Di tempat lain, seorang wanita terseok-seok menuju sebuah ruko guna beristirahat dari rasa penat. Gaun bercorak bunga tulip miliknya sudah berubah warna, disiram oleh debu jalanan. Langkahnya terhenti, ia menyapu pandangan ke arah beranda bangunan yang nyaris dipenuhi oleh banyak orang. Ada yang berpakaian compang camping dengan menggendong seorang bayi, anak balita memegang kepala badut, dan masih banyak jenis manusia yang kerap disapa sebagai peminta-minta.
Rubi. Perempuan itu mengingat miris jalan yang sudah ia ambil, setelah mengetahui bahwa pernikahannya tidak direstui. Pantas saja Anti terlampau dingin. Bukan karena sikap bawaan, tapi memang dia yang membenci menantunya sendiri. Rubi juga tidak tahu apa salah dan dosanya. Seingatnya, tak pernah barang sedikit pun Rubi menggores hati keluarga mereka. Bahkan, jika dipikir-pikir, merekalah yang seharusnya berterimakasih, karena Rubi pernah menyelamatkan Hardi dari kecelakaannya waktu lalu.
Rubi memindai pemandangan di depannya. Memang belum terlampau jauh ia berjalan, tapi Rubi yakin kalau suaminya tak akan dapat menemukan dirinya di sini. Dengan senyum kikuk ia menyambangi beranda yang dipenuhi oleh manusia-manusia bernasib kurang beruntung tersebut. Agaknya, sebentar lagi Rubi pun akan menjadi seperti mereka. Hanya sebuah handphone dan uang senilai Rp 500.000.00,- yang saat ini Rubi selipkan di dalam tasnya. Jika semuanya telah habis, maka mau tak mau Rubi harus menjelma sebagai gelandangan juga.
Banyak pasang mata yang melihatnya heran. Mungkin karena ini merupakan kali pertama Rubi hadir di sana. Ketika kakinya sukses mendarat di beranda, tiba-tiba datang seorang pemuda bertubuh cungkring. Ia menatap Rubi dari kaki hingga rambut. Sebatang rokok terselip di telinga kirinya.
"Kau mau apa di sini, hem?" tanyanya seraya mencebikkan bibir.
"Maaf, saya hanya ingin numpang tidur," mata Rubi membola. Agak takut melihat gaya ala-ala preman anak di depannya itu.
"Tidak bisa. Seluruh teras di sini sudah penuh. Ini lapak kami untuk tidur setiap malam. Sebentar lagi mereka akan pulang,"
Inilah risiko tinggal di jalanan. Kehidupannya begitu keras lagi kejam. Rubi menelan saliva dengan susah. Kalau tidak di sini, maka di mana lagi dia harus berlabuh? Sedangkan langit kian gelap dan kilatan perlahan hadir. Konyol sekali jika Rubi berhujan-hujan ria di tengah malam.
"Apa boleh aku tidur di sini? Satu malam saja. Aku tidak tahu harus ke mana lagi," lirih Rubi.
"Kau tuli, ya? Sebentar lagi yang lain akan pulang. Aku bisa memaksamu kalau kau bandel,"
Selama ini Rubi memang mencari makan di jalanan. Namun, bukan berarti dia hidup di jalanan. Rubi hanya sebatas penjual cilok keliling yang akan pulang ke rumah apabila hari beranjak gelap. Ia tidak pernah barang sekalipun ikut bergabung dengan orang-orang seperti yang ada di depannya tersebut.
"Hei! Kau pergilah. Jangan usik kediaman kami," tiba-tiba saja pemuda lain datang menghampiri sepasang insan tersebut.
Rubi bukan tipe orang yang suka memancing keributan. Saat menyadari sudah banyak mata yang menyorotnya tajam, maka ia memutuskan untuk segera pergi dan mencari tempat lain. Rubi bukannya takut. Hanya saja, ia mengerti bagaimana rasanya jika harus berkongsi tempat tidur di bawah rinai hujan yang perlahan turun. Karena itu, kembali ia melangkahkan kaki tanpa tujuan.
Rubi menyadari bahwa yang dilakukannya adalah salah. Tak seharusnya dia melarikan diri tanpa berunding terlebih dahulu dengan sang suami. Namun, kenyataan pahit yang menampar Rubi seakan menjadi duri. Sungguh ia tak ingin mengusik kebahagiaan keluarga Hardi Kusumo.
Berulang kali ponselnya berdering dan sudah ribuan pesan yang masuk, tapi tak ada satu pun yang ia respon. Rubi benar-benar ingin sendiri. Menarik kesimpulan dari apa yang tengah mengguncang rumah tangganya.
Langkahnya semakin dalam menyusuri jalanan gelap. Wanita itu menghela napas berat. Ia berlari-lari kecil guna menghindari rinai hujan yang perlahan jatuh ke bumi. Rubi buntu. Entah ke mana ia harus berlabuh. Lalu, dari kejauhan tampak sebuah jembatan layang yang membuat hatinya sedikit lega. Barangkali ada lapak untuk berteduh di sana. Buru-buru Rubi membawa kakinya menuju jembatan tersebut. Beruntung, di bawahnya masih banyak terdapat tempat kosong. Rubi bisa istirahat di sana.
Hiruk pikuk kota disertai badai menyambut malam kelam Rubi. Matanya tertuju pada gerombolan pria yang sedang asyik berjudi di sudut bawah jembatan. Sempat merutuki kebodohan. Wanita itu sok kuat dengan mengambil keputusan untuk kabur dari rumah. Di sisi kanannya, beberapa unyil cilik tampak sudah terlelap. Saling bersandar di bahu teman satu dengan yang lain. Sedangkan dari kejauhan, tampak ABG lelaki melantunkan sebuah lagu seraya memetik ukulele merahnya. Ya, seperti inilah kehidupan suram di jalanan. Sesuatu yang tak pernah terbayangkan oleh Rubi, kini malah dinikmatinya seorang diri.
Di bawah sana, Rubi kembali memeluk tubuhnya dengan kedua tangan. Dingin menusuk tulang. Tidak ada selimut seperti yang kerap Jaya kenakan di tubuhnya. Rubi benar-benar menderita kali ini. Lalu, tanpa disangka-sangka, datang lah seorang pria dengan bekas jahitan di pelipis kirinya. Ia menyapu wajah kaku Rubi. Mafhum, bahwa yang hadir kali ini bukanlah bagian dari mereka.
"Berikan aku tas itu!" ucap si laki-laki tersebut sambil menunjuk benda bertali yang Rubi peluk di dadanya.
"Kau siapa? Jangan macam-macam denganku," gertak Rubi yang sesungguhnya sudah ketakutan.
"Cepat!"
Pria itu kembali berteriak, sejurus kemudian dia langsung merampas tas Rubi. Wanita yang diperlakukan dengan tidak sopan tersebut, lantas saja melaungkan suara. Berharap akan ada seseorang yang menolongnya.
"Jangan mimpi! Di sini semua penjahat, hahahah,"
Sialnya, lelaki yang berstatus sebagai preman itu bernasib baik karena tidak ada yang memedulikan aksi bejatnya. Rubi semakin panik. Benar-benar jadi gelandangan dia, kalau sempat tas itu raib.
Bugh!
Bugh!
"Arrrrgh!"
"Jauhi dia!"
Seseorang menghampiri mereka berdua. Tanpa segan ia menimpuk wajah perampok tadi hingga babak belur. Rubi meraih tasnya yang sudah terbujur di permukaan tanah. Beruntung. Rupanya Tuhan masih mendengar teriakannya dengan mengirimkan seorang penolong.
"Beritahu pada semua penghuni di sini, agar jangan pernah menyentuh dia lagi," lelaki bertubuh tegap itu menunjuk-nunjuk wajah sang pencopet. Tak lama setelah itu, situasi kembali sepi dengan menghilangnya si pria belagu tadi.
Rubi mundur beberapa langkah, saat orang yang menolongnya mendekat. Hujan mulai samar, membuat suara menggelegar pria tegap itu terdengar jelas.
"Aku Arsan. Kau tak perlu takut, karena aku tidak sebajingan lelaki tadi,"
Rubi menghela napas lega. Barangkali, pria bernama Arsan itu memang sosok penolong yang sudah dititipkan oleh Tuhan. Rubi tersenyum tipis, seiring dengan badannya yang agak membungkuk.
"Terimakasih telah menolongku," desisnya nyaris tak terdengar.
Arsan memerhatikan perempuan yang belum ia ketahui namanya itu dari ujung kaki hingga rambut. Jemari kokohnya menyugar rambut ke belakang. Dada bidangnya basah disiram tempias hujan.
"Kau bukan warga sini. Dari mana kau berasal, Nona?"
***
Bersambung