Chereads / GAGAL MOVE ON / Chapter 9 - DEPRESI

Chapter 9 - DEPRESI

Andin yang baru tiba di lantai bawah, seketika panik melihat putrinya dalam gendongan Leon.

"Ada apa dengan..."

"Grant, siapkan mobilnya sekarang juga!" sela Leon meneriaki Grant tanpa mempedulikan Andin.

"Baik Tuan."

Grant bergerak cepat dan memindahkan Rolls Royce hitam tepat di depan pintu rumah Natasha. Leon buru-buru membawa masuk Natasha ke mobil diikuti Andin.

"Sebenarnya apa yang terjadi dengan Natasha, Tan? Dia baik-baik saja semalam."

Pertanyaan itu akhirnya keluar juga dari mulut Leon ketika menunggu dokter keluar.

"Keenan mengirim pesan padanya semalam."

"Shit!" Leon mengumpat dalam hati, hatinya tiba-tiba seolah dicubit dengan keras.

"Leon, Natasha saat ini dilema, Tante harap kamu bisa mengatasi ini agar pernikahan kalian tidak terancam batal."

Leon hanya mengangguk dengan sorot mata ingin membunuh. Tentu saja Keenan biang kemarahannya.

Besok kedua orangtuanya akan tiba di Jakarta, namun Natasha justru kondisinya sedang tidak sehat gara-gara vokalis itu.

Otomatis nama Keenan langsung masuk daftar hitam Leon.

"Grant, cari tahu dimana keberadaan vokalis itu, aku tahu dia hanya drama."

Perintah Leon adalah kewajiban bagi Grant, jadi dia dengan cepat melaksanakannya.

Tak butuh waktu lama, Grant kembali ke hadapan Leon sambil membisikkan suatu tempat.

"Antar aku ke sana sekarang juga!" Leon memerintah dengan suara dingin dan ekspresi yang rumit.

Grant tahu Leon sedang marah, jadi dia tidak berani berkata apapun selain menurutinya.

"Kamu mau kemana Leon?"

"Mengurus sesuatu yang penting. Tolong kabari jika Natasha sudah siuman."

Andin mengangguk dengan sedikit ketakutan melihat ekspresi Leon.

Pada saat Leon pergi, dokter keluar dari IGD.

"Bagaimana keadaan putri saya, Dok?"

"Dia mengalami depresi berat."

Andin menutupi mulutnya yang terbuka lebar karena terkejut. Kesedihan tiba-tiba langsung menyergapnya.

"Lalu apa dia sudah siuman?"

Dokter mengangguk sebelum berkata ," Siapa Keenan? Dia tidak berhenti memanggilnya."

"Temannya yang mengalami kecelakaan." Kilah Andin.

"Boleh saya masuk Dok?" lanjutnya sebelum dokter berkata apapun lagi.

Dokter mengangguk mempersilahkannya sembari berkata, "Dukungan dari orang yang ia cintai sangat ia butuhkan saat ini."

Andin tertegun sebentar sebelum akhirnya ia mengangguk dan masuk ke ruang IGD untuk menemui Natasha.

Di ruang IGD.

Natasha terbaring lemah dengan wajah pucat, matanya sembab dan lingkaran hitam memenuhi di sekitarnya. Wajah ceria yang biasanya terpancar seakan sirna, ia terlihat sangat menyedihkan.

Andin tak tega melihat putrinya seperti ini, pada saat itu hatinya tiba-tiba merasa terkoyak.

"Sayang." Panggilnya dengan suara lirih.

Natasha melirik ke arah Andin dengan tatapan sendu. Detik berikutnya, bulir -bulir air mata mengalir pelan dari sepasang mata obsidiannya.

"Ma, aku mau Keenan," isaknya.

Andin menggigit bibirnya dan hanya memandang Natasha iba.

"Ma, aku mau Keenan."

Andin tetap diam, ia tiba-tiba diserang rasa dilema yang luar biasa.

"Ma, aku mau Keenan."

Pernyataan itu terus Natasha ulang sampai belasan kali seolah kaset rusak.

"Natasha, stop!" Teriak Andin kehilangan kesabaran.

Natasha menangis meraung-raung seperti anak kecil.

"Aku mau Keenan." Teriaknya frustasi di sela tangisannya yang keras.

"Natasha..." Andin ikut menangis sambil mengulurkan tangannya untuk menggengam lembut tangan putrinya. Seketika rasa bersalah menyergapnya. Ia menyesal karena terlalu keras memaksakan keinginannya pada Natasha, tapi kebenciannya pada keluarga Keenan sangatlah besar.

"Maafkan Mama, Nat."

Natasha segera menepis tangan mamanya dan ia merubah posisinya memunggungi Andin.

"Pergi Ma! Tinggalkan aku sendiri." katanya dengan suara serak dan putus asa.

Andin menurutinya, mungkin ia akan lebih tenang tanpa ada dirinya di sisi Natasha saat ini.

Begitu Andin keluar, beberapa suster masuk dan memindahkan Natasha ke ruang perawatan VVIP sesuai titah Leon.

Melihat Natasha dipindahkan, Andin hanya bisa melihat dari kejauhan dengan sepasang mata yang berubah menjadi keran, mengalirkan air mata yang tak ada hentinya.

***

Di kafetaria Sagara Group.

Yunka sedang makan siang bersama Mauren saat mendapat panggilan dari Andin.

Melihat nama mama Natasha tertera di layar ponsel, ia dengan gugup mengakhiri makannya dan menyambar ponselnya.

"Halo Tan."

"Apa? Natasha di rumah sakit?"

"Rumah sakit mana Tan?"

"Oke-oke, aku dan Mauren akan segera ke sana."

Panggilan terputus dan ia menghela nafas untuk mengusir paniknya. Ia menyambar tasnya dan satu tangannya menyeret Mauren agar ikut bersamanya.

"Yun, aku bahkan belum minum." Kesal Mauren.

Ia belum tahu kalau Natasha sedang di rumah sakit, jadi ia melepas tangan Yunka dan menyambar minumannya sebelum akhirnya berlari menyusul Yunka.

"Kita bahkan baru saja makan siang, kenapa harus buru-buru? aku masih sangat lapar, Yun." Rengek Mauren.

"Natasha dirawat di rumah sakit."

"Ha?"

"Apa kamu masih bisa memikirkan makan siang sekarang?"

Mauren menggeleng sedih, "Maafkan aku."

Yunka menggangguk dan berkata, "Hubungi taksi langgananmu."

Mauren mengangguk dengan patuh.

Hanya butuh waktu sepuluh menit, keduanya akhirnya sampai di rumah skait tempat Natasha dirawat.

Andin menyambut mereka di lobi dan mengantarnya ke ruangan Natasha.

"Natasha mengalami depresi berat, Tante harap kalian bisa membantu menghiburnya."

Mauren dan Yunka saling pandang dengan tatapan pilu, keduanya mengangguk dan masuk ke ruangan Natasha.

Mereka menutup pintu hati-hati dan duduk berdiri di sisi ranjang Natasha, mengamati wajah cantik Natasha yang pucat sedang tertidur lelap.

"Kasihan sekali Natasha," suara Yunka yang pilu memecah keheningan di ruangan itu.

"Haruskah kita membantunya bertemu Keenan diam-diam?"

Yunka menggeleng cepat dan bertanya dengan murung, "Apa kamu tidak takut iblis tampan memutilasimu?"

Mauren meringis dan bergidik ketakutan.

"Lalu apa yang harus kita lakukan?"

"Menghiburnya, hanya itu yang kita bisa."

Mauren menghela nafas tanpa daya.

Pada saat itu Natasha terbangun dan ia memandang kedua sahabatnya dengan senyuman getir.

"Kalian sangat berisik," goda Natasha dengan suara lemah.

Mauren dan Yunka terkejut, lalu keduanya tertawa kecil bersama.

"Mauren yang paling berisik."

"Diskusi soal Grant lagi?" sahut Natasha.

Mauren menggeleng cepat dan tampak malu-malu.

"By the way, apa kalian sudah mendengar kabar tentang Keenan? Semalam dia tiba-tiba mengirim pesan padaku." Aku Natasha sedih.

Mauren dan Yunka saling berpandangan dan kompak menggeleng.

***

Di Villa Aurellia, Keenan tampak mondar-mandir di kamarnya, sedang mata beberapa kali mengecek ponselnya berharap Natasha akan membalas pesannya tadi malam.

Ia sangat menyesal telah menyeret Natasha dalam drama kecelakaan yang diusulkan Nadya, perempuan yang sudah melahirkannya.

Sekarang ia harus menanggung semuanya sendiri sementara Nadya lepas tangan karena takut akan ancaman Grant terhadap usaha event organizer yang baru berjalan tiga tahun.

Pada saat sibuk memikirkan Natasha, seseorang mengetuk pintunya dengan kasar. Keenan pikir itu adalah Lexi, asistennya, tapi kenapa ketukan di pintu tidak menunjukkan kesopanan sama sekali.

Keenan mengerutkan keningnya dengan keras dan berjalan ke arah pintu dengan hati menggerutu kesal, hingga gagang pintu terbuka dengan kasar.

Begitu ia melihat sosok yang ia takuti beberapa terakhir ini sedang tersenyum jahat di depannya, Keenan tertegun dan refleks mundur beberapa langkah.

"L... Leon!" serunya dengan suara gemetar.