Chereads / Us! / Chapter 11 - Ucapan

Chapter 11 - Ucapan

Gadis itu pulang dengan wajah datar ketika sampai di lobi apartemen. Ada petugas di sana, dan yang pertama menyapa adalah petugas keamanan. Mereka tak selamanya ada di sana. Kecuali petugas keamanan yang berjaga di tempatnya.

"Baru pulang Neng?" Xena mengganguk ke arahnya tanpa menjawab dan langsung pergi.

Petugas keamanan itu mengganguk beberapa kali.

"Sepertinya dia lelah, kukira ia pindah bersama orang tuanya, ternyata hanya sendiri, kasihan sekali, pasti anak itu kesepian," gumamnya.

"Banyak anak seperti itu, mungkin orang tuanya sibuk," jawab petugas lain.

Sementara itu di depan apartemen Xena. Sudah ada dua orang yang berdiri menunggu, dan satu anak kecil yang digendong. Begitu Xena melihat mereka dan anak kecil itu, ia ingat itu gadis kecil yang ditolongnya kemarin, sementara wanita itu yang ia temui di lift waktu itu.

Karena mereka berdiri di depan pintu apartemennya, Sepertinya mereka ada keperluan dengan dirinya.

"Ada apa?" tanya Xena to the point.

Kedua suami istri itu saling lirik.

"Kamu penghuni apartemen ini kan?" tanya istrinya.

"Kamu ingat aku Nak? Yang di supermarket kemarin, aku lupa bilang karena kaget, tapi terima kasih atas bantuannya kemarin," kata suaminya.

"Ya, itu bukan masalah," sahut Xena.

Mereka kemudian saling lirik lagi.

"Oh, iya ini uang untuk supermarket kemarin, kamu membayarkan kan? Terima kasih juga untuk itu."

Xena sedikit mundur ketika amplop itu di sodorkan pada dirinya.

"Maaf, tidak perlu, itu tak seberapa, saya sedikit lelah, jadi permisi."

Terdengar bunyi bib. Pintu itu terbuka dan Xena masuk ke sana meninggalkan kedua pasangan suami istri itu yang terlihat Tercengang.

***

Gadis yang tergolek di lantai itu mengigau.

Dalam mimpinya ia melihat banyak sosok bayangan hitam mengejar dirinya. Lalu dalam waktu singkat mengepungnya. Gadis itu tak menangis. Tidak juga menjerit. Ia hanya terduduk kebingungan di antara rerumputan yang masih terasa basah. Dalam penerangan seadanya yang berasal dari sinar bulan, ia berusaha memincingkan mata untuk melihat siapa sosok-sosok itu.

Namun nihil. Hanya hitam yang menerpanya.

Sosok hitam itu mengeluarkan pisau.

Dan—

Ia tersentak, seperti baru aja dikejut oleh listrik. Lamat-Lamat matanya terbuka. Dan menyadari ini di kamarnya sendiri.

Ia terengah, menetralkan degup jantungnya.

Padahal udara saat itu dingin, dan ia malah tergolek di lantai. Ia tidak tahu bagaimana caranya bisa ada di sana padahal jelas-jelas sebelumnya ia tidur di kasurnya, Dalam temaram gadis itu mulai bangun dan berjalan dengan tertatih.

Lalu menghidupkan lampu. Baru ia sadari, kamarnya lebih mirip kamp yang diterjang badai. Berserakan tak karuan.

Ia menghela nafas berkali-kali.

Sial, nafasnya malah tiba-tiba terasa sesak, ia segera menuju balkon, saat itu sedang gerimis.

Hawa dingin sama sekali tak ia rasakan. Padahal ia hanya memakai baju dan celana pendek.

Xena meringkuk di sudut balkon. Duduk dengan memeluk lututnya.

Ia tidak ingat apa yang sebenarnya terjadi. Netranya melirik tangan dan pahanya yang penuh dengan garis samar karena itu luka yang telah mengering. Tapi tidak bisa dihilangkan. Hingga masih meninggalkan bekas yang jika di perhatikan dengan seksama akan kelihatan.

Penyebab ia tak ingin melepas jaketnya.

Ya, dia ingin menutupi semua luka-luka itu. Meski ia tak begitu ingat. Dari mana semua lukanya itu berasal.

Cukup lama ia hanya di sana. Tidak bisa tidur dan terserang insomnia.

Ia lalu melirik jam tangan kecil, kebiasaan saat tidur ia selalu memakainya, entah untuk apa, yang pasti karena dia suka terjaga, angkanya menunjuk pukul dua pagi, Xena sedang berperang dengan hati, apakah ia harus tetap diam di sana. Atau mencari obat tidur yang tergeletak di dalam laci dengan konsekuensi ia akan telat pada keesokan paginya, meski sekarang sudah bisa disebut pagi.

Apartment itu sunyi. Sekarang hanya terdengar suara gemericik dari air hujan yang kian membesar.

Lelah memeluk lutut ia kemudian bersadar pada trali balkon.

Xena bersenandung pelan, dengan nada putus-putus, antara lupa lirik dan malas bernyanyi.

"Hidup itu apa?" lirihnya sambil memandangi hujan.

Lalu perlahan mulai tergolek pada lantai balkon. Ia ingin tidur di sana. Meski tidak benar-benar tidur.