Ibun terlihat akan bicara, tapi Bulan menyahut lebih dulu.
"Sudah, kok. Kamu rutin check-up." Bulan mulai meraih makanan di piringnya tanpa dipersilahkan.
"Oh, ayo, ayo, sambil makan," ujar Nenek dengan raut wajah yang kaku, seolah-olah dapat menangkap kecanggungan yang mendadak pekat di sana.
Bulan dan Andaru sudah menikah hampir dua tahun, tapi belum juha dikaruniai anak. Ibu selalu menegarkan saat Bulan mengeluh, tapi juga selalu mendukung setiap kali Bulan berusaha. Tidak ada yang salah jika seseorang bertanya tentang momongan padanya, dengan catatan, bukan orang yang jelas tahu dalam jangka waktu sepanjang dua tahun itu Bulan dan Andaru kesulitan mendapatkannya.
"Tante mengerti kayaknya kamu kecapekan, Bulan. Sebagai wanita karier, Tate juga merasakan."
"Aku nggak kecapekan kok." Bulan memotong ucapan Tante Maura. "Andaru nggak pernah membiarkan kau bekerja terlalu keras. Aku bekerja hanya ketika aku ingin," jelasnya. Ada nada dingin dalam suaranya. Atau lebih tepatnya, dia selalu memberi sikap dingin kepada Tante Maura dalam keadaan apa pun.
Entah apa yang pernah terjadi dulu di antara keduanya, Galaksi tidak pernah berhasil untuk mencari tahu, dan Bulan selalu terlihat malas menjawab setiap kali Galaksi bertanya.
Tangan Andaru tampak bergerak ke belakang, mengusap punggung Bulan lembut, sedangkan istrinya itu sudah kembali menyuapkan makanan ke mulutnya. Minat makan Bulan sudah lenyap dari wajahnya, dia hanya enggan berbicara lebih banyak lagi.
Galaksi baru saja meraih mangkuk pumpkin soup-nya di antara tangan-tangan yang sudah mulai menyuapkan makanan ke mulut, dia memang selalu menjadi orang yang tidak bersemangat makan di tengah acara makan malam keluarga.
"Galaksi?" Suara Nenek membuat Galaksi mendongak. "Kamu tahu kan kalau Alma ada rencana untuk pindah ke Jakarta?"
Galaksi belum sempat memasukkan sesendok pumpkin soup ke mulut yang kini berada di tangannya. Tangannya yang menggantung di udara kembali menaruh sendok ke mangkuk.
"neneeek, kok bilan sekarang sih? Aku kanmau itu jadi kejutan buat Mas Galaksi." Alma memelankan suara di ujung kalimat yang diucapkannya.
Nenek terkekeh. "Ah, iya, ya?" tanyanya. "Jadi Galaksi belum tahu?"
Galaksi menyadari tatapan Ibun yang kini mengarah padanya, lalu tatapan keduanya bertemu. Ada kalimat yang tak terucap, tapi bisa Galaksi dengar dari matanya. Oke, dia memiliki Ibunya yang akna selalu mendorong pundaknya dari belakang saat rafu dan tertegun lama untuk mengambil keputusan, seseorang yang paling yakin atas keputusan yang diambilnya.
Namun tentang Alma, dia selalu eksuitan untuk mengambil sebuah keputusan tegas.
"Jadi, ke depannya hubungan kalian akan lebih mudah," tambah Tante Maura, membuat Alma menatapnya dengan ekspresi malu-malu.
"Hubungan? HUbungan apa?" tanya Ibun. "Kamu dan Alma punya hubungan selama ini? Kok, Ibun nggak tahu?"
Ada kekeh pelan dari Handa yang terdengar setelah itu, tangannya bergerak membawa tangan Ibun ke dalam genggaman.
"Rish, kamu pura-pura nggak tahu selama ini atau bagaimana?" tanya Nenek.
"Aku benar-benar nggak tahu," balas Ibun.
"Galaksi dan Alma itu saling tertarik, mereka punya hubungan yang nggak perlu diikrarkan secara langsung, Rish," jelas Tante Maura. "Dan ketika Alma pindah ke Jakarta, semuanya akan lebih mudah."
"Lebih mudah apa?" tanya Ibun.
"Lebih mudah untuk membuat hubungan Galaksi dan Alma maju ke jenjang yang lebih serius," jelas Nenek.
"TUnggu." Kali ini Handa bersuara. "Galaksi, apa kamu mengambil satu keputusan besar tanpa bocara dengan kami?" tanyanya.
"Aku nggak pernah mengambil keputusan apa-apa," jawab Galaksi.
"Galaksi memang tidak pernah mengambil keputusan, tapi dia menyetujui." tante Maura masih bersikeras melawan kekeraskepalaan Handa dan Ibun.
"Menyetujui apa?" tanya Ibun. "Aku ibunya, apa yang disetujui Galaksi, aku harus tahu."
"Rish, Galaksi sudah dewasa," ujar Nenek tegas.
"Dewasa? Iya, dia sudah dewasa sekarang. Tapi bukankah kalian meminta persetujuan saat Galaksi masih terlalu tabu untuk tahu apa itu hubungan serius?" Ibun masib tidak goyah. "Kalian memanfaatkan ketakutan seorang anak laki-laki yang-"
"Sairish!" hardik Nenek.
Bula berhenti menyendok makanan, Andaru batal mengambil gelas, dan entah ekspresi apa lagi yang ditampilkan oleh penghuni meja itu karena sekarag Galaksi memejamkan mata. Polanya akan sama, rencana makan malam, bersitegang, pulang dengan perasaan buruk.
"Suara Mami terlalu kencang, Sairish bisa dengan tanpa perlu dibentak." Handa tetap terlihat tegang saat membela Ibun. "Haruskah kita mengakhiri makan malam ini?" tanyanya.
"Maafkan Mami." helaan napasnya terdengar. "Oke, silakan lanjutkan unutk menikmati-"
Suara Nenek terhenti karena Galaksi tiba-tiba bangkit dari kursi. "Aku ke luar sebentar." Dia berjalan tanpa menunggu respons dari siapa pun. Langkahnya terayun ke arah outdoor. Perlahan udara dingin menyapanya, tidak terlalu menenangkan, tapi setidaknya bisa melepasnya dari sesak selama berada di dalam.
Dia berjalan jauh, mengira-ngira tidak akan ada yang melihat keberadaannya lagi karena sekarang tangannya meraih sekotak rokok dari saku celana dan menarik satu batang untuk segera diselipkan di antara bibir yang merapat.
"Masih ada?"
Suara itu membuat Galakis mneoleh ke samping. Sedikit terkesiap saat melihat siapa yang menghampirinya sekarang.
Handa berdiri di sampingnya dengan satu tangan menengadah. Namun, karena Galaksi tidak kunjung memberikan kotak rokok di tangannya, Handa merebutnya begitu saha, emngeluarkan satu batang rokok dan menyelipkan di bibirnya. Beliau melakukan hal yang sama persis dengan yang Galaksi lakukan sebelumnya.
Bahkan, Handa menjadi orang pertama yang menyulut ujung rokoknya, mengisapnya sebelum mengembuskan asap tipis yangmembentuk awan selama beberapa saat di depan wajahnya.
"Ibun udah ngelarang Handa ngerokok, kan?" tanya Galaksi. Lagi pula, ini adalah pertama kalinya mereka merokok bersama. Selama ini Handa memang sudah tau bahwa Galaksi diam-diam sudah mengenal rokok, tapi tidak pernah secara terang-terangan bertanya atau menyaksikannya secara langsung.
"Handa cuma nggak mau membiarkan kamu merokok sendirian."
Galaksi memutar-mutar batang rokok di antara telunjuk dan jari tengahnya, dia batal menyulutnya.
"Kamu menyukai Alma?" tanya Handa tiba-tiba.
Galaksi menghindari tatapan ayahnya, dia hanya menatap tanaman di dalam pot-pot besar dan mewah di hadapannya.
"Bersama Alma memang sebuah pilihan," lanjut Handa. "Tapi kamu tentu punya banyak pilihan."
Galaksi menoleh. "Kejadian tiga tahun lalu-"
"Kamu sengaja melakukannya?"
"Tentu aja nggak," jawab Galaksi cepat.
Handa mengangguk. "Kalau begitu, kenapa itu selalu menjadi titik balik untuk semua urusan yang berhubungan denga Alma?" tanyanya. "Itu sebuah kecelakaan, kamu tidak bersalah. Tidak sama sekali."
Galaksi menunduk, dia menginga sebuah perjanjian yang disetujuinya hari itu, yang tidak diketahui siapa-siapa. Benar, dia tahu betul bahwa hari itu Tante Maura memanfaatkan rasa bersalahnya, tapi tentu saja tidak mudah untuk melupakan segalanya dan menganggap kejadian itu tidak pernah ada.
Kegiatan tiga tahun lalu, Galaksi masih sangat ingat ketika sorot lampu mobil di depannya menyala-nyala penuh peringatan. Silau itu berganti gelap saat sebuah benturan kencang terdengar, suara jeritan Alma yang terdengar jelas di telinga.
Dalam keadaan seuruh luka yang masih kebas, Galaksi mencari sosok Alma, gadis yang selama beberapa saat tadi masih berada dalam boncengannya saat itu sudah meringkuk di tengah jalan dengan kepala berlumur darah dan tulang kering yang patah.
Rasa bersalah itu, masih saja mampu mengepung dan menjebaknya. Bahkan sampai detik ini. Setelah beberapa tahun berlalu.
****