Di luar perkiraan, Galaksi malah menatapnya lebih serius salama beberapa saat lalu terkekeh. "lo kenapa, sih? Random banget."
Helena tidak mungkin mnegatakan hal yang sebenarnya, kan? Galaksi, lo ada hanya untuk bantu gue supaya nggak ingat Nathan lagi. "Lupain." Tangannya mengibas.
"Ini tentang naskah lo?" tanya Galaksi. "Lo butuh ciuman gue untuk naskah lo? Gitu? Gimana caranya cowok brengsek kalau lagi cium cewek?" Dia bisa menerkanya ternyata. Melihat Helena diam saja, laki-laki itu mengembuskan napas kasar, lalu berdecak kecil. Dia turun dari stool dan bergerak malas. "Lo pernah merasa butuh gue tanpa ada kaitannya sama naskah yang lo lagi tulis nggak, sih?"
Helena baru saha menggeser laptopnya agar sedikit menjauh saat tiba-tiba Galaksi menarik tangannya agar turun dari stool, dan detik berikutnya, Helena begitu terkesiap karena Galaksi mengangkat tubuhnya sampai terduduk di meja bar.
Dua tangan Helena otomatis memegang pundak Galaksi agar tidak terpelant9ing ke belakang. Sementara dua tangan laki-laki itu mengurung tubuhnya dengan wajah yang ikut terdorong ke depan.
Helena melepaskan tangannya dari pundak Galaksi dengan perlahan, seraya mengumpati dirinya sendiri yang terlalu berani bermain-main dengan Galaksi.
"Lo butuh jawaban noor dua puluh tujuh yang gue lewatin tadi?" tanya Galaksi. Dia sedikit menjauh karena berdiri dengan posisi tubuh yang tegaki, membuat Helena sedikit bisa menarik napas lebih banyak. Namun, hal yang selanjutnya terjadi adalah, tangan Galaksi menjauhkan kedua lutut Helena yang tadi saling merapat, lalu menempatkam tubuhnya di antara dua kaki Helena yang kini terbuka. Dia menarik pinggang Helena sampai dada mereka bersentuhan, dan tangan yang lain bergerak menangkup tengkuknya lembut. "Ini jawabannya," bisiknya.
Jarak wajah keduanya hanya terhalang lima jari, tapi Galaksi tidak kunjung bergerak lebih dekat. Ada senyum yang mengembang di wajah laki-laki itu di antara waktu gugup dan dingin yang ada. Perlahan tangan Galaksi melepas tengkuk Helena, bergabung bersama tangannya yang lain untuk mengusap pinggangnya. "Jangan pulang dulu. Gue ada rapat BEM. Satu jam. Nanti gue antar pulang."
****
Galaksi Bimantara :
Gue jadi berangkat sama anak-anak BEM. Cuma tiga hari, kok.
Helena Cellistine :
Iya, lagian kenapa mesti bilang-bilang, sih? Kita kan cuma teringkat kontrak perjanjian. Nggak jadian beneran.
Galaksi Bimantara :
Nanti ketemu lagi kok. Sabar, ya.
Helena Cellistine :
Bodooo.
Galaksi Bimantara :
I'll miss you more.
Helena Cellistine :
Sintiiiing.
Helena sempat mengumpat. Namun, setelah selasai mengetikkan balasan itu, tak elak dia tertawa sendirian. Sisa senyumnya lama sirna, sampai dia harus menggigit bibirnya sendiri untuk berusaha mengenyahkannya selama membaca pesan yang Galaksi kirim.
Saat tersadar dengan keadaannya sekarang, dia tertegun. Kenapa rasanya keadaan ini tidak asing? Dia pernah senyum-senyum senddiri saat membaca pesan dari seseorang, pernah begitu antusias saar dering ponselnya berbunyi menampilkan sebuah panggilan, juga ... pernah tiba-tiba membayangkan wajah seseorang saat sedang melakukan kegiatan apa pun.
Apakah dia sedang kembali jatuh cinta? Secepat itu?
Helena kemblai mengingat kejadian di pertemuan terakhirnya dengan Galaksi malam itu. Dia masih ingat bagaimana cara Galaksi menatapnya, menyentuhnya, berkata sesuatu dengan suara yang berat disertai seringaian tipis yang khas. Semua yang Galaksi lakukan, mampu membuatnya gemetar malam itu. Pun saat ini, hanya ketika dia kembali mengingatnya.
"Helen!" Suara Fadhil membuyarkan lamunan.
Helena beranjak dari teras belakang rumahnya, menghampiri Fadhil yang baru saja mengangkat jagung dari atas bara api, berjalan ke arah kursi-kursi yang disusun menghadap sebuah meja bundar di dekat pemanggang.
Di sana, sudah ada Jessy, Gista, dan Gibran yang menunggu. Lalu, kali ini Helen aikut bergabung. Mereka membuat acara sendiri ketika para cowok-cowok (Galaksi, Kai, Julian dan Arjuna.) membatalkan acara malam ini secara tiba-tiba-walaupun ya, Helena sudah tahu kabar itu dari Galaksi sebelumnya.
Acara malam ini juga terjadi tanpa rencana yang matang, mereka memilih rumah Helena karena kebetulan tidak ada siapa-siapa di sana. Papanya belum kembali dari Bandung dan belum memberi kabar pasti tentang kepulangannya.
"Hah, mereka pikir, kita nggak bisa bikin acara sendiri apa?" Gista masih menggerutu. "Seenaknya aja batalin acara gara-gara ada acara BEM."
"Mereka ada santunan ke panti asuhan gitu katanya, Ta," jelas Helena seraya meraih satu lembar tisu dari kotak di tengah meja. "Terus, katanya ada rencana mau bantuin bikin gazebo di belakang pantinya, buat pojok baca anak-anak gitu."
Jessy mengernyit. "Kok lo tahu banget?"
Helena baru saja akan menggigit jagung bakarnya, tapi gerakannya terhenti dan menatap keempat temannya bergantian. "Oh, iya."
"Oh, iya?" Jessy tidak terima dengan jawaban singkat itu, lalu menatap Helena dengan mata menyipit. "Kai cuma bilang mau ada kegiatan sosial di Serang, gitu doang. Gue nggak tahu detailnya soalnya."
"Oh ... Galakis. Yang bilang." Helena mulai menggigit jagung bakarnya demi menghindar tatapan teman-temanya yang kini pasti sudah menampakkan ekspresi penasaran.
Malam itu, Helena benar-benar menunggu Galaksi sampai selesai rapat BEM. Galaksi menepati janjinya, Helena menunggu satu jam di apartemennya, yang rasanya terasa singkat karena dia mneunggu sembari mengerjakan semua revisi dari Lexi. Bahkan, dia sudah berhasil menulis bab baru ketika Galaksi datang.
Helena baru tahu bahwa apartemen Galaksi ternyata lebih nyaman daripada yang dibayangkan ketika tengah sendiria dan hening. Apakah perlu dia sering datang ke sana mulai sekarang daripada harus mencaro\i-cari kafe yang cocok dan nyaman untuk mengerjakan tulisannya saat sedang suntuh mengerjakan di rumah?
Galaksi tentu tidak akan keberatan, tapi Helena harus berpikir berulang kali.
Gista menggigit jagungnya, lalu mengernyit. "Masih mentah ini, Dhil. Gimana, sih?!"
"Yeeee, udah gue bakarin juga!" Fadhil melotot.
"Tahu nih, ini daging panaggangnya juga masih ada yang mentah tahu!" Jessy menunjuk potongan daging dan paprika yang Fadhil panggang tadi.
"Mohon maaf, gue bukan Kai Si Ahli Panggang. Jadi ya udah lah terima aja, lagian acara ini kan kalian juga yang maksa, udah tahu tukang bakar-bakarnya lagi nggak ada." Fadhil masih membela diri.
Ya memang biasanya kalau ada acara bakar-bakaran begini, yang menjadi chef utama selalu Kai. Namun, dia memiliki banyak chef cadangan yang siap sedia menggantikannya seperti Julian, Galaksi dan Arjuna.
Jessy memilih tusukan-tusukan daging dan paprika dari piring. "Jangan sampai mereka tahu kalau hasil panggangannya gagal begini nih, bisa-bisa kita diketawain. Sok-sokan bikin acara tandingan."
"Mana Hartofan sama Haidar nggak jadi datang pula," imbuh Gista.
"Haidar lagi bucin-bucinnya sama Ika, kalau Ika nggak ikut, dia juga nggak. Hartofan ketahuan lagi LDR-an, galau melulu." Gibran geleng-geleng kepala seraya memereteli daging dari tusukan dan memisahkannya dengan paprika.
"Jadi ingat chat-nya Galaksi, yang sok-sokan bakal ikut kalau Helna ikut juga." Jessy tertawa. "Sumpah ya, Galaksi, geli banget gue dia jadi begitu."
"Jadi, lo sama Galaksi udah sejauh mana?" tanya Fadhil seraya menatap ke arah Helena.
*
*
*