Chereads / Fat or Slim? / Chapter 8 - Bab 8. Kenapa Hanya Alina?

Chapter 8 - Bab 8. Kenapa Hanya Alina?

Alina menyingkir. Gadis gemuk itu duduk di dekat tong sampah. Bukan maunya untuk duduk di sana. Namun, para siswa tidak ada yang mengizinkannya untuk duduk di barisan mereka.

Daripada menanggung hinaan, lebih baik menjauh dan diam. Karena cara terhebat untuk membuat diri senang adalah dengan bahagia tanpa harus melibatkan orang lain.

Gadis itu membuka makanan yang sudah dibelinya di kantin. Alina makan dengan lahap. Namun dia dikagetkan secara tiba-tiba oleh Brayan.

Laki-laki kurus itu membuat Alina tersedak dan juga merasakan sesak di kerongkongannya.

"Udah deh lo gak usah drama! Gue tahu lo itu cuman cari alasan saja kan. Iya kan!" kata Brayan remeh.

Alina sulit untuk bernapas. "To-tolong aku," pintanya pada Brayan. Namun laki-laki itu enggan untuk mengambilkan air yang ada di sampingnya.

Tangan Alina meraih botol minuman itu, namun tangannya ditendang oleh Fadel. "OPS, sorry! Gue emang sengaja! Kenapa, lo enggak terima?" bentak Fadel.

Alina memegangi kerongkongan yang penuh. Bakso itu kini mengganggu sistem pernapasannya.

"Kalian berbuat apa dengan Alina. Lihat, dia sampai kesulitan bernapas!" kata Reva. Keempat gadis itu terlihat panik.

Mereka memanggil Heru, guru olahraga. Heru datang. Dia melihat kondisi Alina yang sudah memerah dan napasnya sesak. Gadis itu bercucuran keringat.

"Cepat ambilkan minum!" pintanya.

Audia mengambil botol air mineral. Menyerahkan kepada Alina. Gadis itu minum. Namun bakso itu masih nyangkut dan juga belum turun ke bawah.

Tidak ada cara lain lagi. Heru memutar tubuh gemuk Alina. Pria itu memukul punggungnya beberapa kali.

Hingga bakso itu benar-benar turun. Alina bisa bernapas dengan lega dan juga tidak lagi tersenggat.

"Huh huh huh!" Deruh napas Alina membesar dan juga bulat.

Wajahnya merah seperti buah tomat. Dia tergeletak di atas lapangan dengan berbalik badan.

"Siapa yang bertanggungjawab atas perbuatan keji ini!" tanya Heru. Namun tidak ada satu pun dari muridnya yang menjawab.

Mereka terlihat sangat ketakutan dan juga panik, khawatir dan merasa begitu takut.

"Ayo jawab! Jangan bersembunyi. Apa kalian tahu hukumannya bila membuat orang lain sengsara!" tegas Heru.

"Maaf, Pak. Kami tidak tahu apa yang terjadi dengan Alina. Kami sampai dan melihat Alina sudah sesak," jawab Reva.

"Siapa orang yang ada di sini sebelum kamu sampai!" tanyanya.

"Hm, mereka berdua, Pak!" Reva menunjuk Fadel dan Brayan.

Brayan dan Fadel tentu saja kaget bukan main. Mereka mengelak dan bilang jika kebetulan saja lewat.

"Enak aja lo nuduh-nuduh gue. Lo ada buktinya kalau kami yang sudah bikin dia celaka gitu!" Audia dan Reva terdiam.

Mereka nyaris tidak memiliki bukti. Mereka hanya melihat kedua laki-laki itu berdiri mematung dan terdiam. Mereka juga nampak panik dan khawatir.

"Sudah, stop! Kalian jangan bertengkar lagi. Reva, Audia. Sekarang bantu Alina berdiri dan bawa dia ke UKS untuk beristirahat," ujarnya pada kedua wanita muda itu.

"Gak mau, Pak!"

"Iya. Dia itu gemuk, pasti keringatnya bauk, huwek!" kata Reva menutup hidung dengan tangan.

Heru menggeleng. "Mereka aja deh suruh buat mapah dia ke UKS!"

"Idih, ogah! Gue mau ke kantin. Lapar!" tolak Fadel.

"Yok bos!" Kedua laki-laki itu pergi. Reva dan Audia saling pandang.

"Alina, ayo biar saya bantu!" tawar Heru.

"Apa?" Reva dan Audia sontak berteriak histeris.

Tak kecuali juga dengan Alina. Gadis itu bahkan jauh lebih kaget karena tawaran dari Heru.

Dia gelagapan menolaknya. "Gak usah, Pak. Al bisa sendiri kok ke UKS." Ali a berdiri.

Gadis itu tersenyum simpul dan berlari. Dia melihat jika Heru tersenyum ramah dan manis.

Jantung Alina berdebar tak karuan. Gadis itu kemudian segera merebahkan badannya di atas kasur UKS.

Dia melihat betapa rupawan wajah Heru. Guru olahraga mereka yang baru masuk sehari itu.

Setidaknya Alina sudah hampir sebulan bersekolah di SMA Sejahtera.

"Al, Pak Heru baik banget kan. Dia adalah orang pertama yang berhasil buat Al senyum-senyum sendiri!" gadis berbicara dengan dirinya yang lain.

Alina mungkin tidak memiliki teman di dunia nyata, namun dia memiliki sisi baik dirinya. Di mana dia akan berbicara dengan hak yang tak nyata.

Dia dikagetkan dengan kedatangan Cantika dengan teman-temannya. Mereka menendang pintu UKS sehingga Alina memalingkan wajahnya ke arah mereka.

Alina menelan ludah. Dia tidak tahu apa kesalahan yang sudah dibuatnya dengan mereka.

Bahkan dia tidak pernah mencari masalah ataupun membicarakan mereka.

"Eh gendut! Hebat benar lo caper sama Pak Heru!" Tangan Cantika menarik rambut panjang Alina.

"Aduh, sakit," rintih Alina.

"Sakit ya lo rasain saat ini tuh gak ada apa-apanya dibandingkan dengan sakit hatinya Cantika!" tambah Sinta. Wanita itu menyirami wajah Alina dengan jus basi.

Reva dan Audia menunggu di luar. Mereka sedang mengintai keadaan. Jika ada yang mendekat, maka mereka akan segera memberitahu kepada temannya di dalam.

"Jangan berani-beraninya lo dekatin Pak Heru ya!" Tangan Tika menarik pipinya dengan kasar.

Sedangkan Sinta memegang kedua tangan Alina. Plakkk... Tika menampar wajah Alina hingga berbekas.

Tika bukannya takut, tapi gadis itu tertawa lepas dan merasa puas melihat Alina menderita.

"Haha, gue suka kalau lo menderita. Bekas ini adalah kenang-kenangan dari gue." Dia menyentuh wajah Alina. Kemudian menyentak kasur UKS sehingga turun mendadak.

Pantat Alina terasa bebal dan juga sakit. Gadis itu memegangi pipinya yang merah.

"Oh ya. Jangan pernah lo adu ke siapa-siapa. Kalo sampai gue dengar, siap-siap aja lo kingkong!"

Mereka pun pergi. "Gimana, Tik. Lo udah kasih dia pelajaran?" tanya Reva dengan antusias.

"Sudah dong. Hand sanitizer mana, cepat!"

Reva segera mengeluarkan benda itu dari tas Sinta. Kemudian menyemprotkan ke tangan Tika.

Tika mengipas-ngipaskan tangannya ke udara lalu meniupnya. "Iuh, kuman. Tapi untung ada ini!" Mereka pun tertawa.

Alina menangis. Dia memeluk lututnya. Tidak ada orang yang bisa berteman dengan dia di sekolah ini.

Toni keliru. Dia selalu bilang jika SMA sejahtera adalah sekolah terbaik dan memiliki etika yang bagus.

Tapi apa buktinya. Alina sering mendapatkan ketidaknyamanan dan juga ketidakadilan di sini.

Hal yang selama sebulan ini selalu saja ditutupi oleh Alina. Dia melihat dari kaca ponsel bekas tamparan dari tangan Tika. Jelas berbekas lima jari.

Dia mengambil bedaknya lalu mengolesi ke wajahnya. Setidaknya belas itu sudah tersamarkan.

"Tuhan, kenapa Al tidak punya keberanian untuk melawan mereka? Kenapa hanya Al yang memiliki tubuh gemuk dan juga berwajah jelek?" keluhnya.

Ingat, jangan jadikan kekurangan kita sebagai titik terlemah untuk menyerah kepada dunia yang kejam. Namun jadikan itu sebagai landasan kokoh supaya bisa menghadapi kelamnya kenyataan.