Arif berjalan mendekati Rifqi yang masih diam, ia yang melihat dari jauh Sepertinya paham dengan perasaan pemuda itu. Sudah ditolak sebelum bergerak.
"Sepertinya dia gadis yang cukup sulit didekati," kata Arif.
"Dia tak suka disentuh, beruntung aku tak melakukannya," gumam pemuda itu mengingat khayalannya. Aneh sekali sejak kapan ia jadi suka menghayal seperti ini. Sementara Arif nampak mengerut bingung. Apa maksudnya, memangnya Rifqi berniat melakukan apa.
"Ngomong-ngomong soal telat tadi jangan bilang karena gadis itu?" tanya Arif menebak.
Seumur-umur, Rifqi jarang sekali datang telat, apalagi itu jam guru killer. Bunuh diri namanya jika berani melakukannya. Tapi tadi Arif melakukannya, ia bahkan berbohong dengan mengatakan ada urusan sedikit, karena termasuk anak teladan, beruntung guru matematika itu percaya. Tapi tidak dengan Arif. Ia tahu gelagat temannya. Itu bohong.
Sementara Rifqi hanya diam, sama sekali tak berniat menjawab pertanyaan itu.
"Rif—"
"Jangan dibahas."
Arif menggangguk. Sepertinya ada perubahan besar dalam sosok pemuda itu.
"Jangan patah semangat, jadi temannya, itu cara termudah untuk dekat," kata Arif.
Untuk kali ini Rifqi menoleh, dan merenungkan kata-kata itu, sepertinya layak di coba. Toh dia juga belum mengenal gadis itu dengan baik.
***
Parkiran telah sepi, hanya tersisa beberapa kendaraan lagi, mungkin milik siswa yang sedang rapat OSIS, atau pun sedang ada kegiatan ekstra.
"Kamu ngapain sih liatin tuh anak mulu?" tegur Chandra mulai merasa aneh pada Dino.
"Enggak tau."
"Kamu beneran naksir dia?"
Dino mengeleng "aku enggak tahu."
"Hadeh, masa kamu gak tau perasaan kamu sendiri sih," sindir Chandra
"Aku duluan" bukannya menjawab, Dino malah segera melajukan motornya mendekati Xena tanpa perduli pada Chandra yang mencak-mencak.
"Asli, ngeselin banget tuh anak," gerutu Chandra geregetan.
"Aku anter pulang ya?" tawar Dino sembari mengiringi langkah Xena dengan sepeda motor."
Gadis itu melirik malas, sedikit kaget karena Cowok itu tiba-tiba sudah berada di sampingnya
"Tidak." Tolak Xena masih berjalan tanpa menoleh sedikitpun.
"Entar nyasar lagi," sambung Dino dengan nada mengejek.
"...."
"Kamu enggak suka orang ganteng, ya?"
"Tidak." lirik Xena sekilas.
Dino mengganguk.
Gadis itu melirik sekitar, dan memilih menyebrang meninggalkan Dino ketika pria itu setelah mengatakan sesuatu yang samar bagi Dino. Pemuda itu berbalik ke belakang karena merasa ada sesuatu yang menempel.
"Cermin tidak bisa bicara, beruntung untukmu, cermin juga tidak bisa tertawa."
Dino melongo "Apa?"
"Buruan jalan, Bang!"
Sedikit terkejut, Chandra tiba-tiba duduk di jok belakang. Sambil memakai helm. Rupanya cowok itu yang barusan berbicara untuk mewakili Xena, sepertinya Dino tak mendengar saat gadis itu bilang begitu.
"Kamu ngapain?"
"Bakar sate, udah buruan jalan!"
"Motormu mana?"
"Udah aku suruh orang buat anter ke rumah."
"Ha?"
"Kelamaan mukadimah deh, buruan ke tempat biasalah. Sedih aku liat kau sekalinya suka cewek, ditolak terus."
"Aku gak di tolak!" sengit Dino.
"Iya, tapi ga usah maksa juga, entar dia ilfeel sama kamu, enggak denger dia bahas soal cermin tadi."
"Xen—" Dino berbalik, ia tak melihat Xena di manapun.
"Loh, dia?"
"Udah pergi, pas aku dateng."
"Kamu ngapain pake dateng sih?!"
"Din, dengerin aku. Dia kesel beneran tadi."
Dino terdiam.
"Tapi kabar baiknya, berarti dia masih punya perasaan."
"Ha?"
Chandra menghela nafas berat. "Kalau kamu bisa buat dia kesel, kemungkinan kamu buat di jatuh cinta juga ada."
"Tapi kayaknya aku deh yang dibikin kesel, lagipupa aku enggak jatuh cin—"
"Udah kagak usah ngelak, kamu itu—."
Dino yang mulai kesal mendengar ceramah Chandra langsung tancap gas, hampir saja, Chandra terjengkang ke belakang karena ulahnya."
"Kamu mau kamu mati muda?!" hardik Chandra.
"Please, gausah berlebihan, walau iya—" Dino meringis, Chanda memukul pundaknya.
"Aku belum dapet nomor ponselnya btw,"
"Jangan minta langsung, karena enggak bakal dikasih, minta sama temennya," usul Chandra.