Jaya melirik ponselnya yang senantiasa mengeluarkan nada panggilan. Tidak biasanya Rubi mengabaikan telepon suaminya sendiri. Pria itu semakin ketar ketir. Hari beranjak malam, namun Rubi tak kunjung ditemukan.
Kesal karena panggilannya tidak direspon, akhirnya Jaya mengirimkan beberapa pesan untuk istrinya tersebut. Ia berharap bahwa Rubi akan membacanya dan mengindahkan pertanyaan Jaya tentang keberadaan dirinya.
Setelah itu, Jaya turun dan kembali mengumpulkan para pekerja yang berada di rumah.
"Di mana terakhir kali kalian melihat Rubi?" tanya Jaya sambil mengedarkan pandangangan ke arah tiga manusia di depannya itu.
Baik Mbok Ijah, sopir, dan satpam saling melempar pandang.
"Saya, Den. Non Rubi tadi siang masak di dapur dan ga mau dibantu oleh Mbok. Setelah itu saya tidak tahu ke mana Non Rubi lagi," balas perempuan tua tersebut dengan nada cemas.
"Rubi hilang. Mbok Ijah pergi bersama sopir untuk mencari keberadaan istriku. Sedangkan satpam, tunggu saja di sini. Siapa tahu Rubi kembali,"
"APA?!"
Ketiga manusia itu melafazkan kata yang sama. Bukannya Rubi tampak senang sejak kemarin? Lalu, kenapa malam ini sudah hilang saja?
Tanpa menunggu lama, akhirnya Mbok Ijah dan sopir gegas pergi guna mencari keberadaan majikan mereka tersebut. Kemudian, disusul oleh Jaya yang mengambil arah lain.
Purnama sukses menampilkan pijar terbaiknya untuk menerangi bumi. Satu dua burung hantu tampak bertengger di ranting pohon. Jalanan begitu macet. Menghadirkan kekesalan di setiap hati pengendara.
Berulang kali Jaya memukul kemudi mobil. Matanya menyapu seluruh jalanan. Satu kata yang tak pernah terlintas di pikiran Jaya, "perpisahan." Namun, sepertinya ia benar-benar mengalami hal itu kali ini.
30 menit berlalu. Jaya nyaris putus asa. Dia sudah seperti manusia yang kehilangan kewarasan. Kota ini tidak lah kecil. Bukan perkara mudah mencari keberadaan istrinya tersebut.
Bahu Jaya kian menegang. Jiwanya meronta-ronta, mempertanyakan di mana perempuan itu. Jaya benar-benar bisa menebak, bahwa Rubi telah mengetahui tentang Anti yang tidak merestui pernikahan mereka.
"Sepertinya aku butuh bantuan Papa untuk hal ini," sebuah ide terlintas dalam kepala.
Jaya tak mungkin bisa melakukannya seorang diri. Dia harus menelusuri setiap gang terkecil sekalipun. Siapa tahu Rubi terselip di sana. Oleh karena itu, Jaya memutuskan untuk menyambangi rumah orang tuanya guna meminta bala bantuan. Tidak peduli jika pada akhirnya, urusan rumah tangganya diketahui oleh pihak lain. Toh, dia juga tidak melakukan kesalahan apapun. Rubi pergi karena mengetahui bahwa pernikahannya tidak disetujui oleh Anti.
Pria bernasib malang itu sudah sampai di rumah Hardi. Cepat-cepat ia melangkahkan kaki dan mendapati keluarganya sedang berada di meja makan. Anti menekuk alis, saat menyaksikan putranya mendadak hadir tanpa kabar. Wajah Jaya terlihat kusut. Dadanya naik turun. Lelaki jenjang itu tergopoh-gopoh menuju meja makan.
"Jaya, ada apa? Kenapa kau datang tiba-tiba? Dan, wajahmu?" rentetan pertanyaan dihaturkan oleh Anti.
Langkahnya terhenti. Tidak tega mengganggu acara makan keluarga tersebut. Dengan berat itu mengatur napas, mengembalikan ekspresi paniknya hingga tak terlihat. Jaya menggeleng, lalu beranjak ke ruang tengah. Sengaja ia menunggu agar keluarganya menyelesaikan kegiatan pengisian lambung tersebut.
Hardi yang merasa bahwa putranya sedang menanggung beban, lantas saja beranjak sebelum nasi di piringnya tandas. Ia duduk di sebelah Jaya dan tanpa basa basi langsung mempertanyaan keadaan lelaki itu.
"Kau tampak aneh. Ada apa?"
Jaya sedikit bergeser, lalu menyorot netra sang Papa. Terpancar kekhawatiran di sana. Selanjutnya, tampak Anti dan Melani juga ikut menyusul. Keduanya juga belum sempat menghabiskan nasi serta lauknya.
"Rubi kabur dari rumah,"
Deg!
Inilah risiko berumah tangga. Bukan hal tabu lagi saat seorang istri meninggalkan kediamannya tanpa izin suami. Namun, hal yang menjadi tanda tanya besar bagi tiga pasang telinga yang mendengar tersebut adalah mengapa perempuan itu bisa lari. Apa mereka sedang bertengkar?
"Kenapa bisa?" Hardi yang kelihatan paling shock.
Jaya tak ingin berlama-lama. Akhirnya, dia menceritakan bagaimana awal mula kejadian yang sebenarnya. Wajah Anti spontan memerah. Tidak terima jika Rubi kabur akibat ulah dirinya.
"Lagipula, ngapain pakai acara buat keingingn dalam rumah tangga seperti itu, sih? Kalian ini bukan anak kecil lagi," selanya di tengah-tengah perkataan Jaya.
Jaya bukan tipe orang yang suka berdebat, karenanya dia terus melanjutkan cerita tanpa memedulikan cibiran Anti. Tak lupa, Jaya meminta bantuan pada Papanya untuk ikut serta mencari keberadaan Rubi. Malangnya, hal itu ditolak mentah-mentah oleh Anti.
"Tidak bisa. Ini sudah malam dan besok Papamu harus kerja. Lagipula, suruh siapa perempuan itu kabur. Sudah jadi risiko dia kalau terjadi sesuatu yang buruk," Anti memanjangkan bibir, agak senang karena Rubi menghilang dari rumah.
"Iya. Kalau dia memang sayang dengan Mas Jaya, pasti dia tidak akan kabur. Seharusnya dia berusaha untuk mengambil perhatian Mama," ucap Melani yang kini ikut nimbrung.
"Kalian ini apa-apaan sih? Tidak baik seperti itu," Hardi mengingatkan.
Kepergian Rubi sungguh membuat risau semua orang. Entah kenapa dara itu tidak menunggu penjelasan dari suaminya sendiri. Terlalu ceroboh jika Rubi memutuskan untuk kabur dari rumah. Kota yang begitu luas, pastilah menyimpan banyak penjahat di dalamnya. Bagaimana kalau Rubi diculik orang tak dikenal? Atau, ada oknum yang sengaja mengambil manfaat dengan menjadikan Rubi sebagai wanita malam. Tidak. Jaya tak ingin kalau hal itu terjadi pada wanita yang begitu ia cintai.
"Sudahlah. Ayo, Pa. Kita harus menemukan Rubi malam ini juga," Jaya sama sekali tak peduli dengan perkataan Anti dan Melani.
"Tidak bisa! Papa harus tetap di rumah. Biarkan saja wanita itu di luar sana. Salah dia sendiri kenapa pergi,"
Suara Anti semakin meninggi. Parahnya, kini dia mencengkram pergelangan tangan Hardi dengan erat. Tak lupa Melani juga turut membantu. Kedua perempuan itu terlampau menginginkan Rubi dalam bahaya rupanya.
"Ma, jangan seperti ini. Tolong lah," titah Jaya seraya melepas genggaman tangan Anti.
"Masuk ke kamar atau aku akan berteriak!"
Anti semakin kesal. Dia bahkan berani mengancam suaminya sendiri. Sudah terlalu makan hati, karena perhatian Hardi tumpah pada Rubi. Anti tak ingin suaminya ikut terperangkap dalam masalah yang menantunya itu ciptkan sendiri.
Lalu, Anti dan Melani menyeret paksa lelaki bertubuh tegap itu untuk masuk ke kamar. Dari raut wajahnya, tampak sekali ibu dan anak tersebut menyimpan dendam.
"Ayo, masuk!" lagi-lagi Anti berteriak.
Melihat istri dan putrinya yang semakin bertingkah konyol, membuat Hardi menjadi jengah. Dengan terpaksa ia menangkis tangan Anti dan Melani, sehingga mereka nyaris saja tumbang ke lantai.
"Kalian ini manusia macam apa? Bisa-bisanya saudara sendiri hilang malah dibiarkan. Kalau terjadi sesuatu dengan Rubi, bagaimana? Dia pergi juga karena shock saat tahu pernikahannya tidak disetujui,"
Krak!
Mulut dan mata Anti terbuka lebar, setelah mendengar penuturan suaminya barusan. Berulang kali ia memejamkan mata. Berusaha agar cairan asin itu tidak sampai menetes. Hardi mengucapkan kalimat yang menggores hati Anti. Agaknya, pria itu lebih mementingankan Rubi daripada istrinya sendiri.
"Ayo, Nak," ucap Hardi pada Jaya, setelah berhasil membuat dua wanita itu mendadak jadi patung.
***
Bersambung