"Ilona, apa kau lihat bangunan itu?"
Ilona mengangguk. Menatap ke lapang hijau luas di depan sana, dengan sebuah bangunan tua kecil terbangun. Terdapat pepohonan cukup lebat di sampingnya. Bagai penanda, untuk memperjelas bangunan tua menarik itu nyata.
"Ini seperti rumah-rumah yang kulihat di film hari Halloween, pada layar besar," gumam Ilona.
"Halloween? Layar besar? Apa maksudmu? Apa kau pernah melihat ini sebelumnya?"
"Ti–tidak." Ilona mengatupkan kedua bibirnya rapat. Ia menyesali akan kecerobohannya. Dengan ini, pasti pria itu akan merasa sedikit curiga lagi.
"Mau lihat ke sana?" Ramos tampaknya mengalihkan perhatian. Dia sudah bangkit dari duduknya. Kemudian mengajak Ilona ke bangunan tua tersebut.
Tidak terlalu luas. Terkesan kecil, dan sederhana. Hanya saja, dindingnya yang sungguh kokoh telah kotor dengan banyaknya lumut dan tanaman merambat. Keduanya jadi tak yakin, bahwa di dalamnya ada orang.
"Aku adalah putra Duke Frederick. Jadi, mencari tahu mengenai bangunan tua di wilayah kerajaan, sepertinya perlu bagiku."
Ilona menyetujui ucapan Ramos tersebut.
Keluarga Frederick terkenal dengan kebijaksanaan dan kewiraannya. Mereka terkenal dengan jasanya yang tinggi, karena telah membantu kerajaan melawan beberapa pasukan penyerang.
Sama seperti keluarganya, Ramos merupakan seseorang yang berani. Kecuali, dengan air.
Dia meraih kenop pintu emas indah, dan mendorongnya perlahan. Pintu tua yang menghasilkan suara karat itu bergerak terbuka.
Keduanya masuk ke dalam bangunan tua.
Tidak, ini bukan sebuah bangunan tua tanpa penghuni seperti biasa. Ini ... toko?
Mengapa ada toko barang-barang antik di sini? Padahal, Pasar Ramai ada di depan sana.
Namun, toko ini malah terletak jauh dan paling belakang dari keramaian. Bahkan, ini juga cukup jauh dari perkampungan.
Banyak rak kayu berjajar rapi selayaknya perpustakaan. Hanya saja, barang yang diletakkan adalah benda-benda antik. Piring tua, barang-barang berbagai bentuk yang terbuat dari kayu serta kaca. Kemudian, sebuah jam antik berdiri gagah pada dinding di atas sana.
Semua yang ada di sini, adalah barang-barang berdebu yang selalu membuat Ilona ingin bersin. Beberapa barang juga aneh, karena belum pernah sekalipun Ilona lihat. Entah jika Ramos. Karena pria itu tampak ... ambigu.
Ia berjalan pelan, memperhatikan barang-barang tua yang ditata pada rak tersebut. Mungkin dalam pikiran, dirinya terus bertanya-tanya.
Sampai kegiatannya itu berhenti. Kala dirinya melihat sebuah pasang mata yang sejak tadi menyaksikannya. Sorot yang serius menatap, secara tiba-tiba membuat Ramos berjalan mundur ke belakang.
Tubuhnya menyentuh Ilona. Dia berbalik, pria itu ketakutan sampai menabrak seseorang. "Ah, kau tidak apa-apa, Ilona?"
Ilona mengangguk. "Sepertinya, aku yang harus bertanya. Apa kau baik-baik saja?"
Ramos mengangguk. Kemudian, dia menggeleng takut. "A–ada ... sepasang mata yang memperhatikanku—"
"Apa ada yang ingin kalian beli?"
Ilona cukup terkejut. Suara serak nan berat tiba-tiba menyeletuk begitu saja. Menginterupsi keduanya dan membawa aura misterius.
Tidak. Tapi, Ilona lebih terkejut saat Ramos malah bersembunyi di balik tubuhnya. Pria itu kira, tubuh Ilona cukup untuk menutupi tubuhnya yang besar dan tinggi?
Ia bahkan terasa lebih malang dari Rehan kecil yang pernah ketakutan melihat ulat bulu.
"Ra–ramos." Ilona menengok ke belakang, berusaha menyuruh pria itu agar segera pindah tempat. "hanya seorang nenek saja," lanjutnya kemudian.
Ramos enggan. Namun, Ilona malah menggeser tubuhnya ke samping. Sehingga kini, pria itu dapat melihat dengan jelas siapa tadi yang membuatnya takut.
Seorang wanita tua berambut hitam, dengan banyaknya uban putih yang panjang se- bawah bahu. Ia menggunakan gaun satin panjang biru tua. Beberapa keriput terlihat di wajahnya, meski rak terlalu banyak. Ia ... seperti penyihir, jika digambarkan secara singkat.
Awalnya Ilona terkejut, tetapi kemudian dirinya mampu mengontrolnya. Sedangkan Ramos, jelas pria itu sedang berusaha menyembunyikan rasa takut.
"Oh– ho ho. Jangan takut kepadaku." Wanita tua tersebut mencairkan suasana. Dengan rintih ia berjalan mendekat pada Ramos.
"Ada apa, pria muda? Apa yang ingin kau beli?" tanyanya.
Ramos menggeleng secara cepat. "Sa–saya tidak membeli apa pun—"
"Jadi, kenapa kalian berdua kemari?"
"Tidak. Kami akan membeli sesuatu," jawab Ramos cepat. Kemudian menunjuk ke arah sebuah benda yang ada di rak kayu. Pena bulu angsa.
Wanita tua itu tersenyum, menakutkan. "Ho-ho, bagus ... aku senang sekali. Siapa namamu?"
Ramos menganggukkan kepala secara hormat. "Ramos Frederick."
"Pembeliku bangsawan rupanya. Ho-ho ...."
Ilona berada dalam pembicaraan yang canggung. Dirinya memilih angkat bicara. "... bagaimana denganku? Apa ... Nenek tidak penasaran?"
Wanita tua itu menoleh dan menatap ke arah Ilona. Senyumnya mengambang dengan penuh tatapan misterius. "Ilona, bukan?"
Ilona terperangah. Kedua bola matanya membesar sempurna. "Y–ya. Bagaimana Nenek bisa tahu?"
"Daripada itu, bukankah seharusnya kalian menanyakan nama 'Nenek ini'?"
Ilona mengangguk.
"Namaku, Dekcol." Wanita tua bernama 'Dekcol' itu memberitahu.
Ilona serta Ramos terdiam.
"Tapi, panggil saya aku 'Nenek'." Dekcol melanjutkan.
"Ne–nenek ...." Ilona dan Ramos menanggapinya. Seraya berusaha mengeluarkan senyum sopan.
"Kau ingin membeli pena bulu angsa, Ramos?" tanya Dekcol. Wanita tua membalikkan badannya yang mulai rapuh. Berjalan mendekati rak berisi benda pilihan tersebut.
"Ya. Berapa harganya?" Ramos berjalan mengikuti.
"20 keping emas."
Ilona yang berdiri di belakang cukup terkejut. Dirinya tahu mengenai mata uang di dunia novel ini. Dan 20 keling emas bukanlah nominal yang sedikit.
[Ternyata, secara diam-diam, Dekcol adalah seseorang yang suka uang.] Ilona berucap dalam pikirannya.
"Silakan." Ramos memberikan sesuai nominal.
"Ho-ho, bagus." Kini kedua telapak tangan Dekcol penuh dengan keping emas. Wanita tua itu bahkan perlu menaruhnya pada peti sedang di atas meja terlebih dahulu.
Dekcol menyerahkan pena bulu angsa pada Ramos. "Di tokoku ini, jika seseorang membeli sebuah barang, maka orang itu akan mendapatkan hadiah dariku."
"Hadiah?" Ramos sedikit tak yakin.
"Beberapa kalimat untukmu. Ho-ho. Coba dengarkan ...."
Ramos mengangguk menyetujui secara ragu. Tangannya menggenggam pena bulu angsa, seharga 20 keping emas.
"Bukan dengan dia, dan kau akan sia-sia."
Ramos mengernyitkan dahinya kala mendengar. Ia ... merasakan perasaan yang belum pernah ia rasa. Berantakan layaknya bintang yang bertaburan di langit malam.
"Artinya, Nek?"
"Hadiahku hanya kalimatnya saja, bukan artinya. Ho-ho." Dekcol tertawa senang. Kemudian dia menatap ke arah Ilona di belakang sana. "kau mau juga, Ilona? Ini menarik, lho. Tapi, kau harus membeli daganganku satu. Semakin banyak membeli, semakin banyak hadiah yang akan aku berikan," ucapnya menawari.
Ilona tertarik, tentu saja. Dirinya langsung berjalan mendekati Dekcol dan Ramos. Kemudian meraih sebuah buku tua usang pada rak kayu tua yang sama, seperti tadi pena bulu angsa Ramos berada.
"Aku akan membeli buku ini. Boleh kau berikan hadiahnya, Nenek?"
Wanita tua itu tersenyum, sangat tipis. Seakan ilusi yang hanya dia perlihatkan tak ada satu detik.
Dekcol mengangguk. "Ya. Sebelum itu, kau harus membayar barangnya dulu, Ilona."