"Bisa minggir," kata Xena datar.
Rifqi terkesiap, ia baru tersadar dari lamunannya sementara gadis itu sudah berbicara beberapa kali karena ia menghalangi jalan, rak-rak itu terlalu berdekatan dibagian ujung hingga menyebabkan ia tak bisa lewat.
Sepertinya ada sedikit kesalahan tata letak pada beberapa rak di sini, mungkin juga karena pengunjungnya sepi, karena kebanyakan anak lebih memilih untuk pergi ke kantin atau bersantai di tempat lain.
Perpustakaan hanya akan didatangi saat tugas-tugas menumpuk, atau sedang masa senggang dalam kelas daripada para murid ribut, setidaknya mereka tak akan berisik jika berada di perpustakaan.
"Sorry, ga sengaja, kamu mau baca buku?" tanya Rifqi seperti yang ia lamunkan sebelum ini.
Entah apa lagi ini. Xena menatapnya datar, kenapa malah menanyakan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya.
"Ya," sahut Xena malas.
pemuda itu pun mencoba bertanya seperti yang tadi ia lamunkan.
"Masih ingat aku?" tanyanya.
Xena terdiam, ia mungkin belum pikun, setidaknya ia masih bisa mendengar nada teriakan itu mengarah padanya.
"Yang tadi pagi marah-marah."
Rifqi mendesah. Sekecil itukah ia di mata Xena. Kenapa harus diingat bagian yang itu sih.
Pandangan matanya langsung terfokus ke buku yang dipegang oleh Xena.
"Itu buku favoritku." ujarnya spontan.
"Oh."
jawabannya sedikit lebih dingin, tapi ia masih belum menyerah.
Cowok itu tiba-tiba langsung menarik tangan Xena, jika benar seperti yang ia lamunkan, seharusnya ia menarik gadis itu untuk duduk di salah satu bangku, dengan dia yang duduk di sampingnya. Tapi biasanya hal yang di khayalkan kerap kali menjadi berbeda. Begitu dipegang, tangan gadis itu segera berkelit dan menghempaskan tangan Rifqi, hingga cowok itu terkejut. Xena kini menatap ke arahnya tajam, ia juga agak kaget karena orang yang baru dikenalnya malah pegang-pegang sembarangan.
"Jangan menyentuhku sembarangan!" kata gadis itu terdengar dingin dan penuh penekanan.
"Apa? maaf, aku hanya ingin mengajakmu membaca buku itu—" ujar Rifqi jadi merasa aneh. Gadis di depannya nampak marah.
Xena langsung menyerahkan buku itu pada Rifqi, dan Rifqi pun langsung mengambilnya.
"Silakan baca," kata Xena kemudian berlalu pergi dari sana, meninggalkan Rifqi yang terpaku sebab bayangan dan kenyataan berbanding terbalik.
"Apa yang sebenarnya ku lakukan," gumamnya.
Rifqi meringis.
"Kayaknya kamu punya saingan berat nih," bisik Chandra ke Dino yang sedari tadi mengintip dari jendela. Sebenarnya mereka sengaja mengikuti Xena. Namun siapa yang menyangka mereka akan mendapati drama seperti itu.
"Bodo," Sahut Dino dengan tampang
masam, dan langsung pergi meninggalkan Chandra, beruntung mereka berada di arah pintu lain, jadi saat Xena keluar dari ujung sana, ia tak melihat keduanya.
"Tapi pdkt anak itu agak payah, masa main pegang-pegang, gadis itu juga kelihatan marah besar, bisa jadi pelajaran buatmu nih, kalau mau deketin dia jangan buru-buru." kata Chandra memberikan nasihat.
"Yang mau deketin siapa?" kata Dino mengelak. sementara Chandra hanya bisa geleng-geleng kepala, sikap Dino cepat sekali ia berubah-ubah, sudah seperti bipolar saja.
"Ya Tuhan makasih, akhirnya temenku ngerasain yang namanya cemburu. Berarti dia beneran normal," katanya lagi entah di dengar Dino atau tidak.
Tentu sebagai teman ia senang melihat temannya itu jatuh cinta, karena selama ini, tak pernah sedikitpun melihat Dino dekat dengan gadis, seperti ada dinding pemisah, dirinya lebih memilih menjauh.
Sementara Dino sibuk dengan pikirannya tentang Xena
"Dia benar-benar unik," gumamnya lirih.
Sementara Xena memilih untuk kembali ke kelas, ia berhenti sejenak di tangga. Sekolah ini tak beda jauh dengan sekolah-sekolah nya sebelum ini. Tidak ada banyak yang berubah.
Bedanya di sekolah sebelumnya ia tidak banyak didekati orang, malah lebih suka menghindarinya kalau bisa.
Tapi di sini, mereka terlihat sok akrab. Apalagi dua pria berisik itu pikirnya. dan yang di perpustakaan tadi.
Tepat waktu sekali. Pada akhirnya bel berbunyi, menyuruh nya untuk kembali ke kelas.
Sementara gadis itu sudah pergi jauh. Rifqi masih di sana. Duduk di salah satu kursi dengan buku yang tadi berada di genggamannya, tidak ia baca sedikit pun. Melainkan hanya ia putar-putar saja.
Niat bacanya seketika menghilangi. Ia kaget karena rupanya gadis itu bisa kesal juga.
"Kok aku jadi enggak tenang begini," ujarnya.
"Nak. Nak Rifqi!"
Lagi-lagi ia melamun, pria itu langsung menoleh ke sumber suara begitu tahu siapa yang tengah memanggilnya. Pak Kartoyo, penjaga perpustakaan.
"Kenapa Pak?" Tanya Rifqi bingung.
"Tidak masuk kelas? Bel sudah bunyi dari tadi." kata Kartoyo menjelaskan.
"Apa?" Rifqi terbelalak dan langsung bangkit pergi, sial dia ada jam dengan guru killer, bisa-bisanya ia lupa dan malah tidak mendengar bel.
Sementara Kartoyo hanya geleng-geleng kepala.
Ia kemudian melihat buku yang tergeletak di atas meja, dan meletakkannya di rak kembali.