Chereads / Bahaya / Chapter 25 - Menahan Umpatan

Chapter 25 - Menahan Umpatan

Sebagian di dalam dirinya terus menerus protes, apakah perjanjian poin terakhir yang Galaksi ajukan sebanding dengan hasil riset yang nanti akan dia dapatkan dari Galaksi?

Dia mencoba menulis, tanpa bantuan Galaksi. Dan terbukti, dia mendapatkan revisi yang sangat mendasar dari Lexi. Lalu, apakah ini artinya dia sangat membutuhkan Galaksi?

Helena mengerang fristasi. Punggungnya bersandar ke sandaran kursi yang sejak tadi diduduki tanpa melakukan apa-apa. Kenapa akhir-akhir ini dia seringkali bingung atas keinginan dan keputusannya sendiri? Kecuali memutuskan untuk mengakhiri hubungan dengan Nathan tentu saja.

Helena masih mengetuk-ngetuk telunjuk di kedua sisi ponsel saat sebuah pesan hadir.

Galaksi Bimantara :

Gue udah sampai apartemen. Ngabarin aja. Takut lo khawatir.

Helena mengernyit geli. Momen itu mengingatkannya pada Nathan yang akan mengirim pesan singkat berbunyi demikian ketika sudah sampai di apartemennya selepas mengantarnya pulang.

Galaksi juga mengantarnya pulang tadi, tidak mendengar ucapan helena yang terus menerus menolaknya. Dia tidak keberatan sampai di apartemen sangat larut baru bisa beristirahat pada pukul dua belas malam begini, padahal seharian ini dia sibuk dan terlihat kelelahan.

Helena hendak menaruh ponselnya begitu saja, mengabaikan Galaksi. Namun, saat melihat kembali layar laptopnya, dia ingat pekerjaannya belum selesai. Dan oke, dia membutuhkan bantuan Galaksi saat ini. Jadi, dia akan mencoba berdamai dengan perjanjian yang membuatnya menyesal selama berjam-jam.

Helena langsung menekan nomor kontak Galaksi, meneleponnya.

"Halo?" sapa suara berat dari seberang sana.

"Gal?"

"Udah kangen aja?" Galaksi bertanya tanpa terdengar membuatnya menjadi lelucon.

Ada sedikit sesal ketika harus menghubunginya lebih dulu. Namun, "Lagi apa?" Helena mencoba kembali berdmai dengan dirinya sendiri yang sudah menyetujui perjanjian itu beberapa jam yang lalu.

"Lagi apa banget nih nanyanya?" Galaksi terkekeh pelan. "Pacaran beneran aja nggak sih?"

"Kalau lo lagi sibuk, gue tutup ya."

Galaksi masih tertawa. "Habis mandi. Diem sebentar. Terus sekarang ... lagi ngerjain tugas aja, kenapa?"

Lho? Nggak makan? Pertanyaan itu hampir saja keluar dari bibirnya, tapi beruntung Helena segera sadar. Pertanyaan itu terdengar terllau intin untuk dua orang yang tidak punya hubungan apa-apa.

"Oh, ngerjain tugas." Helena tahu tugas-tugas Galaksi tidak bisa dikerjakan sambil mengerjakan hal alin, jadi untuk malam ini sepertinya dia harus mengalah. "Gue ganggu waktu lo dong ya kalau gitu."

"Nggak kok. Ambil semua waktu gue. Silahkan."

"Apaan, sih?" Helena malah tersenyum tanpa sadar. "Gal?"

"Hm?"

"Normalnya, kalau ngedeketin cewek, lo ngapain?" tanya Helena. "Cari perhatian gitu, atau ... gimana? Tapi ini buat cewek yang bener-bener lo suka ya."

"Tiba-tiba nanya gitu?"

"Sesuai perjanjian ya, lo harus-"

"Bersifa kooperatif," sela Galaksi.

"Jadi?"

"Normalnya." Galaksi mengulang apa yang Helea ucapkan. "Normalnya ya ajak jalan."

Helen mendecih. "Biasa banget nggak, sih?" protesnya. "Lo tuh objek riset ya, yang berguna dikit dong jawabnya."

"Kan, lo tanya 'normalnya'. Normalnya ya gitu, jalan, nonton, makan. Emang gimana lagi? Nggak mungkin langsung ciuman sama make out, kan?"

Helena hampir saja mengumpat.

"Tapi, Helena. Dengar gue, se-player apa pun cowok, kalau lagi beneran jatuh cinta, itu pendekatannya mendadak nggak normal," lanjut Galaksi. "Kayak ... nggak terencana, random."

Helena bangkit dari kursi, lalu berjalan dan duduk di tepi tempat tidur. "Lo bisa gitu juga?"

"Helen, gue ini manusia walaupun seringnya Fadhil sebut gue buaya."

Helena tertawa, lalu menjatuhkan punggungnya begitu saja ke tempat tidur. "Sebutin dong hal random yang pernah lo lakuin buat cewek yang lo suka."

"Jadi cewek gue aja nggak, sih? Biar bisa gue randomin langsung?"

Jika sebelumnya Helena akan mengumpati Galaksi, kali ini dia malah berdecak. "Emang lo pernah beneran suka sama cewek, ya?"

"Pernah lah." Galaksi terdengar yakin. "Selama sembilan belas tahun gue hidup, nggak pernah suka sama cewek, ya bohong banget."

"Yang bener-bener lo suka ya maksudnya."

"Lo membangun image lo buat bikin orang nggak percaya kalau lo pernah sungguh-sungguh suka sama cewek. Jangan salahin gue." Terutama pengalaman yang pernah dilewatinya sendiri. Dia tidak menunggu Galaksi protes. "Terus hal paling random yang pernah lo lakuin apa?"

Selama beberapa saat hanya terdengar gumaman Galaksi yang mendengung dari balik speaker ponsel. "gue seneng ketika lihat dia bereaksi terhadap apa yang gue ucapkan. Kayak ... penilaian atau respons dia itu penting banget buat gue," jawabnya. "Tapi ya, karena gue suka cewek yang seringnya ngelamun sendirian di tengah keramaian teman-temannya, gue kadang kayak caper sendiri terus dia nggak sadar sama tingah gue sih."

Helena tertawa puas dalam hati. "Gal, dia nggak suka sama lo. Lo suka sama cewek yang salah."

"Oh, ya? Wah."

"Kalau dia suka sama lo, jangankan saat lo bicara, lo baru datang aja semua perhatian tuh bakal tertuju ke lo."

"Tapi gue pernah cium dia. Terus, dia diem aja. Itu artinya nggak suka juga?"

Itu artinya dia kaget dan lo brengsek. Helena sampai kesulitan menelan air ludahnya ketika berusaha menahan kalimat itu agar tidak meyembur untuk mengumpati Galaksi. "Beruntung lo nggak digampar, ya," gumam Helena dengan bibir yang tiba-tiba menipis.

"Iya, sih," gumam Galaksi. "Tapi setelah itu gue malah makin suka sama dia." Ucapannya tidak butuh tanggapan. "Karena habis itu dia sok-sokan dorong dada gue. Gemes gitu nggak, sih?"

****

Helena Cellistine :

Gue bikin kuesioner aja deh buat lo isi. Nelepon lo cuma buang-buang waktu.

Galaksi tertawa kecil saat Helena tiba-tiba mematikan sambungan telepon di seberang sana, lalu mengirimkan sebuah pesan singkat yang terkesan kesal. Ponselnya kembali ditaruh di atas meja, bersamaan dengan tumpukan tugas yang sejak tadi diabaikan karena telepon dari Helena.

Galaksi baru saja membenarkan posisi duduknya di sofa, hendak membungkuk dan kembali menekuri kertas-kertas di meja sampai dini hari, seperti biasa. Namun, di luar ada seseorang yang menekan bel pintu apartemen.

Galaksi menghela napas perlahan, lelah seperti sudah bisa menebak siapa sosok yang kini berdiri di belakang pintu.

Seharian dia mengabaikan pesannya, perempuan itu, Alma.

Galaksi, membuka pintu apartemen, disambut semringah Alma. "Nggak balas pesan aku?"

Galaksi memberi ruang pada Alma untuk masuk. Perempuan itu melepas sandalnya dan menggantinya dengan sandal rumah berwarna merah yang baru saja Galaksi beli lewat salah satu marketplace. "Baru ya ini sandalnya?" gumamnya.

Galaksi hanya mengangguk, menutup pintu di belakangnya, lalu mengikuti langak Alma yang kini bergerak masuk. Dia menyaksikan bagaimana meja dan sofa begitu beratakan oleh kertas yang berserakan, jadi memilih berbelok ke arah pantri. "Pantas nggak balas chat aku, sibuk banget, ya?"

Galaksi hanya menggumam. "Kok, malam-malam ke sini?" Dia melirik jam dinding, mendapati sekarang sudah pukul dua belas malam.

*

*

*