"Oh ya, beberapa hari yang lalu, aku lihat kamu di selasar." Entah kenapa senyum Nathan terlihat lebih lebar. "Kamu punya teman lagi sekarang?" tanyanya. "Aku harap kamu mau mulai membuka diri, nggak ketergantungan lagi sama satu orang, kayak waktu sama aku dulu."
Padahal dia yang membuat Helea bersikap ketergantngan dan tidak mengenal siapa-siapa.
"Nathan?" Suara Bianca terdengar memanggilnya membuat Nathan menoleh.
"Dan kayaknya, gue udah nemuin orang yang ... apa ya, satu frekuensi sama gue. Bianca ini." Nathan memegang pundak Helena singkat, membuat Helena ingin mematahkan tangannya. "Makasih ya, Helen. Udah putusin gue."
Setelah itu, Nathan berbalik, lalu langkahnya disambut oleh Bianca yang menunggunya sejak tadi. Langkah-langkah kaki itu menjauh, Helena melihatnya. Di titik ini, Helena mamndang drinya sendiri tampak begitu ... bodoh. Langkah Nathan dan Bianca menjauh, seiring dengan pengkhianatan yang mereka tinggalkan di setiap jejak langkahnya.
Helena memegang tali sling bag-nya lebih erat, menahan diri mati-matian untuk tidak meneriaki dua makhluk yang beberapa waktu ke belakang berhasil membuatnya hancur dan tertatih ketika ingin melangkah lagi.
Helena menahan diri untuk tidak menangis, tapi entakan langkah kkainya saat berbalik dan pergi membuat air-air sialan yang sejak tadi bergerumul itu membebaskan diri bulir demi bulir.
Kenapa hari terburuk harus jatuh tepat di hari ulang tahunnya?
Dalam sesak yang menekan kencang dadanya, Helena kehilangan tujuan untuk melangkahkan kaki, kebingungan mencari sosok untuk berbagi. Selama beberapa saat, dia kalut. Isi kepalanya otomatis memberi potret-potret wajah yag muncul-tenggelam, silih berganti, orang-orang terdekatnya.
Sampai sebuah potret wajah begitu jelas terlihat. Dalam ingatannya. Hanya ada satu nama.
Lalu, Helena mencoba menghubunginya.
Helena Cellistine :
Gal.
****
Galaksi baru saja menyimpan tas ransel di atas sofa saat ponselnya yang tergeletak di meja bar berdering. Kegiatan BEM selama tiga hari cukup menguras tenaganya, dan dia berjanji akan tidur seharian ini untuk membayar waktu tidur yang kurang selama tiga malam ke belakang.
Tidak ada yang boleh mengganggu.
Kecuali Helena.
Dan Ibunya.
Galaksi meninggalkan sofa dan bergerak ke arah meja bar, meraih ponselnya yang masih berdering dan menyala. Lalu, di layar itu, dia menemukan nama 'Ibun' menyala-nyala. Galaksi menggeser ibu jarinya untuk membuka sambungan telepon, lalu menempelkan ponsel ke telinga seraya kembali bergerak ke arah sofa.
"Halo, Bun? sapanya yang diakhiri dengan lenguhan kencang karena baru saja menjatuhkan punggungnya ke sofa.
"Udah pulang?" tanya Ibun dari seberang sana.
"Udah, kenapa?"
Helaan napas kencang ibunya terdengar, dan itu artinya dia tidak akan menerima kabar baik.
"Bun?" gumam Galaksi karena selama beberapa detik ibunya hanya terdiam.
"Nenek minta kamu hadir di acara makan malam hari ini. Tante Maura, Om Sandi, dan ... Alma, baru saja sampai di Jakarta." ibun tahu betul kalau itu bukan kabar baik. "Gal?"
Galaksi hanya mendengungkan gumaman.
"Kalau kamu capek, nggak apa-apa, kamu nggak usah datang. Ibun akan bilang sama Nenek kalau kamu baru sampai selepas kegiatan."
"Aku datang," potong Galaksi. "Aku akan datang, Bun," putusnya sekali lagi. Dia mendengar dari Bulan, setiap kali tidak datang makan malam, Ibun akan memberikan alasan dan membelanya di meja makan hingga bersitegang dengan Nenek.
"Oke." Ibun mendesah kecil.
"Kirim aku alamatnya, ya."
****
Bottega Ristorante yang bertempat di Fairgrounds SCBD telah ditentukan menjadi titik temu. Setahunya, booking VIP class di restorang mewah bergaya Eropa itu harud dilakukan jauh-jauh hari, minimal dua minggu sebelumnya. Jadi, apakah makan malam ini memnag sudah sangat begitu direncanakan?
Galaksi memasuki ruangan mewah restoran denga langit-langit tinggi dipenuhi finishing kuningan yang artistik. Ada lounge dan tempat makan yang terpisah. Galaksi berjalan di antaranya, masih mencari. Tatapannya memendar, menyusuri setiap sudut, bisa jadi tempat itu membuatnya takjub dengan setiap detail dekorasinya seandainya dia tidak datang dengan terpaksa malam ini.
Detail art deco di lampu dinding kristal yang terbuat dari kuningan sempat mengalihan perhatiannya sebelum langkahnya terayun ke arah koridor yang merupakan area transisi antara ruang terbuka, semi outdoor, dan ruang makan.
Dan, di sebelah kanan itu, di area semi outdoor, dia menemukan keluarganya berkumpul. Ruangan itu tetap berada di area indoor, tapi mendapatkan view dan suasana are outdoor. Pilihan yang tepat, karena biasanya Galaksi lebih banyak diam dan menghirup udara dalam-dalam daripada mencicipi segala menu yang dihidangkan di meja.
Nenek manjadi orang pertama yang menyambut kedatangan Galaksi, sebelum akhirnya Galaksi menyapa satu per satu anggota keluarga yang berada di sana. Meja berbentuk elips itu diduduki di dua sisinya. Sisi pertama diisi oleh Nenek, Alma, Tante Maura dan Om Sandi. Sementara di sisi lain hanya diisi oleh Handa, Ibun dan sekarang Galaksi.
Masih ada dua kursi kosong tersisa di samping Galaksi, yang seharusnya diisi oleh Bulan dan suaminya.
"Kak Bulan sudah di parkiran katanya," ujar Ibun ketika melihat Galaksi menatap kursi kosong di sampingnya.
"Galaksi, katanya baru pulang dari kegiatan BEM, ya?" tanya Tante Maura, emngalihkan fokus Galaksi yang selalu berantakan di setiap acara makan malam.
Galaksi mengangguk. "Iya, kegiatan sosial gitu. Di salah satu panti asuhan di Serang," jawab Galaksi.
"Wah, keren. Galaksi ini punya jiwa sosial yang tinggi, mirip siapa, ya?" Om Sandi berusaha memecah canggung yang memebatasi kedua sisi meja itu.
"Tentu saha Sairish," jawab Nenek. "Selagi kuliah, Sairish aktif di berbagai kegiatan organisasi, kan? Berbeda dengan Akala."
Memang banyak yang bilang, kalau sifat Ibun namyak menurun dari Galaksi, sedangkan Bulan mendapatkan sifat terlalu banyak yang diturunkan Handa.
"Pasti capek banget, ya?" ujar Alma. Tangannya memanjang, sehingga telunjuknya berhasil menyentuh pelan punggung tangan Galaksi, mengusapnya di sana.
Galaksi menarik pelan tangannya sambil balas menatap perempuan itu, lalu bergumam, "Yah ... gitu."
Menu-menu mulai berdatangan seiring dengan obrolan yang terdengar semakin rapat. Sampai akhirnya, terlihat Bulan dan suaminya datang menghampiri meja. Dua orang itu adalah sepasang suami-istri yang tidak pernah terbebas dari baju kerah sebelum tengah malam.
Keduanya datang dengan setelah kerja yang pasti dipakainya seharian. Wajah mereka berkata lelah, tapi semuanya menyingkir karena senyum yang ditampilkan ketika sampai di meja dan menyapa satu persatu anggota keluarga.
"Wah, pas banget ya, kami datang menunya sudah siap begini." Bulan menepukkan dua tangan dan menatap hidangan dengan mata berbinar.
Andaru, suaminya, segera mengusap puncak kepala BUlan. "Lapar, ya?" Yang hanya Bulan balas dengan kekehan.
"Jangan-jangan lagi isi?" terka Tante Maura yang membuat kekehan Bulan sirna, sisa senyumnya pudar perlahan. Suasana di meja makan mendadak hening selama beberapa saat. "Iya, kan? Bisa jadi, lho. Sudah konsultasi ke dokter kandungan lagi?"
*
*
*