Bel sekolah berbunyi. Semuanya berlari menuju kelas masing-masing. Tidak dengan Alina. Dia sudah duduk di mejanya ketika datang paling awal dan tidak beranjak sedikit pun.
Dia merupakan murid yang tekun, tertib serta tidak pernah datang terlambat. Alina mengeluarkan pena, buku tebal serta catatan dan meletakkan minumannya di dalam laci.
Lalu matanya melihat ke depan di mana guru sedang menerangkan pelajaran. Alina menyukai pelajaran seni budaya. Dia jago dalam menggambar dan juga melukis.
Namun bakatnya tak pernah dilihat oleh guru kesenian. "Oke. Pelajaran kita sampai di sini. Saya harap, kalian semua menggambar sesuai dengan tema yang ada," katanya lalu keluar kelas.
Jika sudah begini, Alina selalu saja ketakutan. Dia menunduk. Fadel serta Brayan mengambil Boba Alina sembarangan.
"Apa lo lihat-lihat?" cibir Fadel. Dia diam. "Buang aja deh itu minuman. Pasti banyak kumannya," ketus Brayan.
"Iya, Bos. Pasti banyak virus mematikan di sini. Ih!" Fadel menyiramkan Boba manis kesukaan Alina ke bak seragam gadis itu.
Byur. Alina memejamkan matanya. Rasanya manis dan dingin. Rasa boba yang seharusnya masuk melalui tenggorokan lalu bermain-main di dalam lambungnya sudah terbuang sia-sia.
"OPS! Kalian jahat bat deh sama Alina!"
"Jahat? Gak salah dengar gue!"
"Harusnya tuh kalian kayak gini!" Tika mendekat. Dia membuka kaus kakinya lalu melemparkan ke wajah Alina.
"Aduh Alina, sorry. Gue sengaja, haha." Kelakar seluruh kelas.
******
Loker ganti. Alina mengambil baju gantinya. Dia ke kamar mandi dan seperti biasa akan pergi ke laundry.
Alina memang lahir dari keluarga yang serba ada. Tidak kekurangan sedikit pun. Hanya saja, Alina sedang dilatih untuk berhemat dan menggunakan uang seperlunya saja.
"Jangan terlalu boros, Al. Sebab kita tidak ada yang tahu dengan harta, Nak. Bisa saja sekarang kita di atas, tapi beberapa tahun kemudian gimana?" Sekilas perkataan Ibunya membuat Alina tersenyum.
Dia harus menutup jauh-jauh kepedihan yang ada dengan mengulum senyuman yang memikat.
"Oke. Alina enggak akan nyerah. Enggak mau cengeng lagi. Al enggak mau kalau sampai ngecewain Ibu. Alina sayang banget sama Ibu," ujarnya.
Alina yang sedang berganti baju tidak menyadari kalau dirinya sedang diawasi oleh kamera pengintai yang sengaja dipasang oleh Tika and the geng.
"Waduh, montok juga ya si gendut itu!"
"Lo gimana sih! Jelaslah dia montok, semok berisi. Kan dia gendut anjir."
"Haha, lo benar juga. Gue sampai lupa," kekeh Sinta.
Setelah berganti baju, Alina ke kelasnya. Dia memakan sandwich. Satu gigitan harusnya terasa nikmat, namun jauh lebih pedas.
Mukanya merah dan telinga Alina berdenyut tak bisa menahan lagi pedas yang menggoyangkan lidahnya.
"Kenapa? Kenapa rasanya begitu pedas!" Tangan Alina mengambil minuman Boba yang dia pesan kembali ketika berjalan ke kelas. Dia sempat ke kantin untuk membeli Boba yang tadinya terbuang.
Alina meminum boba dan rasa panas serta pedas mulai berkurang. Namun bibirnya dower dan memerah.
Guru datang dan menghapus coretan di papan tulis.
"Kita mulai absennya ya!" Guru laki-laki itu membalikan buku absen. Setelah semuanya selesai diabsen, Audia berteriak menyebut nama Alina.
Kepalanya yang sempat pusing tidak terlalu mendengar suara jeritan mereka.
"Alina, kenapa bibir kamu merah begitu? Jelaskan apa yang terjadi!" Senggah si guru dengan tatapan yang mengintimidasi.
"Hm, anu, Pak. Ini, karena-" Alina gagal. Bibirnya terasa berat dan kaku ketika digerakkan.
"Ya ampun Alina. Lo makin mainstream aja ya. Gue enggak nyangka."
"Berapa kali kissing sih. Kok sampe bibir lo merah gitu," tambah Reva.
"Kissing? Apa itu kis-kissing?" tanyanya polos.
"Halah! Jangan sok enggak tahu deh lo. Jangan munafik!"
"Tapi Al emang gak tau apa itu," katanya membela diri.
"Udah deh, Pak. Mendingan bawa aja dia ke ruangan BK. Dia harus ditanggulangi." Seisi kelas tertawa mendengar ucapan Fadel.
"Lo pikir dia binatang apa sampai ditanggulangi segala?"
"Eh dia tuh kingkong. Wajar dong bahasa gue gitu," sungut Fadel kesal.
"Dia bukan cuman binatang aja, tapi dia pembawa masalah di kelas ini. Biang keladi yang harus diusir dan dimusnahkan."
"Benar-benar. Gue setuju itu. Kalau ada dia di kelas ini, semua masalah ada. Pasti ada. Mulai dari kelas kita kalah lomba, walas kita tertabrak dan kecelakaan."
Alina menarik napasnya. Tangannya mencengkram sudut rok abu-abunya. Alina sudah tak bisa lagi menahan emosinya. Dia harus marah dan menunjukkan kepada semuanya bahwa dia bukan pembawa masalah.
"Dan sekarang, lo nyebabin scandal. Kissing. Ya ampun!"
"Siapa sih cowok yang mau ciuman sama lo, hah! Gue penasaran!"
"Alina, ke ruang BK sekarang juga!"
"Tapi, Pak. Al enggak ngelakuin itu."
"Kamu jelaskan di sana nanti!" Alina berdiri dengan kasar serta emosi menimbulkan suara gaduh dari kursi yang didudukinya.
Ruangan BK. Wanita kurus gak berbanding terbalik dengan tubuh gempal Alina menutup gorden serta pintu.
"Alina, apa kamu tahu sudah yang keberapa kali kamu duduk di kursi ini!" tanyanya. Alina mengangguk.
"Sudah sering, Buk," balasnya lemah.
"Apa kamu tidak bosan menemani saya di sini? Apa kamu memang membutuhkan perhatian sehingga terus saja menimbulkan masalah," katanya secara tak langsung menuduh Alina dan mempercayai mereka yang memfitnah Alina.
"Buk, Al enggak melakukan apa yang dituduhkan sama mereka. Al enggak mungkin berbuat buruk gitu," jelasnya.
"Ada bukti. Kamu mau mengelak bagaimana lagi Alina? Jelas-jelas sudah ada buktinya!"
"Bukti itu salah, Buk. Bibir Al merah dan bengkak karena makan sandwich yang pedas banget. Al juga gak tahu kenapa tiba-tiba dia jadi pedas gini."
"CK! Kau memang pandai mencari alasan. Sungguh disayangkan murid setertib kamu berbuat di luar sekolah."
"Kenapa sih kalian semua selalu saja menuduh Alina yang tidak-tidak. Padahal Alina enggak pernah berbuat hal keji itu. Bukannya seorang guru itu bertugas melindungi muridnya. Tapi apa yang sekarang kalian lakukan? Kalian malah tidak mempercayainya. Kalian termakan dengan omongan murahan dan rendahan. Apa karena aku tidak cantik? Apa karena kamu tidak sekurus kalian?"
"Alina, jaga nada bicaramu. Kami para guru. Memperlakukan semua murid sama. Tak ada yang dibeda-bedakan." Alina bertepuk tangan.
Dia mengangkat satu sudut bibirnya ke atas. Dia terpaku dan menelan sakit hatinya.
"Jaga bagaimana? Apa aku harus diam dan tak bisa untuk berbicara. Menyampaikan pendapatku? Bukankah negara ini, negara bebas berpendapat?"
"Kau membuatku jengkel. Aku akan memanggil orangtuamu dan memperlihatkan video ini!"
Mata Alina membulat sempurna. Video? Video bagaimana. "Video apa, Buk? Apa kalian memang sengaja ingin menjebak dan mengeluarkan aku dari sini?" Jeritnya.
"Saya sudah bilang. Saya memiliki buktinya. Kamu bersikeras dan menentang saya."
Alina keluar dengan membawa surat peringatan. Dia menunduk dan menangis di bawah pohon besar.