Alina terdiam. Dia mengingat kejadian tak mengenakan beberapa waktu lalu. Di mana, dia mulai untuk dekat dengan orang lain.
Namun dia terjebak. Dia dijebak dan menjadikan alasan kejujuran Alina tersebut sebagai bahan olokan.
Dia memberanikan diri menatap mata hitam legam milik Fatya. Suatu keberanian yang sudah dimiliki oleh Alina. Perlahan namun pasti.
Akan tetapi, dia tak bisa memandang mata Tika dan teman-temannya. Mereka itu jahat, kejam dan akan terus menyiksa Alina.
"Jangan takut! Aku tidak sama seperti yang lainnya," ucapnya meyakinkan Alina.
Alina menarik napas. "Huf! Aku pernah menduga seseorang itu baik. Aku sudah ceritakan apa yang aku rasakan. Lalu dia malah mencampakkan aku ke dalam dasar kekecewaan."
Fatya prihatin. Namun dia juga tidak bisa untuk memaksa Alina bercerita.
"Oke. Aku tahu. Tapi aku juga tidak bisa memaksa kamu untuk bercerita. Tapi jujur, aku kecewa karena kamu menyamakan aku dengan mereka." Alina tercengang.
"Kata-kata itu, kata yang sama diucapkan Sinta," batinnya.
Alina pun bangkit. Dia menjauh dari Fatya. Dia pun pamit harus balik ke kelas. Dia mencari berbagai alasan yang pas.
Sebenarnya tidak ada alasan untuk Alina untuk berbohong. Toh dia dan Fatya baru ketemu dan tidak saling mengenal satu sama lain.
"Al permisi dulu."
Fatya juga tak meminta agar Alina tetap ada di sisinya. Namun dia tahu ketakutan yang dialami oleh gadis gemuk itu.
"Huh, padahal aku hanya ingin berteman. Tidak berniat jahat sama sekali." Dia merebahkan kepalanya.
Alina berjalan menuju kelas. Dia tahu semuanya bohong. Sandiwara yang sedang dijalankan.
Bisa saja Fatya itu adalah Intel atau rekan dari Tika. Dia tahu Tika orang yang licik.
Plakkk. Satu tamparan mendarat di sudut bibirnya. Alina memegang bibirnya yang berkedut.
"Ops, sorry! Gue pikir gak ada orang yang lewat tadi," kata Audia.
Gadis itu berlari ke kamar mandi. Mengompres pipinya yang biru. Alina juga sudah menyiapkan boba manis kesukaannya.
Dia akan menikmati minuman itu di kamar mandi. Ya, meskipun itu sudah dilarang. Namun apa boleh buat.
Jika dia memakan itu di luar kamar mandi. Sudah dipastikan jika Tika akan mengambil boba-boba ini.
"Enggak apa-apa kalau kamu dirundung Al. Tapi ingat, kamu harus bisa berubah. Jangan jadi Alina yang lemot lagi," katanya menyemangati dirinya sendiri.
Sambil menempelkan minuman dingin ke pipinya, Alina bermain ponsel. Kebetulan ini adalah waktunya istirahat.
Alina bisa berlama-lama di kamar mandi. Gadis itu memotret minumannya serta dirinya.
"Wah pipi Al makin ngembang aja. Pasti gara-gara kamu ya!" Dia mengajak benda mati itu berbicara.
"Tapi enggak apa-apa deh. Yang penting kamu gak jahat kayak mereka. Kamu gak berkhianat. Kamu selalu saja ada buat Al. Setiap harinya." Alina tertawa.
Dia sedang berusaha untuk memikirkan hal positif dan melupakan kejadian buruk tadi.
Dia sudah kebal menghadapi pembulyan di sekolah ini. Sekolah yang katanya sejahtera.
Ya, kata sejahtera itu hanya berlaku untuk mereka yang kuat dan juga dipuji.
Alina memperbaiki rambutnya yang mencong. Lalu menempelkan foundition ke sisi yang terluka.
Dia melihat kakinya memar berwarna biru. Menyentuh sedikit lalu terasa perih.
"Aduh, sakit," ringisnya. Alina menangis sendirian di kamar mandi.
Dia akan membekap mulutnya secara erat-erat agar tak mengeluarkan suara apapun.
"Ma, Al enggak mau ngecewain Mama dan Abang. Al pasti akan bertahan di sekolah ini. Walau Al tahu, Mama pasti akan memindahkan Al setelah tahu kejadian ini!" Dia memandangi foto dia beserta keluarga besar.
******
Saat di kelas. Alina melihat kursinya berwarna putih. Kemudian bukunya juga sudah dicoret-coret.
Seisi kelas melempari Alina kertas yang sudah digulung. Dia diam. Tak melakukan perlawanan.
"Dia bodoh ya! Kita bully gini, masih saja diam!"
"Biarin aja."
"Ya apa peduli lo sih. Lo mau temanan sama dia ya!"
"Iuw enggak level." Lalu sorakan demi sorakan memenuhi liang telinga Alina.
Gadis itu hanya menutup telinga dengan kedua tangan.
Fadel datang membawa berita bagus. "Teman-teman, guru kita gak masuk! Kita bebas mau ngapain aja!"
Tika dan teman-temannya saling berpelukan. Mereka bermain ponsel dan membuat tiktok.
Sedangkan bagi Alina itu adalah bencana. Dia sudah menyiapkan diri agar tidak runtuh dan goyah.
"1 2 3!" Brrrrrr... Alina disirami air got you kotor dan juga bau. Dia diam.
Bahkan setelah itu dia kembali ke kamar mandi lagi. Alina membersihkan dirinya.
Di loker, Alina memiliki lima pasang baju seragam. Dia membeli seragam itu diam-diam tanpa sepengetahuan Mama dan Abangnya.
Lalu ketika salah satu seragam kotor, Alina akan membawanya ke laundry.
"Tuhan, apa ini jalan hidup Al? Apa ini takdir hidup Al yang menyedihkan?"
Alina duduk di bawah pohon besar. Dia melihat ke langit-langit. Menatap burung yang terbang secara berkelompok.
Mereka terlihat akrab dan juga baik-baik saja. "Burung, Al iri sama kalian deh. Kalian bisa bergerombol gitu. Sedangkan Al sendirian. Tak ada satu pun yang mau jadi teman Al," keluhnya.
Fatya memerhatikan Alina dari jauh. Gadis itu kemudian menjawab ungkapan Alina tadi.
"Jangan iri sama burung. Toh mereka itu tak memiliki akal seperti kita. Tapi irilah kepada langit. Dia bisa menerima semua yang melewatinya," balas Fatya.
Alina menoleh ke belakang. Dia kaget dan seketika berdiri. Namun saya berdiri, kaki Alina tersangkut dan dia terjatuh.
Kepalanya kebentur pohon dan benjol. Fatya mengompresnya dengan es batu.
"Hati-hati lain kali. Jangan jadi ceroboh gitu!" katanya.
"Enggak usah, Fatya. Al bisa sendirian kok." Dia mengambil es batu dan menempelkan ke dahinya.
"Tadi lo bilang mau punya teman ya?"
Alis Alina mengernyit. "I-iya," balasnya lata.
"Oke. Sekarang kita temanan."
"Hah? Temanan maksudnya?" kata Alina tak bisa berhenti melihat wajah Fatya.
Matanya berkaca-kaca dan berlinang. "Iya Al. Sekarang juga kita temanan. Best friend. Sama kayak mereka tuh!" Fatya menunjuk Tika dan ketiga temannya.
"Kamu seriusan Fatya? Apa kamu enggak malu punya teman kayak Al?"
"Never. Because kamu bisa jadi diri kamu sendiri tanpa harus melihat orang lain!" Fatya meletakkan kepalanya di bahu Alina yang empuk.
"Wah, ternyata bahu lo empuk juga ya. Gue bisa tidur dengan nyaman di sini. Gue betah nih!" Fatya memejamkan matanya.
"Tapi Al gak bisa jadi teman kamu, Fatya."
"Alasannya apa?"
"Al gak tahu niat kamu apa mau jadi teman Al."
"Knepaa? Lo takut kalau gue bakalan seperti mereka yang berpura-pura?" Fatya kembali menunjuk Tika.
"Iya!" Alina mengangguk.
"Huf! Kalau lo masih terus kek gini. Gue jamin enggak akan ada satu orang pun yang mau temanan sama lo. Sikap tertutup lo kek gini yang buat mereka semena-mena." Jujur Fatya kecewa.
Gadis itu pergi dan meninggalkan Alina.