Tunggu, Helena belum tidur pukul dua belas alam begini dan masih sibuk menanyakan ini-itu untuk kebutuhan tulisannya?
"Iya. Aku minta antar Pak Yanto ke sini, seoalnya besok pagi aku harus kembali ke Surabaya. Cuma sebentar kok, minggu depan balik lagi." Alma hendak mendekat ke arah Galaksi, tapi karena langkahnya yang belum terayun dengan normal dan seimbang, dia meninggalkan satu sandal merah di belakang tubuhnya. "Huruf H di alas sandal ini inisial? Atau merk?"
Galaksi baru mengangkat wajah setelah selesai mengotak-atik layar ponselnya untuk mengirimkan sebuah pesan.
Galaksi BImantara :
Iya, iya. Jangan tidur malam-malam.
Dia memilih untuk tidak menjawab perihal huruf yang tertulis di alas sandal merah itu. "Sekarang harusnya istirahat, ngapain ke sini?" Galaksi melihat Alma tersenyum, lalu melangkah menghampirinya.
"Mas Galaksi nggak pernah ke rumah Nenek selama aku di sini, selalu absen makan malam."
"Aku bilang Ibun-"
"Banyak tugas kuliah?" sela Alma.
"Gitu lah." Galaksi hendak duduk, tapi suara Alma menahannya.
"Aku sebenarnya punya kejutan."
"Apa?" Galaksi menatapnya gamang.
Alma tertawa, lalu mendekat dan menangkup dua siis wajah Galaksi. "Kalau aku kasih tahu sekarang, namanya bukan kejutan dong."
Galaksi menatap mata ALma yang balas menatapnya lembut. Mata itu tidak berbahaya, tidak pernah terlihat berkilat marah atau mengancamnya, tapi Galaksi selalu merasa was-was setiap kali keduanya harus bertemu tatap.
"Mas Galaksi punya pacar, ya?" tembaknya tiba-tiba.
Selama beberapa saat, hening menjeda. Lalu, Galaksi bersuara. "Kalau iya?"
Alma tersenyum semakin lebar, lalu menggeleng. "Ya, nggak apa-apa. Nggak peduli Mas Galaksi pacaran sama berapa banyak perempuan, yang penting nanti kan tetap sama aku." Dia melangkah lebih dekat dengan dua tangan yang terulus, lalu memeluk pinggang Galaksi dan menyandarkan wajah di dadanya. "Aku kangen tau."
****
Mama :
Kamu mau kado apa dari Mama? Kita ketemunya sehari sebelum ulang tahun kamu, ya? Soalnya, tepat di hari ulang tahun kamu, Mama harus pergi ke Bali untuk anyar Om Pras. Sampai ketemu, I love you.
Helena baru saja membaca pesan yang masuk ke ponselnya. Lalu membiarkannya sejenak karena dia selalu kebingungan untuk membalas pesan-pesan dari ibunya. Mereka jarang berinteraksi, bertemu sesekali jika Om Pras-ayah tirinya-tidak sedang bepergian ke luar kota. Karena jika Om Pras pergi, itu artinya Mama dan Chava ikut.
Setelah bercerai dengan Papa, dari pernikahan keduanya ini dengan Om Pras, Mama memiliki satu anak perempuan yang usianya terpaut sepuluh tahun dengan Helena. Chava baru kelas empat sekolah dasar sekarang.
"Jadi lo udah sedekat itu sama Galaksi?" Suara Jessy menyadarkan Helena bahwa sejak tadi dia duduk di sampingnya.
Ada satu mata kuliah lagi pukul lima sore nanti, masih satu jam lagi, yang membuat Helena tidak keberatan saat Jessy mengajaknya menunggu di ruang HIMA Fakultas Ekonomi. Tidaka ada orang di sana, hanya ada mereka berdua yang sibuk bersama kardus-kardus berisi peralatan inventaris HIMA.
Jessy tengah menggunting stiker untuk promosi seminar yang akan dilaksanakan oleh HIMA dalam waktu dekat.
"Galaksi nggak usah didengerin." Sejak tadi Helena membantu Jessy menggunting stiker kecil yang jumlahnya banyak itu. "Semalam gue memang sama dia, tapi nggak ngapa-ngapain."
"Nggak main jambak-jambakan rambut gemes gitu, ya?" Jessy mengerling.
"Apaan sih jambak-jambakan gemes?"
Tatapan Jessy menyipit, terlihat tidak percaya. "Chat semalam itu sekitar jam sebelas deh, dan lo masih di samping Galaksi?" Jessy mengernyit sendiri. "Helen,"
"Gue tahu sekarang lo mau nyeramahin gue lagi, kan? Tentang Galaksi yang begini dan begitu?" terka Helena. "Jessy,"
"Nggak, Helen. Nggak." Jessy menaruh gunting ke dalam kardus, lalu memutar posisi duduknya sehingga langsung berhadapan dengan Helena. "Kai bilang, lo udah dewasa dan tahu mana yang baik dan nggak baik untuk diri lo. Dan, ya gue sadar sih, gue terlalu protektif sama lo ketika lo dekat sama Galaksi. Jadi, sekarang gue mau bilang, selama dekat sama Galaksi bikin lo senang, gue bakal ikut senang juga."
Helena tersneyum. "Kedengeran kayak, gue baru aja dapat restu dari orangtua gitu, ya?"
"Ish, gue serius!"
"Iya, iya. Makasih, ya, Jessy."
Jessy mengangguk. "Yah, walaupun sampai saat ini gue belum bisa berbaik sangka sama Galaksi setelag lihat kondom sekards itu, tapi kalau dia bisa bikin lo senang, gue senang banget."
Helena tersenyum, lalu meraih dua sisi wajah jessy. "Ututut, manis banget."
Jessy berdecak. "Tapi," dia melotot. "Ada tapinya ya. Kalau dia macam-macam, gue yang bakal pukul dia pertama kali."
Helena hanya mengangguk, karena dia tahu tidak akan ada yang terjadi dia ntara dia dan Galaksi. Helena akan mnejaga dirinya, dan hatinya, walaupun tahu tindakan preventif ini sama sekali bertolak belakang dengan perjanjian yang telah disepakatinya dengan Galaksi.
"Helen,"
"Apa?" Helena masih menunduk, menyelesaikan satu potongan stiker yang diguntingnya.
"Jawab jujur, ya?"
Helena mendongak, menatap Jessy dengan raut bingung. "Kenapa?"
Jessy mendekatkan wajahnya, lalu bicara pelan. "Alasan lo putusin Nathan, bukan karena Galaksi, kan?"
Helena mengernyit.
"Galaksi bukan orang ketiga yang menyebabkan lo putus, kan?"
Helena tertawa singkat. "Jessy. Ya kali, ah! Gue tuh sayang banget sama ...," Nathan. Helena tidak melanjutkan kalimatnya. Walaupun dia mnegakuinya, Helena sangat menyayangi Nathan sampai rasanya tidak pernah ada niat untuk mengkhianati laki-laki itu selama ini.
Namun, ironinya, hanya Helena yang merasa demikian, sedangkan Nathan malah sebaliknya.
"Maksud gue, ya ... nggak mungkin gue berani kayak gitu." helena menggigit bibir bawahnya. Menahan diri. Untuk tidak mengatakan sedikit pun alasannya mengakhiri hubungannya dengan Nathan.
Jessy mengangguk. "Iya, sih. Gue tahu lo nggak mungkin kayak gitu," gumamnya. "Cuma ya, heran aja lo tiba-tiba putus sama Nathan, terus mendadak dekat lagi sama Galaksi, sementara kan selama ini yang gue tahu lo sama sekali nggak mau ada urusan lagi sama dia."
"Kan kali ini beda."
"Masalah riset?" Jessy satu-satunya yang emngetahui hal itu. "Jangan sampai lo nggak bisa keluar dari masalah yang udah lo bikin sendiri ya, Helen."
Helena mengangguk. Mengerti arti daru kalimat itu. Jatuh cinta pada Galaksi memang layaknya jatuh ke dalam sebuah perangkap.
Jatuh dan terperangkap sendirian.
"Eh, bentar lagi Kai mau ke sini, kan?" Helena bangkit, mengusap belakang roknya sebelum mengenakan sepatu yang tadi ditinggalkan karena dia duduk bersila bersama Jessy. "gue mau nemuin Galaksi dulu, ya?"
Jessy mengangguk. Sebelum Helena benar-benar keluar dari ruangan itu, Jessy kembali bersuara. "Helen!"
"Yap?" Helena yang baru saja akan keluar dari pintu segera berbalik. "Kenapa?"
"Ulang tahun lo sebentar lagi, kan? Mau hadiah apa dari gue?" tanyanya. "Jangan yang mahal-mahal!"
*
*
*