Nyanyian dari anak-anak berseragam putih abu-abu itu tengah lapangan menggema di seluruh sekolah. Mereka tengah melakukan nyanyian Indonesia Raya setiap hari Seninnya.
Alina berdiri pada barisan belakang. Meskipun dia pendek dari teman lainnya, namun tak ada satu orang pun yang mau bergeser atau memberikan dia barisan depan.
Dia hanya bisa mengelus dada dan tersenyum pahit. Tak ada yang pahit, kecuali menerima kenyataan jika orang-orang tidak mengakui keberadaan kita.
Sungguh disayangkan. Setelah upacara selesai. Alina menuju kantin. Dia harus segera ke kantin supaya bisa membeli Boba manis dan juga kue kentang kesukaannya.
Selain Heru, Pak Satpam. Di sekolah Ibu kantin juga termasuk orang yang disukai oleh Alina.
Gadis itu belum lama ini ke kantin. Dia hanya terpaksa saja. Sebab air mineral Alina habis dibuang oleh Brayan dan juga Fadel.
Dua bocah laki-laki nakal dan biang rusuh. Mereka sangat menjengkelkan dan jahil.
Dia menghampiri Ibu kantin yang sedang membungkus beberapa cemilan yang nampak lezat dan membuat air liur keluar.
"Assalamualaikum Ibu," sapa Alina tersenyum.
Wanita yang memakai jilbab abu-abu itu tersenyum. Membalas sapaan hangat dari Alina.
"Waalaikumsalam, Al. Kok tumben kamu pagi-pagi ke sini?" tanyanya.
"Al mau beli kue kentangnya. Soalnya Al takut kehabisan kalau siangan ke sini, Bu," jelasnya. Tangannya yang gemoy mengambil tujuh bungkus kue kentang. Kemudian menerima kresek dari Ibu kantin.
"Loh Al, kok banyak sekali?" ujar si Ibu yang kaget.
Alina senyum-senyum malu. "Ibu, Al enggak cukup kalau makan cuman satu atau dua bungkus saja. Lambung Al besar dan perlu asupan banyak," jawabnya terkekeh.
"Kamu bisa saja, Al. Ini Ibu kasih bonus deh. Karena kamu pembeli pertama Ibu hari ini!"
Wajah sumringah Alina memerah. Dia tidak menyangka akan mendapatkan tiga imbalan dari Ibu kantin.
Namun dia merasa tidak enak. Kemudian meletakkan dua bungkus.
Ibu kantin menatapnya bingung. "Kenapa ditaruh lagi Al?"
"Satu saja cukup, Bu. Kalo Ibu kasih Al banyak kek gini. Yang ada Ibu rugi," ujarnya sembari mengeruk kantung baju kemudian mengeluarkan uang kertas berwarna biru.
"Sedekah enggak akan ngurangin pendapatan kok. Gak akan bikin rugi. Malahan Ibu senang bisa kasih ke kamu Al." Ibu kantin mengambil kembali kue kentang dan menaruh di kresek Alina.
Alina ingin menolaknya, namun Ibu kantin tidak terima jika pemberiannya ditolak.
"Gak baik loh kalau nolak rezeki," sahutnya.
"Terima kasih ya, Bu. Al janji deh. Bakalan sering-sering jajan ke sini. Soalnya selain bersih dan juga sehat, masakan Ibu enak. The best. Al suka." Dia mengacungkan dua jempolnya.
"Anak baik. Terima kasih atas pujiannya. Ibu senang kalau ada siswa yang suka sama masakan ini. Itu artinya Ibu bisa dong jadi chef," balasnya terkekeh.
"Bisa dong. Atau mau Al bantu buat pendaftaran, hehe."
Ibu kantin menggeleng kepala. Sepatu Alina berdetak dan mengeluarkan bunyi yang cukup keras.
Dia memasukkan kue tersebut ke dalam tasnya. Dia akan memakannya nanti setelah jam istirahat.
Alina melihat sekeliling bahwa hanya dirinya yang tidak memiliki teman sekali. Iri? Tentu saja.
Dia merasa sangat ingin untuk memiliki teman berbicara. Bergurau atau diajak untuk jalan-jalan.
Jam pelajaran sudah dimulai. Hari ini, anak-anak dari kelas 10.3 dijadwalkan untuk pelajaran BK atau Bimbingan Konseling.
Semuanya duduk dengan tenang dan tertib. Tidak ada suara gaduh seperti biasanya.
Alina bingung, tapi kepada siapa dia hendak bertanya? Teman saja tak punya.
Dia memainkan pulpen di atas meja. Kemudian sosok laki-laki bertubuh gemuk hadir dengan perutnya yang buncit. Dia sudah mengandung selama tiga tahun. Namun si bayi tak kunjung keluar. Yang keluar malah air besarnya.
Sebut saja dia Pak Iko. Dengan kaca mata bulat melingkari matanya serta membawa satu buku tebal. Dia masuk dengan tatapannya yang tajam seperti ingin memakan siapa saja.
Memperhatikan satu persatu murid yang ada di kelasnya. Lalu meletakkan buku tadi sembarangan. Bar...
Semua siswa kaget.
"Anjir! Keras amat bunyinya."
"Jantungan gue," balas Sinta mengelus dadanya.
Tika and the geng kaget. Mereka berbisik-bisik. Membicarakan Pak Iko serta Alina.
Pertama-tama memerhatikan Pak Iko lalu kemudian Alina. Eh tidak, sebaliknya. Pak Iko keluar setelah mendapatkan panggilan masuk.
"Kalian tunggu di sini. Bapak ada urusan urgent!" ucapnya.
"Ssst! Kalian perhatikan Pak Iko tadi kan," kata Audia.
"Iya, gue rasa dia mirip sama seseorang gitu. Tapi siapa ya?"
Fadel nyeletuk. Dia menunjuk Alina dan menjadikan gadis tak bersalah itu bahan olokan.
Lalu melemparkan kertas yang sudah diremas seperti bola ke meja Alina. Kemudian diikuti oleh teman sekelasnya.
"Eh gendut! Jelek! Dia pasti bokap lo kan!" tuduhnya.
Alina yang tadi melamun terpaksa mengangkat kepala dan melihat jika ada banyak pasang mata memperhatikan dia.
"Ngaku lo!"
"Kalo emang benar. Itu artinya dia punya pawang dong ya!"
"Bodoh amat. Mau dia punya pawang kek, teman kek. Gue enggak peduli!"
"Huh!" Lemparan demi lemparan Alina terima.
Gadis itu bersembunyi di balik tasnya yang besar. Beberapa saat kemudian Pak Iko datang dengan sorot matanya yang tajam, merah seperti drakula.
"Kenapa kelas jadi berantakan seperti ini!" teriaknya kemudian menendang meja guru.
Di saat semuanya diam. Brayan berbicara. Dia menjelek-jelekkan Alina.
Mengatakan bahwa gadis itu adalah biang masalah di dalam kelas. "Dia, Pak! Dia yang sudah cari masalah sama saya, Pak."
Kumisnya bergerak ke atas. Tak tak tak. Berjalan mendekati meja Alina. Gadis gemuk itu menundukkan kepalanya.
"Apa benar yang dikatakan dia!" tanya Pak Iko. Sebab dia tidak yakin jika Alina yang sudah menyebabkan masalah ini.
"Benar, Pak!" ucap satu kelas.
Mereka berusaha untuk menyakinkan guru gendut itu. Namun sayang. Dia berbeda dengan guru lainnya.
"Saya tidak yakin bahwa dia yang sudah menyebabkan ini!" katanya.
"Kenapa Bapak tidak yakin? Jelas-jelas kami melihat dia merobek buku, meremas lalu membuangnya sembarangan," sanggah Tika.
"Saya setuju. Alasannya apa coba. Jelas-jelas kami di sini. Kami melihat apanya sudah dilakukan dia. Masih tidak percaya juga!"
"Bisa kalian menjelaskan semuanya. Sejelas-jelasnya?"
"Bisalah," jawab Fadel. Cowok itu mengatakan jika Alina memiliki sisi lain.
Sejenis penyakit yang tidak berbahaya, namun bisa dianggap gila.
"Dia tetangga saya, Pak. Saya tahu dia sejak lama, Pak!"
Alina terpaksa mengangguk. Dia dipaksa oleh Tika yang tiba-tiba duduk di sampingnya. Namun kaki Tika menginjak kaki Alina.
"I-iya, Pak. Al yang sudah membuat kotor ini!"
"Sekarang juga kamu bereskan semuanya! Saya tidak akan memulai pelajaran jika kelas ini masih kotor. Mengerti!"
"B-baik, Pak." Alina mengambil sapu dan juga tempat sampah untuk memunguti temukan kertas.