Baru saja pintu mobil tertutup, sang istri tengah berjalan memasuki kafe yang menjadi tempat pertemuan Nara dengan teman-temannya. Rayhan tak langsung pergi, ia masih menyisihkan waktu untuk memperhatikan istrinya sejenak. Kedua aksinya sampai bertautan saat melihat Nara baru saja duduk bersebelahan dengan teman perempuannya. Terhitung ada dua orang teman Nara di sana, lantas ia segera menjalankan mobilnya pergi dari sana. Meskipun menaruh rasa curiga, ia tidak ingin Nara merasa tidak nyaman saat bertemu dengan teman-temannya.
Tidak ada pemikiran untuk pulang ke rumahnya, Rayhan justru memilih untuk pulang ke rumah orang tua Nara. Dia hanya ingin berkunjung, karena sudah lama tidak bertemu dengan adik Nara. Daripada dia sendirian di rumahnya. Sesekali bertemu dengan adik iparnya. Mumpung ia juga sudah terlanjur keluar dari kantor.
Di pertigaan jalan, Rayhan membawa mobilnya ke arah kanan dan mulai memasuki perumahan yang tidak terlalu besar. Iya, ini adalah arah menuju rumah mertuanya. Sampai akhirnya ia tiba tepat didepan rumah mertuanya, Rayhan melihat ibu mertuanya tengah membuang sampah. Segera mungkin Rayhan turun dan tersenyum hangat pada ibu mertuanya.
"Siang, Ma," sapa Rayhan.
"Siang," senyuman Rayhan pun dibalas oleh wanita itu. "Sendiri? Kemana Nara?" tanyanya.
"Nara sedang bersama teman-temannya. Kebetulan juga saya pulang lebih awal, jadi datang ke sini," jawab Rayhan.
Wanita itu menyuruh Rayhan untuk masuk ke dalam rumahnya. Saat ini, ibunda Nara masih sendirian, lantaran sang suami dan putra bungsunya belum pulang. Tapi tak apa, dirinya bisa menanyakan kabar putrinya terlebih dahulu, sekaligus menunggu kepulangan dua laki-laki lainnya. Sebagai seorang ibu, pasti merindukan putrinya, apalagi sudah menikah. Rasanya sangat kehilangan, tidak ada teman untuk memasak bersama atau melakukan hal-hal yang biasa dilakukan oleh wanita.
Menantunya ia suruh untuk terlebih dahulu, sedangkan dirinya akan menuju dapur untuk membuatkan minuman. Dipikirannya saat ini, ketika ia melihat mobil Rayhan, ia pikir akan ada Nara juga. Karena Nara juga belum pernah pulang ke rumah ini lagi setelah dibawa oleh keluarga Rayhan. Justru, Rayhan sudah dua kali datang ke sini setelah pernikahan mereka. Tentu saja, yang pertama ketika Nara protes saat isi kopernya bukan pakaian yang biasa ia pakai. Sejujurnya, dirinya tertawa mendengar celotehan Nara yang meminta dibawakan pakaian lain.
Selepas membuat minuman, ibunda Nara kembali menemui sang menantu. Menyerahkan minumannya dan duduk dengan senyuman seorang ibu. "Diminum, Han," titahnya.
Tangan kanan Rayhan meraih gelas berisikan minuman dingin yang cocok diminum saat cuaca panas begini. Diteguknya minuman itu dan membuka suaranya. "Mama dan Papa apa kabar? Maaf, karena jarang datang ke sini,"
"Kami semua baik. Terkadang Indra suka merengek karena tidak ada Nara," balas ibunda Nara.
Mendengar kalimat ibu mertuanya itu membuat Rayhan sedikit tertawa. Rupanya adik iparnya itu tetap saja manja dengan sang kakak, kendati jika mereka bertemu terkadang suka berdebat. Sifat Nara yang ditunjukkan ke keluarganya, berbeda dengan sifat yang ditunjukkan untuk keluarga Rayhan.
Lebih dari tiga puluh menit Rayhan berada di sana, dirinya dan juga ibu mertuanya mendengar suara motor yang memasuki pelataran rumah ini. Saat melihat ke arah sumber suara, rupanya itu adalah Indra yang baru saja pulang dari sekolah. Remaja laki-laki itu memasuki rumah dengan bersiul, jaket hitamnya ia gantung di pundaknya. Wajahnya tampak terkejut saat melihat keberadaan Rayhan yang duduk di sofa ruang tamu. Bahkan tanpa menyapa ibunya, Indra lebih dulu menghampiri Rayhan.
"Kak Rayhan," panggilnya bersamaan duduk tepat di samping kakak iparnya.
Sang ibu menggeleng melihat tingkah putranya pada menantunya. Senang, lantaran mereka berdua sangat akrab. "Jika sudah melihat kakak iparmu saja, langsung lupa dengan Mama," celetuk sang ibu dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada.
"Aku sudah melihat Mama setiap harinya. Melihat Kak Rayhan 'kan hampir tidak pernah," balasnya.
Rayhan sedikit tertawa dengan kalimat Indra yang seperti itu. Dia menepuk-nepuk salah satu pundak Indra, dan menyuruh adik iparnya itu untuk mengganti pakaiannya terlebih dahulu. Jika Rayhan perhatikan, Indra itu memiliki sifat lebih konyol daripada Nara. Dia malah belum melihat sikap konyol dari istrinya, atau mungkin memang Nara tidak memilikinya? Entahlah, mungkin karena masih baru tinggal bersama.
-
-
-
"Kak," panggilnya. Selesai mengganti pakaian, laki-laki itu langsung kembali menghampiri Rayhan. "Kenapa tidak datang dengan Kak Nara?" tanyanya.
"Kakakmu sedang berkumpul dengan teman-temannya," jawab Rayhan.
Lantas Indra menyandarkan tubuhnya dan melempar kepalanya ke sofa. Sejenak memejamkan kedua matanya sebelum kembali melihat ke arah Rayhan.
"Pasti dia sedang bergaya dan memamerkan memiliki suami sepertimu. Beruntung sekali dia,"
Dari penuturan adik iparnya, Rayhan merasa kalimat itu benar menjadikannya sebagai laki-laki yang pantas untuk Nara. Diam-diam dirinya tengah tersenyum tipis, dirinya ikut bersandar dan menoleh ke arah Indra.
"Justru, akulah yang beruntung mendapatkan kakakmu," timpalnya. Tak ada balasan apapun dari Indra, membuat keheningan menyelimuti mereka berdua. Namun, tak lama setelahnya Rayhan kembali berbicara, dan respon yang diberikan Indra pun membuatnya tersenyum lebar. "Ayo, kita pergi ke berbelanja,"
Tanpa kalimat apapun lagi, Rayhan dan Indra bangkit dari tempatnya. Indra masuk ke kamarnya guna mengambil ponsel dan jaketnya, dan Rayhan langsung menuju mobil. Tak lama setelah itu, mereka berdua pergi meninggalkan rumah Nara.
Tidak tahu kenapa secara mendadak Rayhan mengajak Indra pergi berbelanja. Bibirnya bergerak begitu saja, dan ia merasa cukup senang ketika melihat adik iparnya itu sangat sumringah saat ia mengajaknya. Lagipula, sebelumnya Rayhan tidak pernah mengajak Indra pergi seperti ini. Paling jauh saat mereka akan membeli makan siang saja. Itupun beberapa kali selalu dihubungi oleh Nara agar tidak pergi terlalu lama.
Begitu sampai pada tujuannya, keduanya segera masuk dan mulai berjalan. Melihat kanan dan kiri toko yang menjual banyak barang, dari pakaian hingga elektronik.
"Kau ingin sesuatu?" tanya Rayhan.
"Memangnya boleh?" tanya Indra balik.
Terdengar suara kekehan kecil dari laki-laki dewasa itu. "Kau sudah menjadi adikku, tentu saja boleh,"
Indra mengangguk beberapa kali, ia melihat sekelilingnya. Ia melihat toko yang menjual laptop. Dia menunjuk toko itu menggunakan jari telunjuknya. "Laptop, boleh?"
"Ayo," ajak Rayhan saat sekilas melihat toko laptop yang dimaksud oleh Indra.
Namun, ketika keduanya sedang berjalan ke sana, tanpa sengaja ia melihat sang istri yang juga berada di pusat perbelanjaan ini masih bersama dengan dua temannya tadi. Bola mata mereka saling bertemu sejemang, Rayhan yang langsung memutuskan pandangan itu. Dirinya lebih memilih untuk fokus pada adik iparnya yang sudah membuka pintu toko laptop itu.
Nara juga disini?—tanyanya dalam batin.