Cuaca di pagi itu sangatlah cerah disaat Leo mengunjungi Felix. Leo berharap dengan cerahnya cuaca hari ini akan memberikan sedikit kecerahan juga di wajah Felix, setidaknya itu yang Leo harapkan untuk saat ini.
Mereka menghabiskan waktu dengan bermain game di komputer yang berada di kamar Felix. Game yang mereka mainkan tidak pernah berubah dari dulu. Itu karena setiap kali Leo bermain, ia hanya akan kalah dari Felix berapa kalipun permainan yang telah mereka mainkan.
"Ayo main permainan ini. Aku tidak akan kalah kali ini darimu. Kau lihat saja nanti!." Tangang Leo dengan penuh percaya diri menegaskan klau dirinya akan memenangkan permainan kali ini.
Ia tidak akan kalah, ia yakin akan menang dari Felix kali ini yang sama sekali tidak terkalahkan itu.
"Kau yakin? Masih banyak permainan yang lain disini. Kau kan tidak pernah menang dariku." Sahut Felix dengan senyuman bangga sambil melihat Leo yang sedang mencari CD Game yang ingin mereka mainkan.
"Tentu, jangan remehkan kekuatan dari seorang Leo! Kali ini aku sudah tahu bagaimana cara kerja permainan ini. Mari kita mainkan dulu, baru kau akan tahu." Tegas Leo pada Felix saat itu.
"Baik, ayo mainkan permainannya. Tunggu apalagi? Aku sudah tidak sabar melihat kemenanganku, hahaha..." Kata Felix dengan sangat percaya diri atas kemenangan telak yang akan ia dapatkan.
Permainan dimulai.
Mereka duduk bersebelakan di depan komputer yang sudah siap digunakan dari tadi. Mereka sangat bersemangat kali ini, permainan ini seperti mengingatkan mereka tentang masa kecil mereka dulu.
Syung~ syung~
Dang!
Dang!
Duar!
Suara demi suara terdengar dari dalam kamar Felix disaat permainan sedang berlangsung. Ini merupakan permainan peperangan antar dua kubu untuk mempertahankan kerajaan mereka. Felix dan Leo harus memutar otak mereka agar masing-masing dari kerajaan mereka tidak hancur.
"Ah! Tidak-- kiri, jangan ke kiri!" Leo berbicara sendiri sambil bermain.
Ia terhanyut dalam permainan, berbeda dengan Felix yang terlihat tenang sebagaimanapun Leo menyerang Kerajaannya di permainan itu.
Felix terlihat sangat ahli, tentu saja itu karena hampir setiap minggu ia memainkannya. Tentunya ia sudah sangat lihai dengan celah untuk menyerang dan bertahan dari serangan lawan.
Tiga puluh menit telah berlalu, terlihat kerajaan Leo sudah hampir hancur diserang oleh musuh yang tidak lain adalah Felix sendiri. Tidak heran jika ia dijuluki 'unbeatable' atau tidak terkalahkan dalam permainan ini.
Tidak berlangsung lama seperti yang sudah diperkirakan sebelumnya, Felix memenangkan permainan dengan mudah. Leo yang kala itu yakin akan menang masih tetap tidak bisa mengalahkan rekor dari Felix yang tidak terkalahkan. Ia heran, kenapa ada manusia yang seperti Felix, sahabatnya itu tidak pernah kalah dalam permainan ini.
"Tidak bisa dipercaya, pria tampan sepertiku bisa-bisanya kalah dari orang seperti Felix. Maniac game sepertimu memang sudah tidak perlu diragukan lagi." Kata Felix yang menerima kekalahannya dengan lapang dada, ya walau tidak sepenuhnya.
"Kalau begitu kau bisa memanggilku master mulai sekarang hahaha..." Kata Felix yang bangga pada dirinya sendiri.
"Jangan bercanda! Kau lebih cocok dipanggil Felix yang tidak lebih tampan dari Leo', bukankah julukannya terdengar lebih bagus?" Seru Leo menyanggah perkataan Felix.
Ia menolak memanggil Felix dengan sebutan yang menggelikan baginya.
"Baiklah manusia tampan, permainannya sudah selesai kan. Sekarang sudah jam makan siang, apa kau tidak lapar dari tadi? Apa kau sampai lupa dengan perutmu? Mereka perlu diberi asupan. Jangan bilang yang kau ingat hanya ketampanan saja?" Tanya Felix pada Leo tentang jam makan siang yang sudah di depan mata.
"Setelah kau ingatkan, ternyata perutku lapar juga hahaha... Kau memang sahabat yang perhatian, kawan. Segala urusan perutku pun kau ingat, jangan bilang kau telah jatuh cinta padaku ya. Kau ingat semua hal, aku jadi curiga padamu, hahaha... Aku bercanda." Ucap Leo pada Felix kala itu.
"Aku? Jatuh cinta padamu? Jangan bercanda kawan. Sekalipun aku tertarik padamu, itu pasti dalam mimpimu." Sanggah Felix dengan ucapan Leo yang membuatnya heran.
"Siapa tahu, kau tahu kan-- aku orangnya terbuka, laki-laki atau perempuan tidak masalah untukku. Bukannya zaman sekarang cinta tidak mengenal batasan?" Kata Leo saat itu yang membuat Felix terdiam mematung.
Felix terkejut mendengar temannya yang biasanya suka bercanda seperti tidak ada beban itu yang tiba-tiba saja mengatakan hal yang serius. Bahkan hal yang serius itu pun lebih mengejutkan lagi saat ia mengatakan bahwa lelaki pun tidak masalah baginya.
Zaman sekarang apalagi di Kota tempatnya berasal, memiliki pasangan sesama jenis bukanlah hal yang tabu. Ada beberapa keluarga yang memaklumi anaknya atau saudara mereka memiliki pasangan sesama jenis, tapi ada juga yang menentangnya. Keluarga Leo yang dikenal religius tidak akan mengizinkan hal itu, begitulah yang dipikirkan Felix.
"Hei, hei, Felix? Kau dengar aku? Kenapa kau diam begitu? Jangan bilang kau memikirkan apa yang baru saja aku katakan?" Tanya Leo menatap sahabatnya yang sama sekali tidak menjawabnya.
"Astaga! Kau harus melupakannya karena yang aku katakan tadi hanya candaan. Jangan terlalu dipikirkan, biar aku yang mengurus hal ini. Kau, hanya perlu bahagia untuk sekarang, mengerti?" Kata Leo pada Felix yang kala itu terdiam.
"Ah iya? Aku tau akan sulit nantinya jika kau memilih jalan itu, tapi aku akan tetap mendukungmu bagaimanapun pilihanmu nanti. Kau tahu itu kan?" Felix lalu menghampiri dan memeluk Leo, seakan ia tahu beban yang Leo akan tanggung nantinya.
Mereka benar-benar teman yang sudah memiliki ikatan batin satu sama lain. Mereka sangat mengerti keadaaan masing-masing. Disaat salah satu membutuhkan sandaran, maka salah satu akan memberikan tempat untuk meluapkan emosi yang mereka tahan selama ini.
Mungkin bagi sebagian orang, hal ini hanya hal kecil yang tidak perlu perhatian khusus. Tapi bagi Felix dan Leo, hal-hal kecil itu bisa jadi tidak terasa jika mereka menceritakannya pada orang yang tepat.
"Sudah, sudah. Kau bilang lapar kan tadi? Ayo kita pesan makanan saja. Aku tidak pandai memasak. Terakhir kali aku ke dapur ingin masak air untuk membuat teh, aku malah membuat tekonya hangus karena aku lupa mematikan kompor gasnya hahaha.... Ibuku bahkan marah padaku saat tahu teko airnya sudah hangus olehku, hahaha..." Felix benar-benar kembali menjadi dirinya sendiri.
Ia sudah kembali ceria seperti yang Leo kenal.
"Kau berniat masak air apa menghancurkan dapur sih? Aku tidak akan menyuruhmu memasak, nanti yang ada dapurku yang kau masak. Itu mengerikan." Sahut Felix.
"Hmm... ya sudah, kita pesan saja. Aku ingin pizza dengan topping mozarella yang banyak. Tentu manusia tampan ini menyerahkan semua urusan keuangan pada Master Felix yang terhormat." Felix tersenyum pada Leo saat mengatakan hal itu.
"Kau ini ya, giliran urusan makanan saja baru kau mau memanggilku Master. Kalau sudah habis makanannya, paling panggilan itu tidak berlaku lagi kan? Dasar kau ini, si manusia tampan yang tidak tampan."
"Heh coba lihat lagi, coba perhatikan lagi. Wajahku tidak seburuk itu loh." Sanggah Leo pada ucapan Felix padanya.
"Oke sudah ku pesankan. Kita tunggu makanannya sambil melanjutkan permainan ini bagaimana? Apa kau tidak ingin menang dari Mastermu yang tidak terkalahkan ini? Rekorku sampai sekarang sudah 24 vs 0. Dua puluh empat kali kemenangan loh, apa tidak berminat main lagi?" Bujuk Felix.
"Kau jangan mengingatkanku pada angka telur itu kenapa? Akan ku pecahkan angka nol itu menjadi tak terbentuk suatu saat nanti, lihat saja." Seperti biasa, Leo masih tetap penuh percaya diri.
Mereka pun menunggu makanan sambil melanjutkan permainan.