Alina kembali ke kelasnya dengan memegang perut serta berusaha tidak terjadi apa-apa. Dia memang sengaja begitu.
"Woi, lihat tuh! Si gendut yang ganjen sudah come back!" ucap Reva pada teman-temannya.
"Masih punya nyali ya lo ke sini!"
"Gue pikir dia bakalan bolos sekolah lagi," timpal teman sekelasnya.
Alina terus berjalan di tengah lemparan kertas demi kertas. Dia harus menjadi kuat agar bisa memiliki teman di kelasnya.
Ya, semuanya tentu memiliki perjuangan serta pengorbanan juga. Yang jelas saat ini, Alina harus bisa tangguh di depan mereka.
Jika dia lemah atau menangis, yang ada Alina akan semakin dijaili nantinya.
Alina memegang sudut mejanya. Di mana dia melihat mejanya sudah dipenuhi dengan coretan.
"Gendut! Gak tau malu."
"Lo harus cabut dari kelas ini!"
"Anak haram!"
"Pasti nyokapnya jualan ayam Thailand deh!"
"Eh kingkong, lo cabut deh dari kelas ini. Gue enggak suka ngeliat badan lo yang gede melebihi sprinbeb gue di kamar. Eneg tau!" Tika melempari Alina kertas yang bertumpuk-tumpuk ke wajah Alina.
Di mana gadis itu merasa terpuruk dan juga tidak tahu harus bagaimana lagi. Ya, kecuali hanya diam saja. Menerima perlakuan buruk yang dia terima.
Gadis itu kembali tertunduk dan menidurkan wajahnya yang gemoy di atas meja.
Guru masuk. Namun dia seperti tidak menganggap kehadiran Alina. Seluruh kelas menyangka Alina adalah beban dan hanya membuat masalah kelas saja.
"Alina, kamu mau belajar atau tidur-tiduran," tegur si guru dengan galak.
Gadis itu mengangkat kepalanya. Alina sudah pucat dan gemetaran. "Be-belajar, Buk," jawabnya dengan suara yang bergetar.
"Alina, wajah kamu pucat sekali. Apa kamu sakit!" Dia mulai panik. Meletakkan kaca mata di atas meja dan mendekati bangku Alina.
Gadis itu masih saja berbohong. "Gak, Buk. Mungkin Al kurang makan. Jadi gini," balasnya nipu.
"Kerjaannya makan aja. Gimana badan lo gak kayak gajah duduk gitu."
"Iya, lo diet deh mendingan!"
Tangan Tika menarik kasar tangan Sinta. Di mana secara tidak langsung, Sinta memberikan saran supaya Alina bisa berbeda.
Alina sudah tidak tahan dan dia roboh. Gadis itu kembali pingsan. Ketika bangun, dia sudah berada di UKS.
Matanya mengerjap. Dia melihat Ibunya dengan tatapan sedih serta juga khawatir. Alina tentu saja sangat kaget. Dia pasti sudah membuat Ibunya khawatir dan juga merasa sedih.
"Mama," lirihnya. Alina pun bangkit.
"Sayang, kamu kenapa, Nak," tanyanya dengan hatinya pilu.
"Al, Al gak apa-apa kok, Ma."
"Anak Mama gak pernah berkata bohong. Jika Al sekarang berbohong, Mama pasti akan sangat sedih mendengarnya."
"Maaf, Ma. Al harus berbohong supaya Mama gak perlu khawatir seperti sekarang ini," bisiknya dalam hati.
"Benaran, Ma. Al gak berbohong."
"Terus ini apa, Al? Kenapa perut Al bengkak seperti habis dipukuli?" Ibunya menunjuk ke arah perut Alina.
Alina menelan ludah. "Oh itu, Al tadi lagi lari-lari. Terus gak ngelihat ada batu. Kaki Al kesandung terus jatuh deh!" Dia sedikit tertawa.
"Al, jangan berbohong. Mana tahu anak Mama seperti apa!" Mengelus rambut Alina.
Alina mengambil tangan Ibunya. Dia menyakinkan jika dia terjatuh, sakit itu karena kecerobohannya sendiri.
"Benaran, Ma. Al emang ceroboh banget. Mungkin Al harus diet deh, Ma," usulnya.
"Apa? Diet? Al benaran mau diet?"
Gadis gemuk itu mengangguk. "Iya, Ma. Al mau kurus dan cantik kayak teman-teman lainnya. Al malu kalau terus diejek dan dibu-"
"Apa?"
"Hehe, tuhkan. Al salah ngomong lagi. Kenapa sih mulut ini enggak bisa untuk direm." Dia mencubit bibirnya.
"Jadi?"
"Jadi gini, Ma. Al tuh suka kesel deh sama orang-orang yang cantik, kurus terus langsing. Kan Al maluu banget ya kan. Apalagi Al sekarang ini sudah SMA. Kayaknya harus berubah deh!"
Ibunya tersenyum. "Anak Mama yakin mau berubah?" dia mengejek anaknya kemudian memeluk Alina.
"Benar, Ma. Masak iya sih. Mama cantik, terus Abang Antoni ganteng. Terus Al kayak gajah duduk gini. Kan enggak adil banget," kesalnya.
"Ya ampun sayang. Gendut-gendut gini Mama sayang banget tahu gak. Abang juga. Kami semua sayang Alina."
Kedekatan mereka tidak sengaja dilihat oleh Tika. Gadis itu menghentakan kakinya ke lantai. Kemudian pergi.
"Awas lo ya gendut! Gue enggak akan biarin hidup lo tenang. Gue akan buat lo menyesal dan juga menyedihkan!"
"Ma, maafin kalau Al sudah berbohong. Al enggak mau Mama sedih karena tahu Al sering di-bully sama teman-teman sekolah. Al takut kalau senyuman Mama berubah jadi tangisan. Hal yang sangat tidak ingin Al lihat. Al mau Mama terus tersenyum dan juga bahagia," kata hati Alina.
Ibunya mengajak Alina untuk pulang. "Ayo ke kelas ambil tas Al."
"Loh, Al kan masih jam sekolah, Ma. Kalau pulang sama Mama. Itu artinya bolos dong!"
"Haha, enggak sayang. Mama sudau mendapatkan izin dari pihak sekolah. Boleh pulang," ucapnya membuat Alina kegirangan.
Tika membuang tas Alina ke tong sampah. Dia tidak mau memberikan tas itu kepada gadis jelek buruk rupa.
Ketika berjalan ke kelas, Ibu Alina melihat tas putrinya tergeletak di tong sampah.
"Loh, Al. Kenapa tas Al ada di sini." Dia mengambil tas itu dan meniup-niupnya.
Alina harus memutar otaknya lagi. Dia mencari-cari akal agar Ibunya percaya.
"Tuh kan, Al ceroboh lagi. Gara-gara Al pingsan, tasnya jadi ketinggalan deh di sini. Ya ampun. Apa Al sudah tua ya, Ma."
"Hah?"
"Kayaknya enggak deh. Kan Al masih muda. Cuma kecepatan aja pikunnya, hehe."
"Lain kali, Al jangan bengong kalau jalan. Jangan sampai jatuh lagi. Kasihan kan Al jadi sakit kek gitu. Mama sedih loh kalau Al sakit!"
"Ma, jangan sedih. Al janji. Al gak akan ulanginya lagi. Al gak mau melihat air mata Mama jatuh kek gini. Yang ada Al kesannya jadi anak yang gak bisa buat orangtuanya bahagia tau gak!" Dia ikut-ikutan sedih.
"Sayang Mama. Jangan nangis ya. Al, karena Al pulangnya cepat. Gimana kalau kita shopping. Kita ngemall," ajak Ibunya.
"Ayo, Ma. Al senang banget kalau belanja sama Mama." Alina memegangi tangan Ibunya dengan erat.
Mereka keluar sekolah dilihat oleh Tika dari jauh. Kemudian juga Sinta. Gadis itu merasa iri karena Alina bisa mendapatkan Ibu yang begitu baik.
"Udah siap?"
"Siap dong! Berangkat!" Mobil Alina melaju dengan kecepatan sedang. Mereka bernyanyi mengikuti instrumen musik yang berbunyi.
"Terima kasih, Tuhan. Walaupun di sekolah Al enggak punya teman. Tapi di rumah Al punya semuanya. Punya segalanya. Ada Mama yang baik dan perhatian dan juga Abang terhebat yang selalu ada. Mereka adalah teman terbaik dan juga keluarga terhebat." Alina kemudian bersorak ketika lagunya habis.