Sore ini, para karyawan sudah berhasil dikumpulkan oleh Leo. Dia tidak mengatakan apa tujuan Jaya memerintahkan hal tersebut. Seluruh pekerja beranggapan bahwa akan ada dari salah satu mereka yang bakal naik jabatan. Atau, hanya sekadar mengapresiasi kinerja mereka selama di perusahaan dengan mengadakan makan malam bersama di restoran ternama.
Tidak ada yang mangkir. Seluruh karyawan duduk di ruang rapat menunggu kehadiran sang CEO perusahaan.
Tak tak tak…
Pentofel Jaya beradu dengan lantai.
Semua orang yang berada di sana melirik ke arah pintu. Tampak Leo masuk terlebih dahulu dan membiarkan Jaya melintas di hadapannya. Kemudian, lelaki tegap itu menutup kembali pintu ruangan. Membiarkan bosnya menyelesaikan segala urusan di dalam sana.
Berbeda dari tadi pagi. Sore ini, wajah Jaya tampak begitu ketat dan mengerikan. Pria itu diam seribu bahasa. Menyorot tajam seluruh pekerjanya tanpa terkecuali.
"Apa masih ada yang berada di luar?" suara beratnya mulai terdengar.
"Tidak ada, Pak," ucap seluruh karyawaan bersamaan.
25 orang itu saling pandang seraya meyikut siku yang satu dengan lainnya. Tak biasanya Jaya bersikap terlampau dingin seperti ini. Meskipun Jaya merupakan pengurus tertinggi perusahaan, namun arogan bukan lah sifatnya.
Jaya duduk di kursi kebesarannya sambil menyandarkan punggung. Menatap wajah para karyawannya yang dipenuhi oleh tanda tanya. Gea sendiri tampak anteng. Tidak sekhawatir pekerja yang lain. Mungkin kedekatannya dengan Jaya, membuat ia tidak merasakan amarah yang terpancar dari laki-laki itu.
"Kalian tahu apa tujuan saya mengumpulkan kalian di sini, hem?" Jaya memulai obrolan.
Para karyawan menggeleng samar. Satu dua orang mengangkat bibir sambil menyerukan kata tidak. Jaya tersenyum sinis. Rupanya mereka tidak ada yang merasa bersalah.
"Siapa yang sudah dengan berani-beraninya menghina istri saya?"
Deg!
Pertanyaan Jaya bagaikan petir di siang bolong bagi 25 orang yang berada di dalam ruangan rapat tersebut. Mata mereka membulat tak percaya. Kenapa Jaya bisa tahu?
"JAWAB!"
BRAK!
Tiba-tiba saja bahu para karyawan terangkat tatkala meja persegi panjang itu dipukul oleh Jaya. Dada lelaki itu perlahan naik turun. Kalau di negara ini tidak ada hukum, mungkin dia sudah membunuh orang yang telah merendahkan harga diri istri tercintanya.
Tak ada seorang pun yang berani menatap mata tajam milik Jaya, apalagi sampai menjawab pertanyaannya. Meski tahu akan kesalahan, namun mereka tak berani menghadapi risiko yang ada.
"Apa kalian tuli, hah?!" bentak Jaya sekali lagi.
Karena tidak ada yang mau mengakui kesalahan, akhirnya membuat emosi Jaya semakin tersulut.
"Saya tahu, bahwa semua dari kalian lah pelakunya. Punya urusan apa kalian dengan pribadi saya? Kalian saya bayar untuk pekerjaan di kantor ini. Bukan menghina orang!"
Tes
Tes
Tes
Satu persatu para pekerja mulai meneteskan keringat dingin. Tanpa disadari, mereka telah menghadiahkan boomerang untuk diri sendiri.
"Asal kalian tahu ya!" Jaya kembali angkat suara. "Pakaian yang dikenakan oleh istri saya itu adalah milik almh Bundanya. Bukan berarti saya tidak mampu membelikannya pakaian yang baru. Istriku hanya ingin merasakan sosok Bundanya selalu hadir. Dan, kalian!" ucapnya seraya memberi jeda.
"Kalian hanya segerombolan manusia yang sok tahu dengan urusan orang lain!"
Waktu yang panjang bagi banyak pasang telinga yang mendengar omelan Jaya. Tidak pernah pria itu bersikap sedemikian rupa. Kalau marah, biasanya Jaya hanya berkata sekadarnya saja, kemudian meminta agar karyawannya memperbaiki segala kesalahan.
Hingga menjelang menit kedua, suasana ruangan masih saja senyap. Perasaan bersalah sangat tampak dari seluruh wajah pekerja. Memang tak sepantasnya mereka mencampuri urusan orang lain, apalagi sampai mencibir istri bosnya sendiri.
"Aku minta kejujuran kalian. Siapa orang pertama yang sudah menggembar-gemborkan masalah ini?"
Deg!
Anehnya, 25 jantung itu kian terpompa saat Jaya melontarkan pertanyaan kedua. Sosok yang menjadi pelaku utama pun, kini tak lagi mampu bersikap tenang. Ia tahu betul bagaimana seorang Jaya yang mampu berbuat nekat atas apapun.
Seluruh mata tertuju ke arah Gea. Mereka menuntut dalam diam, agar wanita yang menjabat sebagai sekretaris perusahaan itu mengakui kesalahan. Jangan sampai karena satu orang, semua jadi kena imbasnya.
Namun, Gea tampaknya tidak peduli dengan netra yang menyorotnya tajam. Ia berusaha setenang mungkin. Tidak menunjukkan kesalahan barang sedikit pun. Barangkali, Jaya memang belum tahu siapa pelaku utamanya.
Pemandangan seperti itu justru membuat Jaya semakin geram. Dasar karyawan-karywan yang tidak punya muka! Bisa-bisanya menghindar dari kesalahan.
"Nari. Apa kau yang sudah memancing seluruh pekerja untuk mencibir istriku?!" Jaya membuang pandangan ke arah seorang wanita berambut sebahu.
"Ti- tidak, Pak. Bukan saya," sosok yang ditanya terbata-bata.
"Apa kau tahu siapa pelaku utamanya?"
Pertanyaan Jaya membuat Nari memandang wajah Gea. Posisinya benar-benar terjepit, karena dalam waktu yang bersamaan, Gea juga memohon lewat isyarat mata agar Nari tidak mengadu.
"Jawab!"
"Ti- tidak ta- tahu, Pak," setengah hati Nari membohongi bosnya sendiri.
Jaya menarik kedua sudut bibir. Tahu bahwa sedang ditipu oleh karyawannya, membuat gejolak api itu kian membesar. Jaya tak ingin berlama-lama menghadapi 25 patung tersebut. Akhirnya, ia memutuskan untuk menyelesaikan obrolan. Dan, jangan lupakan kesepakatan untuk memecat pelaku utama tadi.
"Saya kecewa dengan prilaku kalian yang suka mencampuri urusan pribadi bosnya sendiri. Apa kalian tidak pernah dididik untuk memiliki sikap sopan santun, hem? Dan, kau Gea…" Merasa namanya disebut, membuat wanita berwajah oval itu menoleh. "…kau adalah pelaku utama yang dengan berani mencibir istriku. Kau mengajak seluruh karyawan agar terhasut omonganmu. Tidak ada penolakan! Karena memang kau lah pelakunya," lanjut Jaya dengan sorot membunuh.
Deru napas Gea semakin tidak karuan. Ia menilik seluruh karyawan secara bergantian. Berharap akan ada yang membelanya. Hal mustahil yang tak akan pernah terjadi.
"Saya tidak sudi bekerjasama dengan sosok munafik sepertimu. Bisa berabe seluruh pekerjaan saya nantinya. Jadi, mulai hari ini kau dipecat!"
Deg!
"Apa? Sa- saya dipecat, Pak?"
Gea terlampau kaget. Ia menegakkan posisi duduknya. Kedua tangannya menempel di meja panjang.
"Apa kurang jelas?"
"Tapi kenapa, Pak?" celetuk Gea memasang wajah memelas.
Jaya jadi mengerti, kenapa sekretarisnya itu dapat bersikap demikian. Tanpa disangka-sangka, rupanya Gea bermuka dua. Sepasang tangan Jaya terkepal. Giginya menggeletuk. Sudah tahu salah, tidak mau pula disalahkan.
"Tidak perlu kujelaskan kembali apa kesalahanmu,"
Mengapa hati Gea seakan tertusuk ribuan duri? Bukannya pekerja lain juga ikut mencibir istri Jaya? Lalu, kenapa harus dia saja yang dipecat? Ini tidak adil. Seharusnya, Jaya juga melakukan hal yang sama terhadap karyawan lain. Atau, hanya memberi hukuman yang setimpal untuknya tanpa memecat.
"Maaf, Pak. Saya rasa, selama ini saya sudah memberi yang terbaik untuk perusahaan kita. Maka, apa salahnya jika hukuman pemecatan itu dibatalkan? Bukan kah yang lain juga bersalah dengan ikut mencibir istri Bapak?" ucap Gea yang tak ingin disalahkan secara sepihak.
***
Bersambung