Chapter 16 - KHAWATIR

Jaya menatap wajah tegang Gea yang sudah berpindah posisi di sisi kanannya. Wanita itu jelas tidak terima dengan keputusan sepihak bosnya tersebut. Dia memasang raut memelas. Berharap Jaya akan memberikan keringanan.

"Di luaran sana masih banyak orang yang lebih berkompeten darimu,"

Namun bukannya mendapat hasil sesuai keinginan, Gea malah semakin dipojokkan dengan kalimat yang baru saja Jaya lontarkan. Bayangan akan susahnya mencari kerja membuat Gea sedikit gentar. Tak pernah terpikirkan bahwa bos yang sudah banyak dipuaskan oleh kinerjanya, kini memecatnya secara tidak hormat.

"Saya mengakui kesalahan, Pak. Saya mohon maaf atas ini. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi, tapi beri saya kesempatan, Pak,"

Tiba-tiba saja Gea bersimpuh di hadapan Jaya dan disaksikan oleh karyawan lain. Tidak peduli jika ia harus kehilangan harga diri. Asal tidak kehilangan pekerjaan. Gea memeluk lutut Jaya. Membuat lelaki itu bangkit dari duduknya.

"Jangan berlebihan seperti itu. Yang ada saya semakin risih melihatnya," Jaya memasang wajah masam.

Dengan air mata yang berlinang, Gea berharap akan ada keajaiban yang membuat Jaya membuka ruang maaf. Isakannya semakin keras. Selalu mengikuti pergerakan Jaya, kemanapun lelaki itu pergi.

"Kau ini bisa diam tidak?! Saya sudah tidak menerima pekerja sepertimu. Kau bisa bawa pulang barang-barangmu sekarang," titah Jaya mulai emosi.

Bukannya iba, Jaya malah semakin jengkel dengan tingkah Gea. Tadinya saja belagu, mencibir orang yang tak bersalah. Sekarang dia hanyalah sosok pengemis yang memohon agar tidak dipecat oleh Jaya dari perusahaan.

"Atau Bapak bisa potong gaji saya saja. Ibu saya sedang sakit, Pak. Saya tidak mau terjadi sesuatu dengan beliau," rengek Gea semakin keras.

"Leo! Masuk sekarang,"

Buru-buru Jaya mengangkat kakinya yang senantiasa digelantungi oleh lengan Gea. Sore ini benar-benar membuat moodnya hancur berantakan. Tak lama setelah itu, sosok yang dipanggil muncul. Kaget bukan kepalang saat menyaksikan keadaan ruangan sudah runyam.

"Seret perempuan ini keluar!" perintah Jaya pada sang asisten pribadinya.

Jaya hanya bisa geleng kepala melihat kelakuan sekretarisnya. Ini sudah menjadi keputusan yang tidak bisa diganggu gugat. Ia juga yakin, bahwa di luaran sana masih banyak manusia yang berkompeten lagi santun. Bukan seperti Gea, yang ternyata busuk di dalam.

Mau tidak mau Leo harus menyeret perempuan yang nyaris kehabisan air mata itu. Berulang kali Gea memberontak. Namun apalah daya, tenaganya tidak sekuat Leo.

Gea memelototi mata siapa saja yang memandang ke arahnya. Sedangkan seluruh karyawan sudah dipersilahkan keluar ruangan oleh Jaya. Mereka bergidik ngeri. Rupanya Jaya tak pernah main-main dengan ucapannya. Setelah ini, tak akan ada yang berani mengolok-olok keluarga bosnya tersebut. Tidak ada yang sanggup mengambil risiko dipecat dari pekerjaan seperti Gea.

"Tidak adil! Seharusnya kalian semua juga dipecat,"

Untuk terakhir kali, wanita itu melaungkan suaranya di hadapan banyak orang. Rasa kecewa terhadap Jaya mendadak muncul. Sudah tidak ada harapan, bahwa dirinya akan diberi keringanan. Jadi, sekalian saja Gea berbuat konyol.

"Memang dasar istrinya saja yang kampungan. Aku berbicara fakta dan tidak mengada-ngada,"

Gea tersenyum puas sesaat setelah Leo melepaskan cengkraman eratnya. Saat ini dia sudah berada di parkiran kantor. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Jaya di sana. Entah di mana pria itu. Mungkin sedang mengontrol emosinya agar kembali stabil.

"Lihat saja! Aku akan membalas perbuatan kalian semua," sekali lagi Gea berteriak, sebelum ia benar-benar pergi.

Seusai menyelesaikan urusannya dengan perempuan tersebut, Leo memerintahkan agar para pekerja kantor untuk segera bubar. Tak lupa ia memberi wejangan singkat, agar tak ada yang menghina istri bos mereka lagi. Tanpa Leo sadari, sebenarnya para pekerja kantor juga sudah tahu, bahwa dia lah yang memberitahu semua ini pada Jaya. Namun, mengingat Leo merupakan tangan kanan Jaya, maka tak ada yang berani menentangnya.

Seluruh karyawan jera. Dapat dipastikan jika tak akan ada hal-hal berbau penghinaan terhadap keluarga Jaya Kusumo lagi.

Di tempat lain, Jaya memijat pelipisnya kasar. Tidak menyangka bahwa orang kepercayaannya berkhianat. Wajah ayu Rubi menari-nari dalam kepala. Membayangkan betapa sedihnya wanita itu apabila mengetahui penghinaan ini.

Setelah merasa lebih tenang, Jaya beranjak dari kursi kebesarannya dan langsung tancap gas menuju rumah. Hari ini benar-benar melelahkan. Di mana Jaya harus menghadapi Gea dan wajib tiba di rumah sebelum malam tiba.

"Kertas itu harus lebih dulu kutemukan, lalu kuganti isinya," gumam lelaki itu dalam hati.

Jaya terlalu takut untuk menghadapi pertengkaran dalam rumah tangganya. Meskipun ia sudah biasa menghadapi watak keras para klien, tapi bukan berarti ia mampu menghadapi istrinya sendiri.

Gegas mobil Jaya melesat di jalanan. Tak peduli jika hal itu akan membahayakan dirinya sendiri. Para pengendara lain geleng kepala saat mobil hitam tersebut menyalip kendaraan lain tanpa kira-kira. Beruntungnya, sedang tidak ada polisi yang bertugas di jalan kalau sudah sore begini. Membuat Jaya bisa bebas dari jeratan pasal berkendara.

Hari beranjak malam. Jaya memasuki rumah melalui pintu belakang. Tak lupa ia juga mengendap-endap agar kehadirannya tidak diketahui oleh Rubi. Biasanya wanita itu akan menunggu suaminya pulang di ruang tengah sambil menonton televisi.

Cit…

Perlahan Jaya membuka pintu kamar.

Sesudai dugaannya, bahwa Rubi tidak ada di sana.

Jaya membuang napas lega. Ia segera mengunci pintu kamar dan membongkar lemari pakaian. Sebuah tempat yang dijadikan Rubi untuk menyimpan kertas keinginan dalam rumah tangga mereka.

Sepuluh menit berselang. Jaya memeriksa ruang demi ruang lemari tersebut dengan teliti. Namun hingga detik ini, ia belum berhasil menemukan apapun. Bukannya Rubi sudah memberitahunya tadi?

Hanya ada sebuah ruangan lagi yang belum ia periksa. Yakni di lipatan gaun-gaun peninggalan almh Bunda Rubi. Gegas Jaya memanjangkan tangan guna membongkar ruangan tersebut. Namun, alangkah terkejutnya ia saat tidak menemukan apapun juga di sana.

"Apa Rubi membohongiku?" Jaya mendadak bingung.

Pria itu kembali membuka pintu, lalu turun ke bawah untuk mencari keberadaan sang istri. Kalau surat itu tidak bisa ditemukan, maka Jaya harus bisa membawa Rubi keluar rumah dengan alasan berjalan-jalan. Jangan sampai surat itu terbuka sebelum Jaya mengubah isinya.

"Sayang," laki-laki itu melaungkan suara.

Nihil.

Jaya menyentak kepala ke belakang saat tidak mendapati istrinya di ruang tengah. Ia menuju beranda rumah. Mungkin Rubi sedang menunggunya di depan sana. Namun, lagi-lagi ia dikejutkan dengan keberadaan perempuan bertubuh mungil tersebut. Rubi tidak ada di belahan rumah manapun. Ke mana dia?

Jaya mengumpulkan seluruh pekerja dan mempertanyakan keberadaan Rubi pada mereka. Namun, tidak ada seorang pun yang tahu. Jaya jadi semakin panik. Mungkinkah istrinya pergi tanpa izin?

Langkah Jaya tertuju kembali pada kamarnya. Barangkali Rubi sedang berada di toilet.

Tok tok tok

"Kau di dalam, Sayang?" Jaya mengetuk pintu kamar mandi.

Senyap.

Karena tidak ada jawaban, akhirnya Jaya memutuskan untuk membuka pintu toilet tersebut. Dan, lagi-lagi dahinya berkerut saat tidak menemukan keberadaan Rubi di sana. Daripada pusing tujuh keliling, akhirnya Jaya memutuskan untuk menghubungi istrinya melalui panggilan telepon.

Jaya merogoh ponselnya dari dalam saku. Saat hendak duduk di sisi ranjang, sepasang netranya tak sengaja tertuju pada sebuah kotak persegi. Ia membuka benda marun tersebut dan mendapati dua buah kertas putih sebagai isinya.

AKU INGIN MENUA BERSAMA JAYA

Bola matanya menangkap tulisan yang bukan hasil tangannya.

Jaya meraih kertas yang satunya lagi. Namun, betapa kagetnya ia saat mengetahui bahwa coretan yang berada di atas sana, merupakan sebuah keinginan yang kala itu ia tulis atas permintaan Rubi.

AKU INGIN MAMA MERESTUI PERNIKAHAN KAMI

Deg!

Jaya menarik napas dalam. Kenapa kotak itu bisa berada di atas nakas kalau bukan Rubi yang sudah meletakkannya? Jaya spontan lemas. Berarti istrinya telah membaca surat tersebut sebelum ia pulang ke rumah. Namun, kenapa Rubi bisa berbuat demikian? Bukannya dia sudah berjanji bahwa mereka akan membukanya bersama-sama?

Jaya menelan saliva dengan berat. Segera ia mendial kontak istrinya guna menanyakan apa yang sebenarnya telah terjadi.

Tut…

Pria itu menunggu penuh kegelisahan.

***

Bersambung