma," kata Alina ketika mereka sedang menikmati makan malam bersama.
"Ya, kenapa Al?"
Aina mengambil kertas dari dalam kantong baju tidurnya dan meletakkan di atas meja.
"Ini apa, Nak?"
"Mama baca aja deh. Nanti juga tahu sendiri."
"Baiklah." Ibunya yang membaca tentang surat izin untuk study tour ke puncak.
"Apa kamu harus dan diwajibkan banget untuk ikut study tour ini?" tanyanya.
Alina mengangguk tidak semangat. "Kalau memang iya, lalu kenapa wajah Al tidak senang begitu? Apa Al lagi berantem ya sama teman-temannya di sekolah?" tebak Ibunya.
Jauh di dalam lubuk hatinya menangis. Dia ingin bercerita kepada wanita yang ada di sampingnya ini bahwa dirinya tidak memiliki teman satu pun di sekolah.
Bahkan selama 3 bulan lebih dia mengenakan seragam putih abu-abu, selama itu juga dia tak memiliki yang namanya teman.
"Bu-bukan, Ma. Al cuma nggak mau pisah dari Mama," katanya manja untuk mengalihkan pembicaraan.
"Sayang, study tour ini memang diperlukan sekolah bukan? Lagian di sana nggak lama kan. Paling lama seminggu," kata Ibunya.
"Loh Mama tahu darimana?" tanya Alina kaget.
"Ini," si Ibu mengangkat kertas itu. Kemudian meminta Alina untuk mengambil pulpen dan menandatanganinya.
Alina bernapas dengan lega. Setidaknya Mama tidak melarang dirinya untuk pergi ke puncak. Itu artinya arina bukanlah penyebab kegagalan dari study tour.
"Loh Al, kenapa senyum-senyum gitu. Seneng ya Mama kasih izin pergi ke puncak."
"Seneng banget, Ma. Tadinya Al takut kalau Mama nggak ngizinin untuk pergi ke puncak. Tapi setelah ngeliat Mama menandatangani surat ini, rasa takut itu hilang, nggak ada," balasnya dengan penuh senyuman.
"Ya ampun sayang. Mana mungkin Mama nggak akan kasih izin kamu untuk pergi. Apa lagi nih acara sekolah."
"Betul itu, Dek. Nanti biar Abang deh yang kasih jajan buat Adek. Sekalian Abang juga mau beliin Al jaket baru biar enggak kedinginan di puncak," tambah Toni.
Mata Alina berkaca-kaca. Dia bersyukur memiliki dua orang yang selalu menyayangi dan mengerti dirinya.