Mama tersenyum, walau matanya tidak bisa menyembunyikan haru. Tangannya bergerak meraih paper bag yang disimpan di atas meja. "Mama punya hadiah buat kamu." Lalu mengulurkan paper bag itu pada Helena. "Semoga kamu suka, ya. Salam dari Om Pras, tadinya beliau pengin banget ikut, tapi masih sibuk banget sama kerjaannya."
Helena mengintip hadiah pemberian Mama, lalu tersenyum saat menemukan sling bag berwarna marun di dalamnya.
"Suka?"
Helena mengangguk. "Suka, kok." Dia tetap tersenyum walau rasanya ingin sekali bilang bahwa ... di hari ulang tahunnya, tepat dua tahun yang lalu Mama sudah memberinya sling bag dengan merk dan warna yang sama.
"Kamu sibuk apa sekarang?" tanya Mama, tidak terlalu fokus karena saat Helena menjawab, seorang waitress menyajikan menu pesanannya. "Terima kasih."
"Aku sibuk ... gitu. Kuliah, terus-"
"Oh, iya. Mama udah bilang belum sih kalau kamu aka rencana pindah ke Bali?"
"Ya?" Helena mencoba mengartikan sendiri kata 'kami', tentu saja Mama, Om Pras, dan Lafea.
Mama berbicara dengan mata berbibar, seolah-olah tidak sabar dengan rencananya. "Iya. Jadi Om Pras mau buka bisnis di sana, terus Fea juga senang banget pas tahu rencana ini."
Tapi Helena tidak. Sebagian dalam dirinya menertawakan ucapannya sendiri tadi. Aku bahagia kalau Mama bahagia.
Terlalu mudah dia bicara, karena kenyataannya cukup sulit melakukannya.
"Keberangkatan kamu besok juga sekalian mau survei tempat tinggal baru di sana."
Kalau begitu, itu bukan hanya sekadar rencana, tapi Mama dan keluarga barunya sudah pasti akan pindah ke sana.
"Kamu kalau liburan semester boleh banget lho main-main ke sana, nanti Mama ajak kamu jalan sepuasnya." Mama memegang tangan Helena yang kini terasa dingin.
Selama Mama tinggal di Jakarta, yang jaraknya tidak begitu jauh saja, Helena sudah kesulitan menemuinya. Dan nanti, Helena hanya bisa menemuinya ketika liburan semester-yang bisa saja hanya akan menjadi sekadar wacana.
"Di sana, Fea juga bisa sambil fokus ke hobi surfing-nya. Dan, oh iya, Om Pras bilang, kalau kamu mau ikut ke Bali buat survei kali ini boleh banget. Gimana?"
Helena mengerjap pelan, lalu menunduk sejenak untuk menekan rasa sakit di pangkal lidahnya. "Jadwa kuliahku ..." Helena menelan ludah dengan denyut leher yang nyeri, "... lagi padat."
"Oh, oke kalai gitu lain kali aja." Mama tersenyum, menggoyang-goyang tangan Helena yang berada dalam genggamannya.
Helena bingung akan merespons bagaimana. Atau, detik ini seharusnya dia mengajak Mama mengorbrol tentang banyak hal, menceritakan tentang dirinya, tapi keinginan itu seperti sudah menguar ke udara.
"Mama pikir, kamu akan ajak Nathan. Dia sibuk, ya? Atau ada kuliah?" tanyanya. "Terakhir kali ketemu kita makan di--Eh, sebentar." Mama kembali sibuk dengan ponselnya. "Ya, halo?" Bahkan Mama tidak merasa perlu menjauh unutk menerima telepon. "Oke. Oh, begitu? Saya ke sana sekarang kalau begitu. Terima kasih>" Mama segera memasukkan ponselnya ke tas, "Helen, Mama harus pergi kayaknya. Pelatih renang Fea minta Mama datang sekarang, pasti mau membicarakan untuk tes pertama Fea. Nggak apa-apa?"
Tidak ada pilihan lain selain bilang, "Nggak apa-apa."
"Oke. Sampai ketemu, ya. Kabari Mama kalau kamu berubah pikiran untuk ikut ke Bali." Mama bangkit setelah meraih tasnya, lalu mencondongkan tubuhnya untuk mencium kening Helena. "I love you, salam dari Mama untuk Nathan, ya."
Helena hanya mengembuskan napas pelan.
"Jangan lupa dimakan." Mama menunjuk menu di meja yang baru Helena sadari, mereka sama sekali belum menyentuhnya. "Dah, Sayang."
Helena tidak merasa perlu repot menatap ke arah kepergian Mama. Selama beberapa saat dia terpekur, sendirian. OH tidak, dia tidak sendirian. Dia berkecamuk bersama list poin-poin obrolan omong kosong yang sudah dirancangnya semalam ketiak akan bertemu Mama.
Dan satu pun tidak ada yang sempat dia ucapkan.
Helena pernah membaca sebaris kalimat, "Jangan khawatir jika kedua orangtuamu bercerai, mereka hanya mencari kebahagiaan yang seharusnya. Yang perlu sedikit dikhawatirkan, saat mereka jatuh cinta dan menikah lagi, karena detik setelah itu, harus kamu tahu bahwa mereka bukan lagi 'hanya' milikmu."
Helena tersenyum sendiri, nyerinya malah semakin menjadi saat dia diam saja. Jadi, akhirnya dia mendorong tubuhnya untuk bangkit, menginggakan menu makanan yang sama sekali belum disentuh, keluar dari area Bakerzin dan berjalan melintasi outlet demi outlet tanpa tahu tujuan.
Setelah melewati sekitar lima outlet, ponsel dalam genggamannya bergetar. Nama Mama muncul di layar. Tanpa banyak menunggu, Helena membuka sambungan telepon dan menempelkan ponselmya ke telinga.
"Helen, tadi Mama ketemu Nathan. Dia lagi jalan sama perempuan yang dari sikapnya kayak bukan sekadar teman. Mama nggak samperin dia, karena buru-buru," ujarnya. "Kamu udah putus sama Nathan? Kok, nggak bilang-bilang Mama?"
Helena hanya menghela napas.
Lalu, "Helena?"
Suara itu memebuat langkah Helena terhenti, membuat lengan yang tadi menempelkan ponsel ke telinga jatuh ke samping tubuhnya. Tatapannya perlahan terangkat, menemukan sosok laki-laki yang dia akui sudah sangat dibencinya.
Nathan berdiri bersama Bianca di sampingnya.
"Aku boleh bicara berdua sama Helena?" tanya Nathan pada Bianca. Suaranya lembut sekali, seolah-olah meminta izin agar Bianca tidak salah paham.
Bianca mengangguk, berbalik dan berlalu begitu saja meninggalkan Helena dan Nathan yang masih berdiri di antara pengunjung yang berlalu-lalang.
"Helena, aku ... mau minta maaf," ujar Nathan. Raut wajahnya terlihat tulus, tapi Helena tidak mampu menerka apa yang sedang dia rasakan saat ini. Mungkin saja Nathan sedang tertawa karena berhasil membohonginya sampai hubungan keduanya berakhir dan bisa bebas mempublikasikan hubungannya dengan Bianca. "Atas ucapan aku e kamu terakhir kali. AKu cuma terllau nggak percaya kamu minta putus begitu aja."
Helena masih menatap Nathan dengan tangan yang kini sudah mencengkram sling bag-nya erat-erat, menahan diri untuk tidak memukul wajah laki-laki yang maish bicara itu.
"Tapi, akhir-akhir ini aku berpikir, mungkin ini memang jalan yang terbaik. Kita memang seharusnya berpisah." Nathan tersenyum, seolah-olah tengah mengajak Helena untuk berdamai. "Hubungan kita nggak harus dilanjutkan. Setelah putus dari kamu, aku sadar bahwa hubungan kita selama ini membosankan. Kamu terllau penurut. Aku butuh sesuatu yang menantang, dan kau mendapatkan itu dari seseorang yang sedang dekat dengan aku sekarang."
Sekarang? Dia masih saja berbohong. Jelas-jelas hubungan itu sudah berlangsung sejak dulu.
"Namanya Bianca," ujar Nathan, kentara sekali dia terlihat bahagia saat mengucapkan nama itu. "Dia yang membuat kau bisa melupakan kamu dengan cepat. Dan aku harap kamu juga begitu, bisa menemukan sosok yang tepat secepatnya."
Helena sungguh ingin memuji dirinya sendiri karena bisa bertahan untuk tetap berdiri di depan laki-laki itu tanpa menamparnya.
*
*
*