"Intinya aku membenci anak itu. Dia tidak pantas berada di keluarga kita," ujar Anti penuh penekanan.
Pagi ini sebelum berangkat kerja, Hardi menyempatkan diri untuk memberikan wejangan pada istri dan anaknya. Awalnya Hardi berkata lemah lembut, tapi karena Anti melawan maka keduanya kembali terjerat perdebatan.
"Betul. Aku juga tidak menyukai perempuan kampungan itu," tambah Melani yang juga hadir di sana.
"Kalian jangan egois. Aku tahu yang terbaik untuk putraku. Apa kalian pikir aku tidak tahu kalau wanita di luaran sana hanya menginginkan harta kita?" sangkal Hardi kesal.
"Aku sudah menuruti permintaan Mas agar Jaya menikah dengan Rubi, tapi jangan pernah memintaku untuk menyayangi anak itu. Aku tak akan sudi!" Anti tak juga mengalah dengan keadaan.
"Aku juga," imbuh Melani sambil memanyunkan bibir.
"Ah! Terserah kalian sajalah. Aku sudah lelah mendidik kalian berdua. Jangan pernah mengusik kehidupan Rubi atau seluruh fasilitas kalian akan kutarik,"
Hardi melenggang pergi setelah memberi ultimatum kepada Anti dan Melani. Ia tak ingin memperpanjang perdebatan mengingat jam kerja sudah tiba.
"Lihat Papamu itu! Dia lebih memilih Rubi ketimbang kita," ujar Anti seberes kepergian suaminya.
"Iya, Ma. Entah apa keistimewaan Rubi si gadis kampung," sungut Melani geram.
Bola mata Anti berputar sebelum akhirnya ia berkata, "Mama tahu!"
Anti pun menempelkan bibirnya di telinga Melani. Keduanya tertawa geli dan saling menganggukkan kepala.
"Ayo, kita pergi sekarang!" Anti menarik pergelangan tangan putrinya.
***
Dor! Dor! Dor!
"Rubi, buka pintunya!"
Anti dan Melani telah berpindah posisi. Saat ini mereka berdiri di ambang pintu rumah Rubi.
"Perempuan sialan, keluar kau!" bentak Melani. Tangannya tiada henti menggedor pintu.
Cklek…
"Mama?"
Rubi terkejut bukan main ketika melihat siapa yang datang ke kediamannya. Dapat ditebak bahwa Anti dan putrinya akan membuat perhitungan pada Rubi. Jantung wanita itu mendadak tidak normal. Berbagai spekulasi bermain dalam kepala. Apakah Anti akan mengusirnya sekarang?
Plak!
"Aaaargh!"
Sebuah tamparan mendapat di pipi kiri Rubi.
Wanita malang itu sangat terperanjat. Anti memberinya hadiah tanpa aba-aba. Rubi spontan mengusap pipinya yang memerah. Sementara itu, Melani kelihatan menahan tawa dengan menutup mulutnya.
"Untuk apa kau membuat drama, hah?" teriak Anti.
"Mama, aku tidak mengerti maksudnya,"
"Jangan pernah panggil aku Mama. Panggil aku Nyonya, sialan!" Sepasang alis Anti saling bertubrukan. Ia sangat membenci panggilan Rubi untuknya.
"Ma- maaf, Nyonya,"
"Semua ini karena ulahmu." Melani menambahi.
"Aku tidak mengerti maksud kalian," balas Rubi penuh penekanan.
Anti dan Melani menyembulkan diri ke dalam rumah tanpa permisi. Melani mendorong bahu Rubi dan memberi isyarat agar Rubi mengikuti mereka. Sedangkan Anti mengunci pintunya rapat-rapat.
"Mas Hardi marah kepada kami. Semua ini karenamu, Rubi! Kenapa kau harus kabur dari rumah? Dasar kampungan!" Anti mengetuk dahi Rubi dengan buku-buku jarinya.
"Kami memang tak pernah menyukaimu," titah Melani ketus.
Glek!
Rubi menelan air liurnya susah payah. Ia mencium bau-bau penyiksaan di sini. Sayangnya Jaya sudah pergi, membuat Rubi tak dapat mengadu pada siapa-siapa. Di sisi lain, beberapa pekerja di sini tak akan mampu berbuat apa-apa selain menyimpan rahasia. Mereka tak ingin bernasib buruk jika mengadukan hal ini pada Jaya maupun Hardi.
"Ma- maafkan aku, Nyonya. Aku syok." Rubi bingung harus mengatakan apa.
"Ah, alasan! Kami tidak terima dan kami akan membuat perhitungan padamu," ucap Anti.
"Dengar ya, Rubi! Hari ini kau harus menuruti semua permintaan kami. Jika tidak, kau akan rasakan sendiri akibatnya." Melani menempelkan kedua tangannya di pinggang.
"Sekarang kau pergi ke pasar tanpa kendaraan. Beli bahan-bahan masakan yang banyak," ujar Anti.
"Untuk apa, Nya?" Tentu saja Rubi bingung dengan hukuman yang diberikan oleh mertuanya.
"Jangan banyak tanya, bodoh!"
Tak perlu menunggu ocehan Anti dan putrinya lagi, Rubi langsung keluar rumah. Ia tidak tahu maksud Anti. Dia hanya berusaha agar mertuanya tidak marah-marah lagi.
30 menit berselang, Rubi pun sampai di sebuah pasar perbelanjaan. Napasnya terengah-engah karena berjalan di bawah teriknya mentari. Ia benar-benar menuruti perkataan Anti untuk tidak menggunakan transportasi.
Rubi memilih segala jenis sayur dan daging yang masih segar. Ia mulai kesulitan untuk membawa banyak barang. Mata Rubi berkelebat untuk mencari jasa pembawa barang dan sayangnya ia tak menemukan sosok itu.
Setelah selesai berbelanja, Rubi pun kembali ke rumah dengan berjalan kaki. Sekujur tubuhnya dipenuhi oleh keringat. Bau asam sudah tersebar ke mana-mana.
Krit…
Rubi membuka pintu rumah.
"Hahaha. Panas, kan?"
Tawa Anti dan Melani menghiasi seantero rumah. Keduanya duduk di sofa sambil menikmati jus dan membaca majalah. Rubi mengantarkan barang-barangnya ke dapur.
"Masak!" perintah Anti dari depan.
Belum sempat Rubi bernapas, tapi Anti sudah memintanya untuk melakukan hal lain. Perkataan Anti ditangkap oleh telinga pembantu mereka.
"Biar Bibi bantu," ujar wanita berambut sanggul itu.
"Jangan ada yang berani membantu Rubi!" Tiba-tiba saja Melani sudah berdiri di belakang keduanya.
Asisten rumah tangga itu langsung ngacir. Ia tak berani melawan pemilik kekuasaan tertinggi.
"Rubi, kau harus selesai memasak dalam waktu satu jam, karena teman-teman Mamaku akan datang ke sini,"
Rubi terkejut dengan ucapan adik iparnya. Untuk apa rekan-rekan Anti hadir di kediamannya? Sungguh aneh. Namun, ia tak mau ambil pusing. Rubi terus melakukan pekerjaannya seorang diri.
Dengan ketekunan dan kelihaian Rubi memasak, akhirnya ia dapat menyiapkan segalanya dalam waktu satu jam. Seluruh hidangan telah tersaji di meja makan.
"Sudah selesai, Nya." Rubi mendatangi Anti dan Melani.
Mereka bisu tak menanggapi. Hal itu membuat Rubi sadar untuk enyah dari pandangan. Tak lama kemudian, Rubi mendengar sahut-sahutan suara di luar sana. Ia mengintip dari buntut rumah. Tampak Anti memeluk beberapa wanita sebayanya.
"Akhirnya kalian sampai juga. Ayo, masuk!" pinta Anti sumringah.
Betapa terperanjatnya Rubi saat melihat geng wanita tersebut masuk dengan menggunakan sendal berlumpur. Lantai yang tadinya bersih kini menjadi kotor. Rubi menutup mulutnya dengan telapak tangan. Ia menyadari bahwa Anti dan Melani sedang membuat perhitungan untuk dirinya.
"Ayo, duduk! Jangan malu-malu," ujar Anti seraya membentangkan tangan. "Rubi! Buatkan minum." Kemudian dia melaungkan suara agar terdengar oleh Rubi.
Orang yang disuruh tergopoh-gopoh lari ke belakang. Selang beberapa menit kemudian, Rubi datang membawa nampan berisi jus jeruk.
"Silahkan diminum." Rubi benar-benar melakoni perannya sebagai pembantu.
"Loh, kok jus jeruk semua? Apa kau tahu selera kami?" Anti memasang raut masam.
"Iya. Sementara kami belum memberi tahu ingin minum apa." Seorang wanita yang tangannya dipenuhi gelang emas angkat suara.
"Ma- maaf, Nyonya-nyonya. Aku ti- tidak tahu." Rubi merasa bodoh karena tidak bertanya terlebih dahulu.
"Kalian mau minum apa? Biar disiapkan oleh pembantuku,"
Degh!
Hati Rubi remuk seketika.
***
Bersambung