Natasha bangun keesokan harinya dengan mata yang sangat sembab, tubuh yang lemah tak berdaya juga suhu tubuhnya sangat tinggi seolah dirinya baru saja tercebur ke kolam air panas.
Alhasil, ia masih meringkuk di kasurnya meski hari sudah pagi dan memasuki jam berangkat kerja, ia sangat enggan berpisah dari kasurnya meski hanya untuk membukakan pintu yang terdengar berisik saat ini.
Mengabaikan ketukan keras di luar pintu, Natasha justru semakin menenggelamkan dirinya dalam selimut tebal yang menutupnya hingga kepala.
Natasha pura-pura tuli sesaat dan kembali memejamkan mata.
Menit berikutnya, suara kunci terdengar gemerincing dari luar dan akhirnya pintu kamarnya tiba-tiba terbuka.
Setelahnya, Natasha bisa mendengar sepasang sandal highheels mamanya yang berjalan mendekatinya.
"Nat, sudah jam segini dan kamu masih tidur. Apa kamu tidak bekerja? Grant ada di bawah menjemputmu."
Natasha abai, ia masih di posisi yang sama dengan selimut tebal menutupi seluruh tubuhnya.
"Natasha, ayolah! Kenapa kamu jadi berubah seperti masa sekolahmu yang susah dibangunkan?" Andin menggerutu kesal.
Meski begitu Natasha sama sekali tidak tertarik untuk membuka selimutnya dan memperlihatkan wajahnya yang berantakan pada mamanya.
"Natasha!" Andin setengah berteriak sambil menggoyangkan tubuh Natasha dengan sedikit kasar.
"Apa perlu Mama menyewa toa masjid untuk membangunkanmu?" Andin kehilangan kesabaran sekarang.
Natasha memutar bola matanya di dalam selimutnya, setelahnya ia merubah posisinya menjadi terlentang dan membuka selimutnya sedikit, yang hanya memperlihatkan sepasang matanya yang sembab.
"Aku tidak enak badan Ma." Balasnya dengan suara teredam karena mulutnya masih tertutup selimut.
"Tadi malam kamu baik-baik saja, kenapa? Hey, kamu seperti habis menangis hebat semalam. Ada apa?"
Natasha hanya menggeleng lemah, sementara Andin tidak sabaran dan membuang selimut tebal itu dari tubuh putrinya.
"Kamu menangis semalam kan? Ayo jujur sama Mama!" paksa Andin.
Natasha mengangguk sambil mengatupkan bibirnya, percuma saja membantah kalau ada bukti jelas mata sembab yang begitu kentara.
"Bukankah hubungan kamu dan Leon semakin membaik?"
Natasha tak menjawab, ia mengigit bibirnya dan menatap mamanya dengan keputusasaan.
"Ma, bagaimana kalau itu hanya pura-pura?"
Andin memelototi Natasha dan menatapnya tak percaya.
"Pura-pura? Natasha, apa maksudmu?"
"Aku tidak pernah mencintai Leon, Ma. Aku..." Natasha tiba-tiba tercekat dan hatinya seketika seperti ditarik dengan keras ke dalam sebuah jurang kesedihan yang memilukan saat ia hendak mengakui bahwa perasaannya masih tersimpan baik untuk Keenan.
"Aku..."
"Natasha, stop!" bentak Andin dengan nafas yang terengah-engah karena marah.
"Mama sudah tahu kamu ingin mengatakan apa, jadi simpan saja semuanya untuk dirimu sendiri karena itu tidak akan terjadi. Pernikahanmu dan Leon adalah keputusan mutlak." Lanjutnya.
Andin pergi setelah mengatakan itu, detik berikutnya pintu kamar Natasha dibanting dengan keras.
Natasha memejamkan mata saat menyadari semuanya.
"Seharusnya aku tidak mengatakannya pada Mama." Isaknya kemudian.
***
Sudah empat karyawan yang menjadi korban kemarahan Leon pada meeting siang ini karena hal sepele, dan kelimanya tidak berani berdiri karena sudah keringat dingin duluan.
Leon akhirnya menghentikan meetingnya dan beranjak keluar begitu saja.
Suasana meeting pun akhirnya sedikit mencair setelah dibawah tekanan suhu titik beku yang membuat mereka tersiksa selama satu jam.
"Gila ya Pak Leon, kalau bukan gaji di Sagara Group lebih tinggi dari perusahaan lain, aku mungkin sudah mengurus surat pengunduran diri sejak lama." Carla berkomentar dengan wajah kesal.
Sementara Yunka dan Mauren hanya bisa menghela nafas tanpa daya. Mereka meregang otot dan juga otaknya setelah berada pada situasi meeting yang mengerikan.
"Lagipula kenapa Natasha tidak masuk hari ini? Korbannya jadi kita semua, padahal Pak Leon sudah baik hati mengumumkan pada semua orang tentang hubungannya."
Carla berceloteh tanpa henti.
Mauren yang baru saja mengatur nafasnya dan menormalkan kembali pikirannya hanya mengedikkan bahu sembari mengemasi dokumennya dan bersiap keluar dari ruang meeting. Ia sama sekali tidak tertarik untuk menghibah dengan Carla.
Hal yang sama juga dilakukan Yunka, hingga akhirnya hanya tersisa Yura dan beberapa karyawan lain yang masih mengatur nafas akibat syok dengan meeting barusan.
Di luar ruang meeting.
Yunka berkutat dengan ponselnya dan ingin menghubungi Natasha, ia tiba-tiba merasa khawatir setelah mendengar celotehan Carla tadi.
Sepemikiran dengan Yunka, Mauren tiba-tiba berkata, "Apa sebenarnya Natasha lagi depresi sekarang? Keenan belum ada kabar siuman, sementara Pak Leon sudah mengumumkan pernikahan di depan publik."
"Hmm, hmm." Hanya gumaman yang keluar dari mulut Yunka karena ia sibuk menghubungi Natasha yang sama sekali belum mendapat jawaban.
"Bagaimana menurutmu?"
"Ren, aku juga sepemikiran denganmu, untuk itu aku menghubungi Natasha sekarang, kamu pikir aku menghubungi siapa? Hmm."
Mauren hanya nyengir, ia merangkul Yunka dan menepuk pundaknya.
"Sambil menunggu Natasha menjawab panggilanmu. Ayo temani aku ke kafetaria. Mendengar kemarahan Pak Leon sejak tadi membuatku sangat lapar."
"Hmm."
Di tempat yang berbeda, Leon melangkahkan kakinya dengan buru-buru begitu tiba di rumah Natasha.
Andin yang sedang santai di ruang tengah, sedikit terkejut begitu mendapat laporan Bibi Zen kalau Leon datang ke rumah.
Mengingat Natasha tidak turun sejak pagi dan juga tidak mau menyentuh makanan apapun.
Meski begitu Andin tetap berpura-pura tidak terjadi apa-apa dan langsung menyambut Leon di depan.
"Tante, apakah Natasha baik-baik saja?" tanya Leon tanpa ingin basa-basi.
"Natasha sedang istirahat di kamarnya, dia hanya sedikit tidak enak badan katanya. Apa ada pekerjaan mendesak yang harus ia kerjakan?"
"Tidak, bolehkah aku menemuinya?"
"Tentu saja, ayo!"
Andin tiba-tiba dengan senang hati membawa Leon ke lantai atas, ia ingin menyadarkan putrinya bahwa Leon sangatlah perhatian.
"Tante ke bawah dulu Leon, bicaralah dengan Natasha. Sarapannya tadi sudah disia-siakan, mungkin dia akan mendengarmu dan mau makan siang."
Leon hanya mengangguk dan kemudian mengetuk pintu kamar Natasha.
Cukup lama dia mematung di depan pintu kamar Natasha dan tidak ada tanda-tanda pintu itu dibuka oleh pemiliknya, sehingga Leon sedikit khawatir.
Ia mendekatkan telinganya di pintu dan tidak ada suara apapun di dalamnya.
"Natasha, buka pintunya!" Katanya dingin dan begitu mendominasi.
Tapi tetap saja tidak ada suara apapun. Leon kehilangan kesabaran dan dia akhirnya membuka kenop pintu itu dengan tangan pribadinya.
Detik berikutnya pintu terbuka sedikit dan suasana masih sangat hening.
"Natasha!" Panggilnya sekali lagi.
Hening, tidak ada jawaban atau suara lain dari dalam selain jarum jam. Leon curiga terjadi sesuatu jadi dia membuka pintu lebih lebar lagi hingga terbuka penuh dan pintu menyentuh dinding.
Pada saat itu, ia terbelalak melihat Natasha meringkuk di lantai dengan mata terpejam.
Leon berlari secepat kilat dan buru-buru mengecek keadaannya.
"Nat, are you okay?"
Leon bertanya khawatir sambil memindahkan kepala Natasha ke pangkuannya.
Melihat wajahnya yang pucat dan merasa suhu tubuh Natasha tidak normal, ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh keningnya dan seketika rasa panas menjalar pada punggung Leon.
Tanpa ba bi bu lagi, ia menggendong Natasha keluar dan berlari menuruni anak tangga.