Begitu dia tiba di depan kamar, Leon menerima kunci cadangan dari Bibi Jossie dan memasukkannya dengan tangan gemetar, dia panik luar biasa begitu menerima panggilan dari Bibi Jossie saat di kantor tadi, bahkan untuk pertama kalinya dia melajukan mobilnya sendiri dengan kecepatan penuh tanpa Grant.
"Natasha!" teriak Leon begitu mendapati tangan Natasha berdarah.
Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling saat menyadari bahwa foto pernikahannya dengan Natasha pecah dan kamar menjadi sangat berantakan.
"Natasha, apa yang terjadi? kenapa kamu memecahkan foto pernikahan kita?"
Natasha yang kesakitan karena sejak tadi merasakan kram hebat di perutnya menatap Leon sendu dan dia tersenyum mencemooh.
"Natasha, tanganmu berdarah."
Leon mengulurkan tangannya untuk meraih tangan Natasha, tapi Natasha menepisnya.
"Brengsek kamu Leon!"
Teriak Natasha sekuat tenaga di sela isak tangisnya.
Leon yang berjongkok di depannya semakin bingung, sementara Bibi Jossie kaget luar biasa saat Natasha berani mengatakan itu pada orang seperti Leon yang terkenal kejam dan tanpa ampun.
Bibi Jossie sampai menutup mulutnya karena terkejut dengan mata yang membelalak.
"Natasha, apa yang kamu..."
Leon hendak memarahinya tapi urung karena melihat Natasha kemudian tak sadarkan diri.
"Natasha!"
Dia meyanggah tubuh istrinya itu dan kemudian menggendongnya ke kamar yang lain.
"Suruh pelayan lain membereskan kamar ini, dan panggilkan dokter kandungan Natasha, cepat!"
"B... baik Tuan."
Bibi Jossie melesat bagai anak panah memanggil para pelayan untuk membereskan kamar utama, kemudian dia memanggil Dokter Rinjani agar segera datang ke Villa Permata Biru.
Tak lama setelahnya, Dokter Rinjani datang dan memeriksa janin Natasha juga mengobati luka-luka di tangannya.
"Sebenarnya apa yang terjadi dengan Bu Natasha, Pak Leon? Janinnya sangat lemah karena Bu Natasha shock berat."
Ekspresi dingin di wajah tampan Leon menjadi sangat suram, tapi dia tidak mengatakan apa-apa karena dia juga tidak tahu persisnya.
"Saya sarankan segera dibawa ke rumah sakit untuk mengecek detak jantung janin."
Leon masih shock dan dia hanya bisa mengangguk.
"Pak Leon, kalau anda menginginkan janin ini sehat dan selamat. Tolong jaga emosi Bu Natasha, jangan sampai megalami stress dan menangis terlalu lama karena itu bisa membahayakan kondisi Bu Natasha juga janinnya."
"Dimengerti Dok."
"Baiklah Pak Leon, sekarang ayo bawa Bu Natasha ke rumah sakit."
Leon mengangguk singkat dan menggendong Natasha keluar kamar, sementara Grant yang menyusulnya langsung menyiapkan mobil untuk tuannya.
***
"Apa yang terjadi? Detak jantung janin kamu sampai sangat lemah."
Leon berusaha berkata dengan nada selembut mungkin saat Natasha siuman.
Tapi Natasha justru memalingkan wajahnya dan dia enggan menjawab.
Perkataan Selena di telfon tadi masih berputar di telinganya seolah tidak bisa berhenti diam, membuat jantungnya serasa diremas dengan sangat keras.
"Natasha!"
Natasha tetap tak bergeming, membuat Leon sedikit kehilangan kesabaran.
"Apa menurutmu diam bisa menyelesaikan masalah?"
"Ceraikan aku, Leon!"
Natasha berkata dengan jelas dan tegas, seolah dia telah membuat keputusan itu dengan sangat matang.
"Apa yang kamu katakan ha?" Leon jelas tidak terima, bukan itu yang ingin dia dengar dari mulut Natasha.
"Ceraikan aku Leon, ceraikan aku!"
Natasha kembali histeris sambil memukuli perutnya yang masih rata. Dia benci hamil anak Leon.
"Natasha, stop!"
Suara Leon seperti alunan sebuah celo yang jelas dan menembus seluruh ruangan hingga membuat Natasha langsung diam dan hanya terdengar isak tangis keputusasaan.
"Aku mohon tenanglah! Dan jangan lakukan itu lagi okey."
Leon mencoba melembutkan kembali suaranya setelah mengatur nafasnya untuk meredakan emosinya.
"Apa hanya anak ini yang kamu pedulikan Leon?"
Natasha menatap Leon dengan sedih saat mengingat semua yang dikatakan Selena juga surat perjanjian itu.
"Apa maksudmu?"
"Kamu bahkan tahu lebih baik dariku, kamu membutuhkan anak ini agar bisa segera menceraikan aku nantinya dan kembali bersama Selena kan?"
Leon kaget luar biasa. Dia tidak menyangka Natasha akan mengatakan itu padanya.
"Apakah Selena yang mengatakan semuanya?" batin Leon bergejolak.
Dia menyipitkan matanya ke arah Natasha dengan marah, tapi dia tidak mengatakan apapun.
Tidak bisakah Natasha melihat ketulusannya sekarang?
"Kamu tidak bisa jawab kan?"
Leon memainkan rahangnya tapi dia tidak mengatakan apa-apa.
"Fine, Selena memang benar. Aku gadis bodoh yang mau saja kalian permainkan."
Natasha kembali menangis seperti anak kecil yang begitu terluka.
Dan Leon merasa sangat patah hati melihatnya.
Tiba-tiba, kemarahannya lenyap seketika dan dia justru memeluk Natasha sangat erat.
"Bagaimana kalau aku tidak akan menceraikanmu? Entah sekarang atau nanti. Bagaimana kalau aku mau hidup denganmu selamanya?"
Natasha sudah terlanjur marah, jadi dia mendorong tubuh Leon sekuat tenaga di sela isak tangisnya.
Tapi, bagaimanapun Leon laki-laki yang tenaganya jauh lebih kuat darinya, hingga Natasha merasa sia-sia.
"Natasha, dengar! Jangan pernah percaya dengan Selena, paham?"
Suara Leon seperti titah seorang raja, hingga Natasha yang tadinya mengamuk pun sulit untuk berkata tidak. Meski ia juga tidak mengiyakannya.
"Kamu harus tahu kalau aku dan Selena hanyalah masa lalu."
"Lalu surat perjanjian itu?"
Leon kaget luar biasa hingga dia akhirnya melepaskan pelukannya.
"Oh, Shit!" umpatnya dalam hati.
Bagaimana dia akan menjelaskannya? Dia benar-benar tidak menyangka Natasha akan mengetahui hal itu juga.
"Jawab aku Leon!" teriak Natasha.
"Natasha, tidak bisakah kamu tenang sedikit saja? Pikirkan janinmu!"
"Tidak Leon!" Natasha bersikeras.
Membuat kepala Leon rasanya ingin pecah menghadapi sikap kerasnya.
"Aku akan merobeknya di depanmu."
Leon kemudian pergi setelah mengatakan itu dan membuat Natasha benar-benar merasa konyol.
"Benarkah Leon akan merobek surat perjanjiannya? Kenapa aku begitu bodoh telah membuat Leon marah?"
Tiba-tiba Natasha merasa menyesal karena itu sama artinya dia tidak akan bisa lepas dari Leon dan telah kehilangan kesempatan untuk kembali dengan Keenan.
"Argh!" Natasha berteriak frustasi dalam pemikiran itu hingga membuang apa saja yang ada di sekitarnya.
"Natasha, apa yang kamu lakukan?"
Entah siapa yang memberitahunya. Yunka dan Mauren tiba-tiba datang dan menghentikan Natasha.
Salah satunya kemudian memeluknya.
"Natasha, tenanglah!"
Natasha justru semakin menumpahkan semua kesedihannya dalam pelukan Yunka, seperti anak kecil yang menumpahkan semua tangisannya pada ibunya.
Yunka mengelus punggungnya dan membiarkan Natasha seperti itu sedikit lama.
"Berhentilah menangis Nat, itu tidak baik untukmu."
Mauren juga mencoba menenangkannya.
Natasha kemudian melepas pelukannya dan menghentikan tangisannya.
"Siapa yang memberitahu kalian?"
"Pak Leon."
Natasha merasa tak percaya.
"Benarkah?"
Mereka berdua kompak mengangguk.
"Kami sampai diijinkan pulang cepat untuk ke sini."
Natasha sedikit terharu dengan tindakan Leon, meski tetap saja dia masih sangat marah.
"Maaf jadi merepotkan kalian."
"Kita adalah sahabat, dan menurutmu kami tenang bekerja dengan kondisimu seperti ini?"
Mauren menimpalinya dengan anggukan sebelum berkata, "Sehari saja kamu tidak memberi kabar pada kami, pekerjaan di kantor jadi berantakan dan tidak fokus."
Natasha tersenyum haru sambil merentangkan kedua tangannya agar kedua sahabatnya kembali memeluknya.
"Aku jadi rindu bekerja lagi."