Chereads / Fat or Slim? / Chapter 11 - BAB 11. Siapa Fatya?

Chapter 11 - BAB 11. Siapa Fatya?

Pembulyan sering terjadi pada siswa yang memiliki kekurangan. Jika dilihat dari situasi saat ini. Mereka kerap di-bully karena tubuhnya yang gemuk, kurus, hitam atau dekil.

Akan tetapi ada juga dari kehidupannya. Entah itu dia terlahir dari kekeuh yang tak berada, memiliki masa lalu kelam, seperti Ayahnya korupsi, Ibunya merupakan wanita malam dan banyak lainnya.

Namun jika hal itu terus-menerus dibiarkan, yang ada siswi yang terkena bulyyan akan memiliki mental down.

Mereka takut untuk bertemu atau bersosialisasi dengan orang lain.

Bisa juga mereka menjadi seorang introver. Mengurung diri dari keramaian dan menyembunyikan identitas mereka penuh ketakutan dan juga kegelisahan.

******

"Le-lepaskan aku," ucap seorang gadis kurus. Kepalanya berada di atas kaki jenjang.

Kaki yang diselimuti oleh sepatu mahal dan keras itu semakin menekan kepalanya ke bawah.

Tangannya gontai berusaha untuk mengelakkan sepatu itu. Namun sepatu tersebut semakin menambah kekuatannya.

Suaranya parah dan tak lagi normal. Napasnya menderu kencang. Matanya sudah berwarna merah serta sembab. Nampaknya dia sudah menangis. Menangis darah.

"Gue udah peringatin ke lo kan. Jangan pernah ganggu cowok gue lagi. Tapi kenapa lo abaikan peringatan itu hah!" Kini tangan kasar menjambak rambutnya hingga rontok.

Wanita kecil itu menangis menahan sakit. Air matanya sudah memenuhi sisi oipi serta mulutnya tak bisa untuk berbicara.

"Apa? Kok sekarang lo malah diem! Mana keberanian lo itu. Tunjukkin ke gue!"

Dua orang gadis memakai seragam yang sama dengan Alina. Mereka tampah begitu marah dan emosi.

Dia bisa melihat dari sorotan matanya. Alina bergidik ngeri.

Ia memilih mundur dan tidak ingin mencari masalah. Sudah cukup dia bermasalah dengan teman sekelasnya.

"Udah habisin aja. Lagian kapan lagi coba lo bisa nabokin tuh mulutnya yang sok hebat."

"Lo benar. Gue emang gedeg banget sama ni mulutnya. Gue rasa kalau beberapa goresan mungkin akan bikin dia diam. Ya gak!" Gadis itu sudah gila.

Dia mengeluarkan silet yang baru. Kemudian memegangi kepala cewek di bawah kakinya.

Dia berontak. Tapi apa boleh buat. Sudah kalah tenaga ditambah lagi kalah jumlah.

Alina menelan ludahnya. Napasnya menjadi sesak dan tak beraturan.

Perlahan dia mundur. Tapi tidak. "Tidak, Al. Kamu jangan pergi. Dia butuh bantuan kamu!"

"Tapi apa yang bisa aku lakukan? Aku juga takut dengan mereka." Alina berbincang dengan dirinya sendiri.

Perdebatan terjadi di dalam dirinya. Namun Alina segera berlari mencari bantuan.

Kakinya yang besar tergopoh-gopoh untuk menuju ruangan BK. Perihal ke ruangan BK, Alina kembali mendapatkan perlakuan buruk.

Kakinya sengaja diingkai oleh Fadel hingga dia terjatuh dan terbentur ke dinding. Kepala Alina sempat mengeluarkan darah. Namun dia bangkit dan pergi menemui guru di sana.

Kebetulan dia bertemu dengan Heru. Pria itu bertanya kepada Alina dengan suara yang khawatir.

"Loh Alina, kenapa kepala kamu berdarah?" tanyanya panik.

"Kepala Al berdarah itu enggak penting, Pak. Tapi ada yang lebih penting dari itu," kata Alina. Dia menarik tangan Heru ke tempat di mana dia melihat pembulyan itu.

"Ada apa? Coba jelaskan kepada Bapak."

"Bapak akan tahu sendiri kalau sudah melihatnya," katanya dengan suara yang serak.

Alina menahan rasa nyeri di dahinya. Saat sampai, Alina melihat jika gadis itu sudah tinggal seorang diri dengan keadaan yang memilukan.

"Ke mana mereka perginya?" tanya Alina dalam hati.

"Fatya, Fatya. Kamu kenapa?" Heru panik. Dia menggendong gadis itu tanpa berpikir panjang.

Alina mengekor di belakang. Namun dia masih ingat dengan orang-orang yang mencelakai gadis Fatya itu.

Mereka memiliki rambut panjang hitam. Kemudian ada tindik di mulutnya. Juga ada bekas cakaran tangan Fatya di bahu kanannya. Saat Fatya melawan minta dibebaskan. Namun mereka malah menendang perutnya dengan beringas.

Keduanya bermain-main dan melampiaskan emosi ke Fatya. Alina kasihan namun dia juga tak berdaya.

Tak bisa berbuat apa-apa. Mungkin sudah terlambat baginya datang. Mulut Fatya sudah koyak dan mengeluarkan banyak cairan darah.

Alina menyesal. "Sudah Al, jangan dipikirkan. Yang penting kamu sudah berbuat baik kepada dia. Bapak mengucapkan terima kasih banyak," kaya Heru.

Mereka sedang ada di rumah sakit sekolah. Heru tanpa tahu membawa gadis itu ke rumah sakit yang tak berada jauh dari lingkungan sekolah.

Alina sebenarnya tak mau ikut. Namun tangannya ditarik oleh Fatya. Akhirnya dia mendapatkan izin ikut ke rumah sakit untuk menemani Fatya.

Mereka melihat dokter sedang menjahit bibir Fatya. Beruntunglah bibir Fatya tidak cacat. Hanya terkena goresan sedikit.

Tapi tetap saja, pinggiran bibirnya mendapatkan beberapa jahitan.

Fatya tersenyum. Dia memanggil Alina ketika sudah selesai dijahit. Sedangkan Heru berbicara dengan dokter yang menangani Fatya.

Tangan Fatya melambai ke arah Alina. Gadis itu yang tak terbiasa dengan orang baru hanya merunduk. Dia tahu kalau bukan dirinya dipanggil oleh Fatya.

Dia diam sampai Heru datang. Ketika laki-laki itu datang, dia mengajak Alina masuk ke dalam.

Heru memperlakukan Alina seperti adiknya sendiri. Hal yang sama dilakukan oleh Toni kepada Alina.

"Tapi, Pak. Al harus ke kelas. Kalau Al gak segera balik, nanti akan dihukum," tolaknya.

"Jangan takut. Bapak sudah meminta izin. Jadi Al bisa di sini untuk menemani Fatya."

Alina hanya mengangguk. Dia mengekori Heru masuk ke dalam ruangan.

"Hai, Alina. Terima kasih karena kamu sudah menolong aku," cetus Fatya tersenyum.

"Bukan Al, tapi Pak Heru," seru Alina.

"Bukan, tapi kamu yang sudah menolong aku. Terima kasih ya Alina." Tangan Fatya memegang tangan Alina.

Alina gugup. Dia gemetaran dan berkeringat dingin.

"Al, apa kamu sakit?" tanya Fatya heran melihat wajah Alina memerah.

"Kalau sakit ati diperiksa saja. Mumpung ada di rumah sakit," sambung Heru.

Alina menolak. Dia mengatakan kalau dia hanya gugup dan tak terbiasa saja.

"Jangan. Al enggak sakit. Tapi gugup."

"Gugup kenapa?"

"Baru kali ini ada orang yang mau berbicara sama Al. Mau pegang tangan Al. Biasanya cuman Mama sama Abang di rumah saja," jelasnya jujur.

Fatya dan Heru sama-sama terkejut. Keduanya saling pandang. Fatya memperbaiki posisi tidurnya.

Gadis itu menarik tangan Alina dan memintanya untuk duduk di samping Fatya.

"Duduk sini deh!" ajaknya.

"Tapi Al ngerasa enggak pantas buat duduk di samping Fatya." Alina masih tertunduk. Dia mundur beberapa langkah ke belakang.

"Ya sudah. Kalau gitu Bapak keluar. Enggak enak ganggu urusan para ladies!"

Fatya menatap wajah Alina. Dia melihat ada bekas luka lebam. Alina cukup pandai menyembunyikan luka itu.

Tangannya memegang luka itu. "Aw, sakit!" rintih Alina.

"Ada yang enggak beres!" katanya dalam hati.

Fatya mengambil tisu basah kemudian menghapus foundition yang menutupi bekas luka itu.

"Jangan Fatya," elak Alina. Namun tangannya dipegang oleh Fatya. Alina ingat tentang perlakuan Tika setiap hari padanya.

Dia sama sekali tidak memberontak. Alina diam dan meram.

"Al, bilang siapa yang sudah ngelakuin ini ke kamu," tanya Fatya.

"Anu, Al jatuh. Gak sengaja ke jedot," bohongnya.

"Katakan Al. Kamu jangan berbohong. Aku tahu mana yang bohong dan tidak," jawab Fatya.