Malam harinya setelah acara pemakaman selesai diadakan sepenuhnya, Felix tidak bisa tidur karena masih memikirkan Ibunya. Matanya begitu sembab karena menangis seharian.
Semua ini begitu cepat bagaikan sebuah memori yang rusak.
---
Malam kini telah berganti menjadi pagi. Matahari mulai memancarkan sinarnya dan mulai masuk melalui setiap celah yang dilewatinya.
Felix yang sedang terlelap akibat kelelahan menangisi kepergian ibunya kini mulai terusik akibat sinar matahari yang masuk dari celah jendelanya dan menusuk matanya.
Perlahan Felix mulai membuka matanya dan mengumpulkan kesadarannya.
"Aku harap ini cuma mimpi buruk, tapi kenyataannya ini semua terlalu nyata untuk dikatakan mimpi." Gumamnya.
Hari ini ia tidak ada kegiatan apapun karena ia sudah melakukan upacara kelulusan.
Ia meregangkan ototnya yang kaki dan beranjak untuk membersihkan tubuhnya.
Setelah melakukan pembersihan selama beberapa menit lamanya, ia pergi untuk memakai pakaiannya dan keluar dari kamarnya menuju ke dapur untuk sarapan.
"Apakah aku harus melewatkan sarapan pagi kali ini?" Begitu pikirnya sembari berjalan menuju dapur.
"Aku akan mencari apa yang bisa dimakan di dapur untuk sekarang karena biasanya Bunda lah yang memasak untukku. Tapi kali ini--"
SENG!
Felix tampak mengerutkan keningnya saat mendengar suara yang tidak asing terdengar di telinga Felix dari arah dapur.
Ia semakin cepat melangkahkan kakinya untuk sampai ke dapur dan sesampainya di sana ia dapat melihat dua lapis roti tawar terangkat keluar dari pemanggang roti sangat menyita perhatiannya.
"Tunggu, siapa yang memanggang roti? Aku rasa hanya aku sendiri yang berada di rumah saat ini." Gumam Felix melihat sekelilingnya untuk mencari siapa kiranya orang yang menaruh roti di pemanggang roti.
"Ayah? Tidak mungkin! Ia tidak akan repot-repot memanggang roti. Pastinya ia sedang sibuk bekerja saat ini." Begitu pikirnya saat itu dan mendekat untuk memindahkan roti ke atas piring.
Ia lalu melihat penutup makanan yang berada di atas meja makannya. Ia penasaran kemudian membuka penutup itu dan ia sangat terkejut. Di sana sudah disajikan telur goreng, bacon, sosis dan susu sebagai sarapan untuknya.
"Siapa yang membuat ini? Apa ini semua untukku? Tapi, kemana orang yang membuatnya?" Tanya Felix di dalam hatinya.
Krieetttttt...
Terdengar suara pintu yang terbuka dan suara itu berasal dari pintu kamar Ayahnya yang berada tidak jauh dari dapur tempatnya berada saat ini. Ia sangat terkejut.
"Aaaa!!" Hampir saja jantungku berhenti berdetak saking terkejutnya.
Felix langsung mengalihkan perhatiannya bermaksud untuk melihat orang yang membuka pintu itu yang tidak lain adalah Ayah Felix. Ayahnya ternyata belum berangkat bekerja pagi ini. Seharusnya ia sudah berangkat, tapi ia tidak ingin anaknya melewatkan sarapan di hari libur pertamanya.
"Oh Felix, kau sudah bangun rupanya. Ayah baru saja akan pergi." Kata ayah Felix seraya merapikan pakaian kantornya.
"Iya ayah, aku ingin mencari makanan yang bisa ku makan, lalu aku melihat makanan-makanan ini. Apa Ayah yang membuatnya?" Tanya Felix ragu-ragu pada Ayahnya yang sudah rapi dengan jas dan kemeja birunya.
"Ayah sengaja membuatkan makanan untukmu. Biasanya sarapan akan dibuatkan oleh Bundamu, tapi-- kau tahu? Ayah tidak ingin melihatmu bersedih terlalu lama--
Ayah membuat sarapan karena Ayah merasa bersalah, selama ini Ayah terlalu sibuk dan tidak ada waktu untuk kalian. Sekarang hanya ada kita berdua, Ayah sangat menyesal." Kata Ayahnya dengan suara pelan tetapi masih bisa didengar oleh Felix.
Felix terdiam mendengar pernyataan dari ayahnya dan melihat ke arah ayahnya dengan tatapan yang tidak dapat diartikan.
"Apa Ayah akan pergi begitu saja kali ini? Apa Ayah tidak akan sarapan denganku? Makanan ini cukup untuk kita berdua, Yah." Kata Felix kepada Ayahnya.
Ia sangat ingin sarapan berdua dengan Ayahnya saat ini.
Sang ayah tampak berpikir sejenak seraya melihat jam tangan yang melingkar indah di sana, "Baiklah, sepertinya Ayah akan makan sedikit dengan anak Ayah ini. Ayah sedang ada banyak pekerjaan di kantor. Kau bisa mengerti itu bukan?" Ia kemudian meletakkan tas kantornya dan duduk di kursi yang biasanya ia duduki.
Felix tersenyum mendengarnya yang kemudian ia duduk di kursinya yang berada didekat ayahnya.
Mereka mulai memakan sarapan mereka dalam diam. Mereka menyadari, suasana rumahnya sangat berbeda setelah satu-satunya wanita di rumah itu telah pergi meninggalkan mereka.
Ayahnya tampak begitu cepat dalam menghabiskan sarapannya mengingat sang ayah tidak bisa berlama-lama di rumah. Selesainya sang ayah langsung berpamitan pada sang anak, ia harus pergi sekarang.
"Ayah berangkat bekerja dulu, nak. Kau diamlah di rumah. Ayah akan pulang segera setelah pekerjaan Ayah selesai oke?"
"Felix mengerti. Hati-hati di jalan dan segeralah pulang." Kata Felix pada Ayahnya yang sudah berada di depan pintu rumahnya.
Sekarang hanya tinggal Felix sendirian di rumah itu. Rumahnya menjadi begitu besar dan begitu sepi setelah kepergian Ibunya.
Semua ini bagaikan mimpi.
Ia tidak ingin merasa sendiri, ia lalu menyalakan Televisi di ruang keluarga. Ia berharap ada tayangan yang membuatnya terhibur, cukup membuatnya terhibur sehingga ia sedikit bisa melupakan suasana sepi di rumah besar itu.
Sepertinya Felix menemukan film yang ia inginkan dan tidak terasa sudah satu jam berlalu sejak Felix menonton acara di Televisinya.
Ding Dong~
Ding Dong~
Terdengar suara bel bergema melalui setiap ruangannya. Suara itu terlalu berisik karena dibunyikan beberapa kali oleh orang yang tidak diketahui.
"Siapa yang membunyikan bel rumah dengan tidak sopan seperti itu?" Kesal Felix sambil berjalan membuka pintu rumahnya.
"Hush hush.. Felix! Felix!"
Laki-laki itu seperti berlarian sebelum sampai di rumah Felix. Nafasnya tidak teratur.
"Kau rupanya, Leo. Ada apa? Kenapa kau terlihat habis berlari? Lalu, bisakah kau membunyikan bel rumahnya dengan sopan lain kali?" Kata Felix yang heran dengan temannya itu.
Felix membiarkan Leo memasuki rumahnya di pagi itu. Leo yang masih dengan nafasnya yang belum teratur menanyakan keadaan Felix.
"Aku mendengar semuanya. Ibumu telah--"
"Maaf aku baru tahu tentang ini. Aku sangat khawatir padamu, maka dari itu aku berlari kesini dari rumahku." Leo ternyata mengkhawatirkan keadaan Felix karena ia baru mengetahui kabar itu dan ia tahu Felix sangat menyayangi Ibunya.
"Kau tidak perlu mengkhawatirkan aku, Leo. Sekarang aku sudah lebih baik dari kemarin. Aku tidak memberi tahumu kemarin karena aku juga begitu terkejut dengan semua ini." Sahut Felix yang tidak melihat mata Leo saat Leo berbicara padanya.
Leo yang tahu bahwa Felix hanya menahan dirinya lalu memeluk Felix dengan hangat. Ia tahu betul, Felix sedang tidak baik-baik saja. Kali ini Felix hanya meneteskan air matanya tanpa suara, ia tidak seperti kemarin yang menangis begitu pilu. Ia tidak ingin temannya juga ikut menangis di depannya.
"Aku membawa buah dan makanan. Aku khawatir kau akan mengurung diri di kamarmu dan lupa memakan makananmu."
"Tenang aja, ku sudah sarapan tadi. Kau tahu? Ayahku tiba-tiba saja membuatkan sarapan untukku. Ini pertama kalinya ia membuat sarapan untukku."
"Benarkah? Luar biasa! Bukannya ia sangat jarang ada di rumah saat pagi hari?" Kata Leo yang juga terkejut mendengar perkataan Felix.
"Iya, biasanya ia sangat sibuk dengan pekerjaannya. Tapi, kali ini ia meluangkan waktunya untukku walau hanya sebentar. Aku berharap ia akan meluangkan waktunya sedikit demi sedikit mulai sekarang." Kata Felix penuh harap.
"Kau benar! Ayahmu seharusnya lebih memperhatikanmu. Jangan sedih kawan, aku teman yang paling tampan ini akan selalu ada untukmu."
"Maaf ya Leo yang lebih tampan itu adalah aku. Kau urutan kedua setelahku." Felix menyanggah apa yang dikatakan Leo padanya.
"Jangan bercanda ! Lihat! Lihatlah aku, kau pasti terkejut melihat ketampanan temanmu ini."
"Hahahaha... Jangan membuatku tertawa. Perutku sakit mendengarnya." Felix yang saat itu mendengar perkataan Leo tidak mampu menahan tawanya.
Leo sangat menghibur Felix saat itu.
Leo ikut tersenyum melihatnya. Hal ini merupakan tujuan Leo untuk menghibur Felix yang sedang bersedih. Ia adalah teman yang baik untuk Felix. Ia mengerti dengan keadaan temannya yang sedang bersedih dan datang untuk menghiburnya.
Bukankah seharusnya pertemanan seperti itu?