Memang dari awal ada yang sedikit aneh.
Kedua pasangan suami istri itu pun saling melirik. Mereka kini berada di apartemennya.
"Sepertinya anak itu punya masalah dengan sosialisasi." Kata suaminya.
"Sepertinya begitu, dia juga tinggal sendiri di sana." Sahut istrinya. Ia jadi menyesal telah menilai anak itu dengan sembrono karena hanya pertemuan sekali itu.
"Pasti anak itu kesepian."
Keduanya nampak tak tega bahkan merasa sedih.
Istrinya melihat uang yang seharusnya mereka berikan tadi. Itu bukan jumlah yang sedikit, belanjaan kemarin totalnya tujuh ratus ribu lebih. Tapi dia sama sekali tak mau menerimanya.
"Kita apakan uang ini?" tanya sang istri.
Suaminya nampak berpikir sejenak. Sepertinya ia punya ide. Namun entah apa bisa berhasil atau tidak. Lagipula ia tak merasa ucapan terima kasih yang kemarin itu cukup.
Putrinya terlalu berharga. Seharusnya ia berterima kasih dengan cara yang lebih dari itu.
"Bagaimana dengan mengundangnya makan malam di tempat kita?" ujar sang suami. Masakan istrinya enak, ia yakin gadis itu pasti suka.
Sang istri juga merasa itu ide yang bagus.
"Anggap saja sekalian sebagai perkenalan antara tetangga," sambung suaminya.
Lagipula bahan belanja juga sudah lengkap. Tinggal di masak lagi, hanya saja memikirkan cara bagaimana membuat anak itu mau ikut ke apartemen mereka.
Sejujurnya mereka baru sekitar tujuh bulan menetap di sana. Mereka belum ada akrab dengan tetangga lain.
Memang seperti itu kebiasaan di sana, jarang ada interaksi.
Yang mereka tahu, ada beberapa yang tinggal di lantai yang sama dengan mereka.
Sepasang dokter yang kerap pulang malam, mereka belum punya anak. Seorang pengacara lajang mungkin baru berusia 29 tahun, ada juga gadis berusia 26 tahunan, ia juga tingga sendiri, hanya dia yang sempat mereka ajak mengobrol katanya ia seorang penulis, jadi lebih sering menghabiskan waktunya di rumah saja.
Lalu seorang polisi yang juga, dan satu lagi mereka belum kenal karena agak tertutup. Katanya ia jarang keluar rumah. Seorang pria yang baru pindah ke sana beberapa bulan.
Mereka bahkan tidak tahu wajahnya seperti apa.
Walau begitu mereka masih berharap bisa dengan dengan tetangga. Sebelum ini mereka mengontrak di rumah susun, tetangga di sana cukup baik. Namun mereka tak selamanya bisa tinggal di sana. Jadi begitu sang suami naik pangkat, dan istrinya dapat warisan mereka memilih pindah.
Sebelum ini, istrinya juga bekerja, tapi demi dua anak mereka dan suaminya juga sudah memiliki penghasilan yang cukup, jadinya mereka memilih untuk salah satu mengalah. Maka istrinya lah yang berhenti bekerja. Lagipula tak enak jika menitipkan anak terus pada orang tua.
Mereka sudah seharusnya istirahat di masa tua. Bukan malah sibuk disuruh mengurus cucunya.
Sesekali bolehlah, tapi kalau tiap hari ya repot.
Beruntung kalau anaknya pengertian. Kalau nakal. Bisa kumat asam urat.
"Masak seafood juga pa?"
"Yang netral saja, takutnya anak itu malah alergi nanti."
Sang istri pun mengangguk paham.
Rasanya ia menjadi lebih bersemangat sekarang.
Sudah lama tak makan dengan orang lain, selain keluarganya. Lagipula meski dingin, gadis SMA itu terlihat baik, ucapannya juga terdengar sopan tadi.
Ia masih tak habis pikir, kenapa orang tua gadis itu membiarkannya hidup sendiri. Seharusnya anak yang masih dibawah umur tak jauh dari orang tuanya, mereka masih harus di awasi dan dibimbing. Jangan sampai salah pergaulan.
Rasanya ia malah ingin menjadikan anak itu sebagai anak angkatnya saja, putrinya pun mendekat.
"Kakak itu terlihat baik, aku bisa bantu membujuknya," katanya menawarkan diri.
Sang ibu tersenyum dan menggangguk. Itu ide bagus.
"Baiklah." jawabnya sambil mengusap rambut putrinya dengan lembut.