Galaksi sudah bergerak mendekat dan menarik satu kursi untuk duduk di sisi Helena.
Helena tahu suara bersinnya tida akan menarik perhatian orang-orang di sana, tapi dia tetap berbalik ke belakang. Dan tepat di detik itu, seolah-olah bererak secara otomatis, satu lengan Galaksi memanjang di depan wajah helena, sehingga Helena bisa menyembunyikan bersinnya di sana. "Hatchi!"
Dua tangan Helena masih mencengkram lengan Galaksi ketika lengan yang terbugkus sweater hitam itu tiba-tiba melingkari bagian depan lehernya. Lalu, tangan Galakis yang lain mengusap puncak kepalanya. Galaksi bergumam disertai tawa kecil yang terdengar sangat dekat ditelinganya. "Bisa jangan bikin gemes dulu nggak?"
****
Helena masih duduk di kursinya, menyaksikan Galaksi yang bangkit lebih dulu lalu berpesan. "Tunggu sebentar di sini, nanti gue balik lagi." Yang segera Helena beri anggukan.
Ada sekitar tiga mahasiswi yang sama-sama belum beranjak dari ruang rapat BEM selain Helena, salah satunya bahkan terang-terangan menatap Helena dengan raut wajah penasaran, lalu berjalan menghampiri dan duduk di kursi terdekat dengannya. "Hai, gue Levi." Dia mengulurkan tangan ke arah Helena.
"Helena," sambut Helene aseraya balas menjabat tangannya.
"Sori, ceweknya Galaksi, ya?" tanyanya tiba-tiba.
Helena tidak cepat-cepat memberikan jawaban, dia hanya tersenyum dan mneunggu perempuan itu kembali bicara.
"Kalau misalnya hubungan kalian masih belum ada kejelasan, kayaknya mendingan lo pergi duluan deh dari Galaksi," lanjut Levi. "Dia tuh kayak nggak butuh cewek--maksudnya, nggak butuh hubungan serius sama cewek."
"Oh, ya?" gumam Helena. Padahal tentu saja dia tahu lebih dari sekedar itu.
Devi mengangguk. "Sebelum lo ditinggalin tanpa kejelasan, gue kasih saran sebaiknya lo pergi."
Helena mengangguk pelan, lalu tersenyum. "Sori, lo pernah ... jadi salah satu perempuan yang 'nggak diseriusin' Galaksi?"
Devi menggeleng. "Nggak sih," jawabnya. "Temen gue yang ngalamin itu. Sampai keluar dari BEM gara-gara nggak mau ketemu Galaksi lagi." Dia meraih tasnya, beranjak dari kursi. "Gue cuma kasihan aja kalau lihat ada cewek yang mau masuk ke perangkapnya dia lagi karena gue rasa Galaksi tuh sebenarnya punya satu cewek yang dia suka, yang bikin dia nggak pernah bisa mau serius sama cewek-cewek yang deketin dia."
"Deketin dia?" gumam Helena.
Devi mengangguk. "Galaksi sejauh ini nggak pernah deketin cewek, kan? Dia cuma nerima-nerima cewek yang deketin dia doang. Dan gue rasa, lo juga gitu?" Dia mengangkat bahu. "Galaksi akan menyambut baik siapa pun yang deketin dia. Jadi hati-hati."
Helena tersenyum lebih lebar. "Thanks, ya." Ucapan terima kasih yang sebenarnya ditujukan untuk hal lain. Dia mendapatka satu hal baru tentang Galaksi yang ditulisnya sebagai Rey. Dan hal yang selanjutnya harus dia cari tahu adalah alasan kenapa Galaksi berlaku demikian.
Benarkan ada satu perempuan yang membuat Galaksi tidak bisa memiliki hubungan serius denga siapa pun?
Helena masih berpikir, masih duduk di kursinya ketika Devi beranjak meninggalkannya, berganti Galaksi yang kini mendekat seraya membawa kunci mobil dan menjinjing tas punggung.
"Masih ada kuliah?" tanyanya.
Helena mangangguk. "Satu mata kuliah lagi." Tangannya merogoh isi tas, mengeluarkan selembar kertas berisi daftar kuesioner yang telah dia susuk semalaman. "Isi yang serius, ya," pesannya seraya menyerahkan kertas itu pada Galaksi.
"Banyak banget?" Galaksi membolak-balik kertas di tangannya. "Mesti selesai sekarang?"
"Iya, dong. Lebih cepat, lebih baik," jawab Helena. "Lo pengin riset gue cepat selesai, kan?"
"Gue kerjain di apartemen, ya? Soalnya rencananya gue mau balik dulu sebelum nanti malam ada rapat BEM."
Helena mendengkus kencang. "Terus? Gue kan butuh jawaban kuesioner lo malam ini." Galaksi tidak tahu betapa banyaknya revisi yang harus Helena hadapi dalam tulisannya, ya? Dia bahkan sampai muak sendiri walau hanya mengingatnya.
"Ya udah, gue kerjain kok."
"Sekarang, Galaksiiiii."
"Iya, sekarang," jawab Galaki santai. "Sepulang kuliah, lo ambil ke apartemen gue."
Helena menatap Galaksi sinis. "Kenapa lo senang anget nyuruh gue ke apartemen lo, sih? Heran."
Galaksi yang berdiri di depan Helena kini membungkuk, menaruh dua tangannya di sandaran kursi yang Helena duduki. "Kan, lo sendiri yang nggak ngizinin gue deketin cewek lain, apalagi sampai bawa cewek lain, apalagi sampai bawa cewek lain ke apartemen." Dia mengangkat alis. "Jadi ... ya gantinya lo."
****
Mau tidak mau, Helena datang ke apartemen Galaksi. Demi selembar kuesioner yang Helena pikir sudah terisi. Namun, saat Helena datang. Pemandangan yang dilihatnya adalah, Galaksi yang bertelanjang dada dan hanya melilitkan handuk di pinggang ketika membuka pintu.
"Sori. Lama nunggu, ya? Tadi lagi di kamar mandi," ujarnya seraya membuka pintu apartemen lalu berjalan begitu saha meinggalkan Helena di belakangnya.
Helena mencoba mengabaikannya. Namun sulit ternyata mengabaikan bulir-bulir keci air dari ujung rambut Galaksi yang masih menetes ke tubuhnya, membuat aliran di sepanjang dada dan punggung laki-laki itu.
Dan oke, Helena. Cukup.
Helena membuang tatapan, ke mana pun, asal tidak tertuju pada Galaksi. Dan akhirnya, dia menemukan rak sepatu kecil dekat pintu, sesuatu menarik perhatiannya. Tidak ada lagi sandal rumah berwarna merah yang Galaksi berikan padanya tempo hari.
Lalu, "Pakai punya gue aja," tunjuknya ke arah sendal berwarna cokelat di rak itu. "Pakai itu, ya. Biar nggak kepleset terus."
Helena menurut begitu saja, walaupun dalam hati masih bertanya-tanya ke mana perginya sandal merah itu. Mungkinan sebenarnya sandal itu milik perempuan lain? Dan kemarin-kemarin Galaksi membawanya masuk?
Itu bukan urusannya memang. Namun, bukankah mereka sudah menandatangani sebuah perjanjian yang berbunyi tidak akan kencan dengan lawan jenis mana pun?
Galaksi memang tidak bisa dipercaya.
Helena berjalan ke arah sofa dengan sandal yang kebesaran di kakinya. "Gue ke sini cuma mau ambil kuesioner, kok. Nggak lama."
Galaksi yang sudah kembali masuk ke kamar dengan pintu yang tidak tertutup sepenuhnya menyahut. "Belum gue isi."
Helena memutar bola matanya. "Gaaaal?"
"Gue ketiduran tadi pas pulang. Gue isi sekarang. Cepet kok, Janji."
Helena hanya menyimpan tasnya ke sofa, lalu berbelk menuju lemari es untuk mengambil sekaleng minuman ringan atau apa pun itu yang bisa didapatkannya di sana. Dan, ada sekitar lima kaleng minuman rasa jeruk yang tersimpan di dalamnya.
Seolah-olah disediakan khusus untuk seseorang yang datang. Yang bukan penyuka soda seperti Si Pemilik Apartemen itu.
Saat baru saja bangkit dan menutup lemari es, Helena melihat Galaksi keluar dari kamarnya. Laki-laki itu sudah mengenakan celana kain abu-abu pendek, tapi tampak masih berusaha mengenakan kaus putihnya.
"Kenaoa harus keluar dulu sih kalau belum selesai pakai baju?" gerutu Helena seraya mengalihkan tatapannya ketika kembali melihat Galaksi memamerkan dadanya.
"Takut lo keburu ngambek."
"Gue udah ngambek."
*
*
*