Tidak ada sapa manja dan kecup dahi pagi ini. Membuat separuh jiwa Rubi melayang. Tentu saja ia merasa sedih. Ia tak mau sebuah pertengkaran terjadi di hubungan pernikahannya yang seusia biji jagung.
Gegas Rubi mencari keberadaan Mbok Ijah. Pasti perempuan tua itu tahu sesuatu.
"Mbok. Apakah Mas Jaya tadi malam makan?"
Rubi melirik sepintas ke meja yang sudah penuh dengan hidangan tak disentuh. Jantungnya berdegub kencang. Ia menuntut penjelasan dari Mbok Ijah.
"Makan, Non," wanita itu menjawab singkat.
"Sendiri?"
"Iya. Saya sempat nanya dan Aden Jaya bilang, kalau Non sedang tertidur,"
Deg!
Rubi berpasrah. Berarti karena itu suaminya mendadak dingin pagi ini.
"Aden juga sudah berusaha membangunkan Non Rubi. Hanya saja, Non terus terlelap," timpal Mbok Ijah yang semakin membuat Rubi ketar-ketir.
"Oh, astaga. Rupanya dia sudah membangunkanku," Rubi merutuki kebodohannya.
Buru-buru perempuan itu berlari ke atas guna mencari benda pipih kepunyaannya. Tergesa ia menghubungi Jaya guna meminta maaf.
"Ck! Tidak diangkat," Rubi berdecak kesal saat panggilannya diacuhkan.
Sontak semua pikiran buruk memenuhi isi kepalanya. Bagaimana jika Jaya marah? Bagaimana jika lelaki itu tidak sudi menyapanya lagi? Bagaimana jika mertuanya tahu? Uh! Rubi serasa ingin menangis.
Ia kembali menekan tombol on/off ponsel, lalu mengirimkan pesan yang berisi permohonan maaf pada sang suami. Mungkin Jaya masih sibuk kerja. Rubi berharap pesannya akan berbalas saat tiba jam istirahat dan makan siang nanti.
Di tempat lain, Jaya mengalihkan kembali perhatiannya sesaat setelah membaca pesan dari Rubi. Ia sama sekali tidak berniat untuk merespon. Bahkan saat ponselnya berdering panjang sekalipun, Jaya tetap memilih untuk terus melanjutkan pekerjaan. Ia menarik kedua sudut bibir. Senyum samar yang masih bisa dilihat oleh siapapun. Tahu bahwa istrinya sudah sadar akan kesalahan, membuat Jaya semakin memutuskan untuk bertindak gila.
***
Tok tok tok…
"Non. Ayo, makan dulu. Sudah jam tiga sore," laungan suara Mbok Ijah menembus kamar.
Sudah lewat jam makan siang, tapi Jaya tak juga kunjung membalas pesan Rubi. Permohonan maaf yang tadi ia kirimkan, hanya dibaca saja. Rubi semakin uring-uringan. Apakah kesalahannya begitu fatal?
Lama Mbok Ijah mematung di ambang pintu. Menunggu sang majikan untuk keluar kamar. Lagi-lagi Rubi membuat panik. Jangan sampai ia pingsan di kamar mandi untuk yang kedua kali. Mbok Ijah tidak bisa masuk, karena pintunya terkunci. Ia hanya mengandalkan suara seraknya. Berharap Rubi akan segera membukakan pintu.
"Non. Ayo, makan dulu. Nanti Non sakit loh," bujuk Mbok Ijah.
Di dalam sana, Rubi senantiasa menatap layar ponsel yang tiada kunjung berhias pesan masuk. Matanya mulai berair. Ide untuk menyusul Jaya seketika muncul.
Lekas Rubi mengganti pakaiannya dengan gaun selutut kepunyaan almh bunda. Baju dengan tangan mengembang itu memang kerap ia kenakan ke manapun kaki melangkah. Hanya satu dua kali saja Rubi memakai pakaian yang sudah dibelikan oleh suaminya. Namun, Jaya tak pernah mempermasalahkan hal itu. Selagi Rubi senang, kenapa tidak?
Cklek…
Pintu tiba-tiba terbuka. Membuat Mbok Ijah hampir terjungkal ke dalam kamar. Senyumnya mengembang saat melihat Rubi di sana. Gegas ia menyuruh agar perempuan itu makan.
"Tidak bisa, Mbok. Saya harus segera menyusul Mas Jaya,"
Mbok Ijah terkesiap mendengarnya. Tidak biasanya Rubi berbuat demikian.
"Mau ngapain, Non? Aden Jaya kan masih sibuk kerja,"
Satu hal yang membuat Rubi semakin kesal. Bagaimana jika sesampainya di sana, ia tetap tidak menemukan Jaya? Bagaimana jika lelaki itu sedang rapat atau sibuk dengan pekerjaannya sesuai kata Mbok Ijah? Sebentar Rubi menimbang. Sebelum akhirnya ia memutuskan untuk benar-benar pergi.
"Tidak bisa, Mbok. Ini jauh lebih penting dari yang Mbok Ijah kira,"
Tanpa peduli, Rubi langsung melesat dengan napas berat. Hal ini tidak bisa dibiarkan. Ia harus segera menemui Jaya guna meminta maaf.
Mbok Ijah yang kelimpungan, lantas saja langsung menghubungi Jaya melalui ponselnya yang berukuran lebih tebal dari umumnya. Ia khawatir jika tiba-tiba terjadi sesuatu pada Rubi. Mbok Ijah justru tidak mau menjadi tumbal atas majikannya yang sulit untuk diatur.
Namun jawaban Jaya malah membuat Mbok Ijah semakin bingung. Tanpa menungu waktu lama, panggilan tersebut langsung terhubung. Jaya memerintahkan untuk melepas Rubi yang ingin berkunjung ke kantornya. Beberapa kali Mbok Ijah memastikan, mungkin tuannya itu sedang salah cakap. Namun, berulang kali juga Jaya meyakinkan pada Mbok Ijah, bahwa memang benar ia mengizinkan istrinya untuk datang ke perusahaan.
Tanpa bisa dilihat oleh Jaya, Mbok Ijah menganggukkan kepala. Ia tak akan bertanggung jawab apabila sesuatu terjadi pada Rubi. Yang penting dia sudah memberitahu. Urusan ke depan, ia tak lagi ikut campur tangan.
Sementara itu, Rubi yang sudah tiba di kantor suaminya semakin mempercepat langkah. Banyak pasang mata yang kaget saat mendapati istri CEO perusahaan nongol tanpa didampingi oleh bodyguard. Para karyawan wati, turut prihatin melihat pakaian yang dikenakan Rubi. Bukannya dia istri CEO? Lalu, mengapa gaun 90-an seperti itu masih dikenakan? Rubi tak ada bedanya dengan gadis kampung.
"Di mana ruangan Pak Jaya?" Rubi sudah sampai di meja resepsionis.
Anehnya, wanita yang ditanya oleh Rubi mendadak mengulum senyum. Entah apa yang ada di dalam benaknya. Ia menilik dari ujung kaki hingga ujung rambut Rubi. Tak ada sesuatu yang mencirikan bahwa perempuan itu merupakan istri CEO perusahaan.
"Maaf, Ibu. Pak Jaya sedang ada rapat di luar,"
Fyuh…
Sepasang bahu Rubi turun. Ia membuang napas kesal. Benar yang dikatakan oleh Mbok Ijah, kalau suaminya itu sedang sibuk bekerja. Tubuh Rubi berbalik arah. Dia pulang dengan memikul rasa kecewa.
Sedangkan di sisi kanan dan kirinya, tanpa ia sadari banyak karyawan yang melihatnya aneh dengan dandanan sekuno seperti itu. Tak lupa mereka juga menyapa Rubi dan melempar senyum palsu. Rubi hanya membalas dengan kecut. Tak luput bayang-bayang kemarahan Jaya bersarang dalam kepalanya.
***
Pukul delapan tepat.
Hidangan makan malam semakin dingin karena tak ada yang menyentuh.
Entah sudah berapa lama wanita itu duduk di meja makan sambil menunggu kepulangan suaminya. Lilin yang ia siapkan nyaris habis, terbakar oleh api.
Sengaja Rubi menyiapkan makan malam tanpa dibantu oleh Mbok Ijah. Hitung-hitung sebagai bentuk permintaan maafnya. Tak lupa buah segar ia sediakan sebagai pencuci mulut. Rubi juga menyalakan lilin guna memberikan kesan romantis.
Bukan hanya hatinya yang berteriak. Kini, kepalanya mulai terasa berat. Berulang kali ia menghubungi nomor Jaya, namun tak satu pun ada yang dijawab. Di mana kamu, Mas? Batinnya memberontak.
Rubi menyesal.
Kini dia tahu di mana letak salahnya. Andai saja dia tidak tidur. Andai saja dia menyambut Jaya saat pulang. Andai saja dia menemani suaminya makan malam. Pasti semuanya tak akan menjadi sepelik ini. Sudah hampir satu jam lebih Rubi berdiam diri, menatap hidangan di depannya.
Dan hingga jam ke sepuluh pun, Jaya tak kunjung tiba. Lilin yang menyala, kini telah redup lalu mati. Menyisakan kerak yang bersemayam di atas piring kecil. Kepala Rubi nyaris tumbang di atas meja. Kantuk berat menyerang.
"Ke mana Mas Jaya?" akhirnya dia lelah.
Percuma juga jika Rubi bertanya pada orang-orang di sini. Mereka tak akan tahu di mana keberadaan suaminya tersebut. Jaya tidak pernah bersikap seperti ini. Apa lelaki itu sedang marah besar? Sehingga memutuskan untuk tidak pulang ke rumah.
Di mana Jaya? Dan, dengan siapa dia tidur kalau tidak dengan istrinya sendiri?
Tiba-tiba saja pikiran buruk terlintas di benak Rubi. Ia bersimpuh di lantai sambil terisak. Air matanya jatuh deras. Rasanya sangat sakit saat membayangkan suaminya tidak bermalam di rumah. Wanita itu menangis sejadi-jadinya, saat sambungan teleponnya kembali tak direspon. Gegas Rubi berlari memanggil sopir. Ia harus menyusuri jalanan guna mencari keberadaan Jaya.
Tap!
Belum sempat ia melangkah jauh, tiba-tiba saja seluruh lampu di rumah padam. Rubi terkejut bukan main. Wanita itu memutar tubuh berulang kali. Sigap ia meraba ponsel guna mencari sumber cahaya.
Saat tangan Rubi berhasil meraih benda pipih tersebut dan berniat menekan tombol on/offnya. Tiba-tiba saja lampu kembali menyala. Rubi memicingkan mata. Sejurus kemudian, ia mendengar teriakan suara berat pria. Matanya membola saat mendapati sosok mana yang mendadak muncul sambil membawa bolu dan balon berbentuk hati di tangan. Pria tua yang sudah dianggapnya sebagai ayah kandung pun, turut hadir meramaikan suasana.
"SELAMAT ULANG TAHUN," Jaya dan Hardi bersorak kegirangan.
***
Bersambung