Jaya yang tengah dipusingkan oleh banyak pekerjaan, jadi semakin jengkel oleh perkataan para karyawannya. Padahal, semua dari mereka tersenyum ramah, saat bersisian di koridor perusahaan dengan dirinya. Siapa sangka, kalau di balik ramah tamah mereka, tersimpan sikap munafik.
Rubi memang sangat mencintai almh bundanya. Oleh karena itu, Jaya membiarkan ia mengenakan seluruh gaun peninggalan orang tuanya tersebut. Jaya tak pernah mempermasalahkan apabila Rubi kelihatan jauh lebih tua dari aslinya. Selagi wanita itu bahagia, maka Jaya pun akan turut merasakan.
Sialnya, cibiran para karyawan kantor membuat ia mendapatkan rasa malu yang luar biasa. Tanpa mereka sadari, hal ini justru menurunkan wibawa Jaya sebagai CEO perusahaan, mengingat Rubi adalah istrinya sendiri. Pria yang dihadiahi oleh hinaan tersebut, lantas saja menyapu seluruh perkakas di mejanya hingga terjungkal di lantas. Jaya emosi. Benar-benar tidak tahu diuntung para karyawan yang sudah ia pekerjaan di kantornya.
"Apa lagi yang mereka katakan selain itu, hem?" tanya Jaya. Ia tak mampu membendung kebencian.
Walaupun Leo tahu pada akhirnya akan menjadi seperti ini, namun setidaknya ia sudah lega karena tidak merahasiakan sesuatu dari bosnya sendiri. Leo mendapati sorot tajam Jaya. Pertanda bahwa lelaki itu benar-benar tersulut api.
"Yang saya dengar hanya itu, Pak," ucap Leo seraya agak membungkuk.
"Siapa orang pertama yang sudah menyebar berita ini?"
Jaya sudah tidak tahan. Ia menanggung kesal sekaligus malu atas perlakuan kurang ajar dari karyawan kantornya. Tak ada toleransi. Hari ini juga, Jaya memutuskan untuk memecat sosok penyebar gosip tersebut. Tak peduli siapapun dan apapun jabatannya di sini.
"Gea, Pak. Sekretaris Bapak sendiri,"
"APA?!"
Namun keterkejutannya semakin bertambah, tatkala Leo sang asisten pribadi mengungkapkan siapa sosok keji tersebut.
Gea. Sosok wanita yang sudah membersamainya kurang lebih selama empat tahun belakangan ini. Seorang pekerja yang ia angkat menjadi sekretaris perusahaan karena kegigihan serta tanggung jawabnya dalam melaksanakan tugas. Akan sangat sulit bagi Jaya menerima semuanya. Pria itu mendadak kehilangan rasa percaya.
"Apa kau yakin?" titah Jaya, masih agak ragu.
"Benar, Pak. Awalnya kayawan hanya memendam sendiri meskipun mereka sempat melihat istri Bapak. Hanya saja, Gea menggembar-gemborkan apa yang mereka lihat. Dan, jadilah semua karyawan terikut," jawab Leo yang sempat bertanya pada salah satu pekerja terjujur di sana.
Kembali teringat bahwa Gea merupakan perempuan yang pernah menjadi idola bagi Jaya karena ketekunannya dalam bekerja. Sangat disayangkan, sosok pintar lagi bijaksana seperti dia, ternyata memiliki kepribadian buruk yang terpendam. Jaya merasa beruntung karena Leo sudah memberitahunya soal kejadian ini. Kalau tidak, Jaya akan selamanya bekerja sama dengan seorang pengkhianat.
"Empat jam lagi kumpulkan semua karyawan,"
"Baik, Pak,"
Jaya terlanjur bertekad untuk membuang siapa saja yang sudah mencemari nama buruk istrinya. Meskipun Gea merupakan sekretaris multi talent, namun tidak menjadikan ruang maaf Jaya akan terbuka. Rubi di atas manusia manapun setelah kedua orang tua Jaya. Ia tak akan segan-segan bertindak nekat pada setiap orang yang dengan berani menyentuh istrinya tersebut. Baik secara fisik maupun perkataan.
***
Memasuki ingatan akan peristiwa tadi malam, membuat seisi hati Rubi kembali berbunga-bunga. Setelah ini, ia berjanji akan menjadi istri yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Ia tidak boleh mengecewakan Jaya barang sedikit pun. Sekarang, Rubi benar-benar percaya jika suaminya itu mencintai dirinya.
Rubi teringat akan kertas bertuliskan keinginan dalam rumah tangga yang beberapa bulan lalu sempat ia tulis bersama Jaya. Rubi telah mengatakan bahwa mereka akan membuka halaman tersebut di hari ulang tahunnya. Seharusnya tadi malam, tapi saking bahagianya, Rubi sampai lupa menunaikan perjanjian yang telah mereka sepakati.
Mumpung jam makan siang tiba, Rubi berinisiatif untuk menghubungi Jaya. Ia meraih benda gepeng di atas nakas, kemudian mendial kontak suaminya. Tanpa menunggu waktu lama, panggilan langsung tersambung.
"Hai, Sayang. Ada apa?" suara Jaya terdengar dari tempat lain.
"Mas sedang istirahatkan? Apa aku menganggu?"
"Oh, tentu tidak," Jaya tersenyum miris. Ia jadi teringat dengan Gea yang sudah dengan kejam menyebarkan cibiran terhadap Rubi.
"Apa kau masih ingat kalau kita pernah menuliskan keinginan dalam rumah tangga tiga bulan lalu?"
Jaya memandang tembok kosong di depannya sambil berpikir. Sejurus kemudian, ia mengangguk sambil mengiyakan pertanyaan Rubi.
"Kita sudah sepakat akan membukanya tepat di hari spesialku. Kita lakukan nanti malam setelah kau pulang bekerja, ya,"
Deg!
Konsentrasi Jaya terpecah sesaat setelah Rubi berkata demikian. Nanti malam? Ah! Bahkan pria itu lupa kalau ia pernah membuat janji dengan istrinya. Ia mengira bahwa kertas itu akan dibuka suatu saat nanti. Persis seperi apa yang telah dilakukan oleh mendiang orang tua Rubi. Jaya jelas tidak terima. Sepasang netranya membola sempurna. Ia sudah menuliskan sesuatu yang akan membuat hati Rubi sakit apabila membacanya. Bagaimana mungkin mereka harus membukanya malam ini juga?
"Mas. Apa Mas mendengarku?" tidak ada jawaban dari sang suami, membuat Rubi kembali bersuara.
Sepertinya Jaya akan berada dalam masalah besar.
"Eum. Kenapa terlalu cepat? Akan lebih baik kalau kita membukanya nanti-nanti saja," Jaya berusaha menghindar.
"Mas kan sudah berjanji padaku. Apa Mas tega jika mengingkari janji itu?" suara Rubi terdengar parau.
Jaya menarik napas dalam. Ia tidak sampai hati pada istrinya sendiri. Namun di sisi lain, akan lebih berbahaya apabila Rubi mengetahui coretan di kertas tersebut. Dapat dipastikan bahwa rumah tangganya akan diterpa badai masalah. Tidak. Jaya tak ingin kalau sampai hal itu terjadi.
"Ehm, baik lah. Kita akan membukanya malam ini. Kalau boleh tahu, di mana kau simpan kertasnya, Sayang?"
Setelah berkutat dengan pikiran, akhirnya Jaya memutuskan untuk memenuhi janji yang sebenarnya sempat ia lupakan.
"Di lemari pakaian kita,"
"Baik lah. Jangan kau buka sebelum Mas pulang, ya,"
"Baik, Mas,"
Setelah mendapatkan persetujuan dari Rubi, Jaya mohon pamit mengingat pekerjaannya yang sebentar lagi harus dilanjutkan. Terpaksa ia menyetujui permintaan istrinya, karena tak ingin membuat wanita itu kecewa.
"Aku harus menemukan kertas itu terlebih dahulu," sebuah ide muncul dalam kepala.
Di tempat lain, Rubi kembali meletakkan ponsel setelah obrolannya dengan sang suami berakhir. Dia sebenarnya sudah tidak sabar mengetahui keinginan Jaya untuk rumah tangga mereka. Bahkan Rubi sudah berencana akan membuat menu makan malam spesial khusus hari bahagianya.
Berbagai jenis hidangan telah tersusun rapi dalam kepala Rubi. Tak lupa ia meminta agar sang sopir mengantarnya ke pasar guna membeli bahan-bahan makanan. Rubi juga tidak mengizinkan Mbok Ijah untuk membantunya di dapur. Malam ini, Jaya akan menyantap hasil racikan tangannya sendiri.
Dengan percaya diri, Rubi mulai mencincang daging kemudian memasukkannya ke dalam kuali untuk diungkep. Selanjutnya, ia memotong sayuran sebagai tambahan agar sup daging sapinya semakin lezat. Tidak ada kelelahan barang sedikit pun. Rubi melakukan semua ini dengan ikhlas.
Setelah nyaris dua jam berkutat dengan alat serta bahan-bahan makanan. Akhirnya, sup daging sapi buatan Rubi telah selesai dan siap dihidangkan. Tak lupa ia menambahkan berbagai jenis makanan lain serta pencuci mulutnya. Jaya akan bahagia setelah melihat semua ini, pikir Rubi.
Semua sudah beres. Kini, saatnya ia membersihkan tubuh guna menyambut kepulangan sang suami. Rubi kembali ke kamar dan meraih sebuah gaun bercorak bunga tulip di dalam lemari. Namun, tanpa sengaja tangannya menyenggol sebuah kotak yang terselip di sisi lipatan gaun tersebut. Rubi kaget karena dalam waktu yang bersamaan, kotak persegi itu jatuh sehingga membuat isinya berhamburan di atas lantai.
CRANG!
"Oh, ya ampun,"
Wanita bertubuh mungil itu merutuki kebodohannya. Wadah berwarna marun yag berisi kertas keinginan ia dan suaminya sudah nungging di kaki lemari. Rubi membungkukkan badan, berusaha meraih dua lembar kertas tersebut. Sialnya, tanpa disengaja, sepasang netranya menangkap tulisan di atas kertas yang sudah terlanjur terbuka itu.
Deg!
Rubi diam seribu bahasa. Pemandangan seperti apa yang tengah ia saksikan saat ini? Sementara itu, ia memegangi dadanya yang seakan dihujam oleh batu besar. Sebuah kertas bertuliskan keinginan agar rumah tangganya direstui oleh Anti, membuat jantungnya terpompa lebih keras.
Rubi spontan terduduk di lantai. Untuk pertama kalinya, ia merasakan kekecewaan dalam rumah tangga.
"Jadi, selama ini Mama tidak merestui pernikahan kami?"
***
Bersambung