Tiga puluh menit telah berlalu, akhirnya Felix sampai di Rumah Sakit tempat dimana Ibunya dirawat saat ini. Ia berlari masuk ke dalam dan menanyakan ruangan Ibunya dirawat ke perawat Rumah Sakit itu.
Perawat yang mendapat pertanyaan tentu menjawab bahwa Ibunya masih dirawat di ruangan ICU. Setelah mendapat jawaban, Felix lalu berjalan dengan langkah paling cepat menuju ruangan ICU tempat Ibunya dirawat.
Di sana, ia bertemu dengan pemuda asing berdiri di depan ruangan ICU. Felix tidak peduli, ia melangkah mendekat dan saat itu juga pemuda itu langsung menatap ke arahnya dengan tatapan yang tidak ia mengerti.
Pemuda itu sepertinya sedikit khawatir dengan keadaan Felix yang sangat lusuh dan basah akibat air hujan. Ia bisa menebak Felix telah menerobos hujan untuk sampai ke rumah sakit.
"Apa kau anak dari Ibu yang ada di dalam sana?" Tanya pemuda tersebut yang masih belum bisa lepas dari Felix.
"Ya, saya anaknya. Terima kasih karena anda sudah membawa Ibu saya ke Rumah Sakit ini. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi jika bukan anda yang menolongnya." Kata Felix sambil mengusap air matanya dan mengatur napasnya yang sedikit tidak beraturan akibat berlari.
"Tidak, tidak perlu berterima kasih. Ini merupakan hal yang seharusnya setiap orang lakukan ketika melihat orang lain sedang ada dalam musibah." Sahut pemuda itu.
Perkataan pemuda itu sedikit menenangkan hati Felix, tetapi air matanya masih terus keluar. Pemuda itu berkata ia akan menunggu sampai Felix lebih tenang kemudian ia akan pergi karena ada hal yang harus ia kerjakan.
Felix tidak menjawab dan membiarkan pemuda itu menunggunya.
Felix kemudian teringat untuk memberitahu Ayahnya mengenai keadaan Ibunya. Saat itu juga ia mencoba untuk menghubungi Ayahnya, tetapi tidak ada jawaban.
Seperti yang sudah ia kira, Ayahnya hanya peduli dengan pekerjaannya saja. Ia tidak pernah peduli dengan keluarganya. Felix masih mencoba menghubungi Ayahnya, beberapa kalipun ia mencoba, Ayahnya tetap tidak menjawab telepon darinya.
Pemuda yang tadi ingin menunggu Felix agar lebih tenang kini harus pergi karena ia sedang ada pekerjaan yang menunggunya. Tentu saja Felix lalu mempersilahkannya sembari berterima kasih lagi dan lagi.
Kini Felix hanya bisa duduk di luar ruangan ICU itu sambil berharap keadaan ibunya akan segera membaik. Ia termenung memikirkan kemungkinan yang akan terjadi nantinya.
Satu jam berlalu, ponselnya berdering disaat ia bahkan lupa dengan keberadaan ponselnya. Felix mengambil ponselnya untuk melihat siapa yang menghubunginya dan ternyata panggilan itu berasal dari Ayahnya yang sedari tadi tidak bisa dihubungi.
"Halo Ayah? Ayah... Bu-bunda yah, Bunda saat ini... Bunda, Yah. Bun--" Felix tiba-tiba menangis kembali karena teringat dengan Ibunya.
"Ada apa dengan Bundamu? Cepat beritahu Ayah dan berhentilah menangis Felix!"
"Bunda, dia-- Bunda mengalami kecelakaan yah dan saat ini-- saat ini Bunda berada di ICU. Cepatlah datang, Yah. Cepat." Felix masih menangis, ia tidak tahu harus bagaimana saat ini.
"Saat ini jadwal Ayah sangat padat, malam nanti Ayah baru bisa datang ke sana. Kau tunggulah di sana, jaga Bundamu. Ayah akan mengurus biaya dan dokumen yang diperlukan untuk perawatan Bundamu." Kata Ayah Felix kepada Felix yang tidak berhenti menangis selama panggilan itu.
"Baik Ayah, Felix akan menunggu Ayah disini. Cepatlah datang. Felix sendirian disini."
Panggilan pun terputus. Felix masih terhanyut dalam tangisnya. Ia sesekali mengusap air mata yang keluar dari matanya itu.
Dokter dan perawat bergantian memasuki ruangan ICU tempat Ibunya dirawat. Sesekali ia melihat keadaan Ibunya melalui pintu kaca di ruangan itu. Sampai pada akhirnya Felix tertidur karena terlalu lelah setelah kehujanan dalam perjalanan menuju Rumah Sakit.
Dalam tidurnya ia bermimpi melihat Ibunya melambaikan tangan padanya yang kemudian ia terbangun saat itu juga. Ia kemudian melihat Dokter dan Perawat berlari sambil membawa peralatan yang tidak ia ketahui menuju ruangan Ibunya dirawat. Ia khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada Ibunya.
Ia berdoa dan terus berdoa semoga Ibunya baik-baik saja. Dokter kemudian keluar dari ruangan itu lalu menyampaikan hal yang mengejutkan pada Felix.
Hal yang sangat tidak ingin ia dengar keluar dari bibir Dokter itu.
"Maafkan kami. Kami sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk ibumu. Maaf, kami turut berdukacita atas kepergian Ibumu. Beliau meninggal karena kehabisan darah dan terdapat kerusakan otak yang cukup--"
BRUK!
Felix terhuyung ke belakang hingga membuat tubuhnya membentur ke dinding rumah sakit.
"Ti-tidak-- ini tidak mungkin! Dokter pasti bohong kan?! Dok-- Katakan padaku! Katakan kalau bunda baik-baik saja! Katakan dok! Hiks..." Felix marah, ia masih belum percaya atas apa yang baru saja ia dengar.
Ini terlalu mendadak baginya. Padahal baru tadi pagi ia bercengkrama bersama bundanya dan apa ini?
Berita mengejutkan apa ini?!
Suara tangisnya tidak terbendung lagi, bahkan ia menangis sebelum dokter menyelesaikan kalimatnya. Ia tidak mampu menahan tangisnya lagi. Kali ini ia benar-benar menangis sejadi-jadinya.
Hatinya tidak sanggup merasakan rasa sakit ini.
Dokter kala itu hanya bisa menenangkannya, tapi tidak bisa melakukan apa-apa dengan tangisan Felix yang terdengar di sepanjang koridor rumah sakit.
Ia hancur!
Kebahagiaannya telah pergi dihari kelulusannya!
Ia sangat kehilangan atas kepergian Ibunya. Ia masih tidak percaya dengan semua yang terjadi. Ia masih berharap ini hanyalah mimpi. Tapi, ini semua bukanlah mimpi seperti yang diharapkannya.
Dokter mengizinkannya untuk menemui Ibunya yang sudah pergi meninggalkannya itu. Di ruangan itu, hanya ada Ibunya terbaring ditutupi kain putih. Ia tidak mampu untuk membuka kain itu. Ia sangat takut menerima kenyataan atas kepergian ibunya.
Namun, bagaimanapun juga ia tetap harus membuka kain yang menutupi wajah Ibunya. Ia ingin melihat wajah Ibunya untuk yang terakhir kalinya.
Tangannya mulai bergerak untuk membuka kain yang menutupi seluruh tubuh ibunya, tangannya gemetar. Saat kain itu terbuka memperlihatkan wajah damai sang ibu, Felix tidak mampu lagi untuk menopang tubuhnya dan terduduk lemas.
Kakinya tidak mampu hanya sekedar berdiri, ia begitu sedih dengan semua ini. Tangisan Felix membuat beberapa perawat ikut bersedih karenanya.
Felix menangis sendirian di sana tanpa ada keluarga dan teman yang dapat menghiburnya. Bahkan ia tidak mengingat untuk menghubungi ayahnya.
Felix terus menangis denan sang dokter yang menghiburnya.
----
Di malam hari saat Ayahnya tiba di Rumah Sakit, ayahnya belum tahu tentang Ibunya. Felix yang bahkan tidak mampu untuk berdiri, ia melupakan segalanya. Ia bahkan tidak mempunyai cukup kekuatan untuk menerima kenyataan ini.
Ayahnya tiba di ruangan tempat istrinya dirawat. Sang ayah begitu terkejut saat melihat Felix yang terduduk lemas di sebelah orang yang sangat dicintainya itu. Air matanya kemudian menetes, ia sepertinya tahu apa yang terjadi karena ia melihat wajah istrinya yang sudah pucat terbaring di kasurnya.
Ia lalu memeluk istrinya yang sudah pergi meninggalkan dunia ini.
"Istriku, maafkan aku. Aku terlambat, hiks... Andai, andai saja saat itu aku ada di rumah, kau tidak akan pergi dengan mobilmu dan ini tidak akan terjadi. Ini semua salahku." Tangisnya meraba wajah sang istri begitu lembut. "Tolong bangunlah, maafkan aku. Tolong, anak kita masih membutuhkanmu."
Isak tangis Ayah dan Anak itu terdengar di seluruh ruangan. Mereka masih tidak percaya dengan semua ini.
"Ayah, Felix sudah menghubungimu tadi agar ayah sampai disini segera. Tapi kenapa Ayah baru datang? Ayah tahu, Felix sangat takut disini sendirian dan Ibu membutuhkanmu. Ayah sangat.. hiks..." Ia tidak mampu melanjutkan kalimatnya karena rasa sakit hatinya membuat kalimat yang ingin ia sampaikan menjadi begitu berat.
Ayah dan Anak itu masih menangis yang kemudian Dokter menghampiri keduanya. Dokter berkata bahwa Ibunya bisa segera dibawa ke rumah duka untuk kemudian dimakamkan oleh pihak keluarga.
"Kami sangat menyesal dengan kepergian Istri anda. Kami sudah berusaha tetapi Tuhan lebih sayang pada Istri anda. Kami minta maaf." Sesal Dokter yang menangani Ibunya Felix yang ikut sedih dengan kepergian pasiennya.
Ayahnya Felix kemudian pergi mengurus dokumen yang harus disiapkan agar Istrinya bisa segera dibawa ke rumah duka.
Felix yang masih ingin melihat Ibunya, tetap berada di ruangan ICU. Untuk terakhir kalinya, ia ingin melihat orang yang sangat ia cintai itu sebelum Ibunya benar-benar pergi meninggalkannya.
Tidak perlu menunggu lama, Ayahnya telah selesai mengurus dokumen-dokumen yang dibutuhkan dan pergi menghampiri Felix.
Ia hanya bisa menangis melihat istrinya dan mengucapkan kata-kata terakhir kepada istrinya sebelum melepas istrinya pergi untuk selamanya.
"Istriku, kau sudah berjuang. Maafkan aku karena tidak menemanimu di saat-saat terakhirmu. Maafkan aku. Terima kasih karena sudah menjadi Istri dan Ibu yang baik bagi anak kita. Kami sangat mencintaimu. Tolong perhatikan kami dari atas sana." Katanya mencium kening sang istri dan mencoba untuk tegar dihadapan anaknya.
Kata-kata itu membuat Felix semakin menangis. Ia tidak kuat menerima keadaan ini. Ia tidak sanggup hidup tanpa Ibu yang sangat dicintainya itu.
===
Hari pemakaman pun tiba. Keluarga besar Walt semuanya menghadiri acara pemakaman Daisy Callista Walt, ibu Felix. Sekarang nama itu hanya akan tertulis di batu nisan tempat terakhirnya berada.
Nama itu akan menjadi sebuah kenangan nyata bagi Felix.
Nama yang kini tidak akan terdengar lagi, tetapi kenangan dari Ibu Daisy akan selalu ada bagi Felix dan Ayahnya. Mereka akan selalu mengingat kenangan indah bersama wanita yang sangat mereka cintai itu.
Sekarang hanya tinggal Felix dan Ayahnya saja.
Setelah acara pemakan selesai diadakan, rumah yang begitu luas itu menjadi begitu sepi tanpa kehadiran Ibunya lagi. Tidak ada yang akan memanggilnya dengan 'Felix kecilku' lagi saat ia merindukan Ibunya. Tidak ada lagi orang yang ia peluk disaat ia sedang menginginkan sebuah pelukan. Tidak akan ada yang membuatkan sarapan untuknya di pagi hari.
Ia hanya akan sendirian karena Ayahnya terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Ia tahu, bahkan sangat tahu kalau ayahnya akan menjadi orang yang semakin gila kerja.