Chereads / Dabanetcher / Chapter 17 - Bermalam di Tengah Hutan

Chapter 17 - Bermalam di Tengah Hutan

Kabut hari itu membuat pandangan siapapun terbatas, termasuk para kuda yang sudah berjalan selambat mungkin. Austin yang sejak semalam sulit tidur menjadi khawatir kalau perjalanan pagi ini kembali terhambat. Kalau saja dia tidak membawa putranya, sudah sejak kemarin dia memutuskan menggunkan kuda tanpa duduk di dalam kereta ini. Duduk di dalam kereta membuatnya tidak bisa berkutik sama sekali. Pergerakannya terhambat dan membuat perjalanan ini begitu lama.

"Cari sumber air, kita berhenti sampai kabut menghilang!" perintahnya.

Setelah lama berjalan akhirnya rombongan mereka berhenti di tepi sungai. Kabut masih saja menutup pandangan. Austin turun lebih dulu. Merentangkan tangan agar putranya bisa turun dengan mudah. Lou Och melompat turun dan digendong sang papa mendekat pada sungai.

"Tetap waspada!" peringat Austin sebelum duduk di tepi sungai bersama putranya. Sudah seminggu sejak keberangkatan mereka dari kerajaan. Tapi, jarak yang ditempuh tidak sebanding dengan waktu yang mereka habiskan. Cuaca yang tidak mendukung membuat semua perbekalan habis lebih awal dari perkiraan mereka.

"Carilah ikan, Ziu!" titah Austin. Segera setelah perintah tersebut diberikan, Ziu mencari ikan di sungai. Sebenarnya tidak sulit kalau saja tidak ada kabut yang menutup pandangan.

Lou Och memperhatikan sekitar, lantas bergidik membayangkan ada hewan buas tiba-tiba muncul diantara semak belukar. Dia percaya pada papanya, hanya saja dalam kondisi ini dia tetaplah merasa takut. Austin yang melihat putranya menatap sekitar dengan waspada mengelus pucuk kepala Lou Och.

"Secepatnya akan segera sampai," ujar Austin menenangkan. Lou Och mengangguk mendengar ucapan menenangkan dari papanya. Meskipun tahu itu tidak secepat yang dibicarakan, setidaknya dia tahu papanya begitu peduli pada ketakutannya.

Sarapan hari ini hanyalah ikan bakar. Austin telaten menyingkirkan duri dari daging ikan untuk dimakan putranya. Sementara Lou Och juga mencoba mencari makannya sendiri meskipun kalah cepat dengan papanya yang secepat kilat mengisi piring makannya.

"Makan saja Lou!" ujar Austin merasa gemas melihat Lou Och yang berusaha memisahkan daging ikan dari duri. Tampak amatiran dan begitu menggemaskan di matanya.

"Terima kasih," ujar Lou Och dan meletakkan ikan yang masih tampak utuh tersebut di atas daun. Mulai menyantap makanan di hadapannya dengan lahap sesekali memperhatikan papanya yang juga menatapnya penuh rasa sayang. Lou Och tersenyum membuat Austin ikut mengulas senyum.

Perjalanan mereka benar-benar terhambat. Bukan lagi karena kabut, melainkan hujan lebat. Beruntung insting Austin masih begitu kuat sampai meminta pengawalnya membangun gubuk. Jadi, sebelum rintik hujan mulai membasahi tanah yang lembab ini, mereka sudah berlindung di bawah gubuk.

Dua pengawal berdiri di luar gubuk demi menjaga dan mengawasi para kuda. Sementara lainnya berjaga di dalam bersama kedua tuan mereka. Lou Och duduk memeluk lututnya di sebelah papanya yang duduk bersila. Menatap luar gubuk yang memperlihatkan hujan deras bersama dengan petir. Ini pengalaman buruk baginya.

"Dulu, saat kakek masih hidup, papa sering diajak berkelana. Membangun gubuk di tengah hutan dan bermalam di sana. Menikmati hujan di dalam gubuk ditemani ubi bakar," ujar Austi mulai bercerita. Lou Och mendongak, menatap papanya yang terlihat menatap lurus pada luar gubuk. Tersenyum begitu lembut sampai menghanyutkan Lou Och. Membuat remaja itu lupa bahwa sosok di sebelahnya ini seorang raja dari sebuah negeri yang ia tinggali.

"Papa suka berpetualang?" tanya Lou Och akhirnya penasaran.

"Ya, seorang raja harus suka berpetualang. Kamu juga harus menikmati saat-saat seperti ini. Nantinya akan ada hujan badai yang harus kamu hadapi sendirian tanpa papa," ujar Austin menasehati. Lou Och mengangguk dan kembali menatap hujan di luar sana yang masih saja mendesak tanah untuk menyerap air.

Tidak lama, hujan sudah berhenti. Meninggalkan tanah becek dan dedaunan yang layu. Udara lembab nan dingin membuat Lou Och mengantuk. Apalagi perutnya yang telah terisi makanan sehingga tubuhnya sudah siap mencerna makanan dengan baik.

Austin tersenyum tipis melihat putranya menahan kantuk. Sesekali remaja itu akan berjengit kaget saat tubuhnya miring ke kanan dan ke kiri tidak sadarkan diri. Akhirnya karena kasihan, Austin menarik kepala putranya untuk tidur menyandar pada bahunya. Awalnya Lou Och bersikeras menolak sandaran nyaman tersebut dan keras kepala ingin terjaga, tapi akhirnya luluh juga.

Beberapa pengawal melihat interaksi bapak dan anak tersebut dengan senyum mengembang. Sudah cukup lama tidak melihat interaksi manis mereka. Mungkin karena Lou Och yang telah beranjak dewasa sehingga tidak bisa terus-menerus menempel pada sang bapak atau bahkan karena kesibukan Austin menjadi sang pemimpin membuat waktunya tidak lagi tersisa untuk dihabiskan bersama putra tunggalnya.

Hujan sudah reda saat Lou Och membuka matanya. Melihat sang papa berdiri di ambang pintu sedangkan dia berbaring di tumpukan jerami. Dengan tubuh yang belum sepenuhnya sadar, Lou Och beringsut duduk dalam diam.

"Sudah bangun?" tanya Austin saat berbalik dan melihat putranya mengucek matanya menyingkirkan rasa kantuk yang tersisa. Lou Och mengangguk dan hal tersebut mampu mengundang senyum gemas sang papa. Austin mendekat pada Lou Och kemudian mengelus surai kecokelatan putranya penuh rasa sayang. Lou Och yang menerima sentuhan lembut itu terbuai dan memejamkan mata. Dadanya menghangat mendapat perlakuan manis dari sang papa. Sentuhan Austin mampu membuat Lou Och merasa aman dan tenang.

"Papa ..." panggil Lou Och dengan suara seraknya. Austin bergumam sebagai jawaban. Lou Och mendongak menatap wajah tampan papanya, "papa menyayangiku?" tanya Lou Och tiba-tiba bertanya. Itu cukup membuat Austin mengernyitkan kedua alisnya keheranan.

"Tentu saja, kamu putra papa, tidak mungkin papa tidak menyayangimu," ujar Austin dengan suara lembut yang sudah lama dirindukan Lou Och. Lou Och menarik tangan besar papanya, meminta pria dewasa tersebut duduk di hadapannya. Austin menurut dan duduk bersila di hadapan putra tercintanya.

"Lou Och pikir papa sudah tidak menyayangi Lou Och. Lou Och takut dipukul papa," adu Lou Och dan menatap sendu pada sang papa. Austin merasa sangat bersalah sudah bersikap kelewatan terhadap putranya. Harusnya dia lebih bersabar dan memberikan pengertian agar Lou Och bisa bersikap lebih dewasa dan bertanggung jawab.

"Maaf, sudah membuat Lou Och terluka. Papa tidak akan melukai Lou Och lagi. Papa hanya ingin Lou Och tidak selalu bersikap manja dan tumbuh menjadi pemuda tangguh. Lou mengerti maksud papa, 'kan?" tanya Austin dan diangguki oleh Lou Och.

Dengan hangat kesalahan Austin terselesaikan. Lou Och tampak kembali nyaman bersama papanya. Bahkan saat mereka harus menginap di dalam gubuk sempit tersebut, Lou Och dengan senang hati mengisi malam penuh canda tawa. Itu membuat Austin merasa senang dan menyingkirkan rasa kekhawatirannya akan masa depan Lou Och.

"Tidur, Sayang. Besok kita kembali melakukan perjalanan panjang. Butuh banyak energi untuk melaluinya," ujar Austin melihat Lou Och sibuk bermain api. Menyalakan ranting pohon dan menempelkannya pada tanah membuat tanah kecokelatan tersebut menjadi hitam karena arang.

"Lihat papa! Aku menulis silsilah keluarga. Aku belajar dengan baik, 'kan?"

Austin mengembuskan napasnya pasrah saat Lou Och kembali menjadi bocah bandel. Tapi, dia mendekat juga dan melihat hasil karya putranya pada tanah di dalam gubuk. Rupanya sejak tadi Lou Och tengah menuliskan silsilah keluarga yang ia pelajari di sekolahnya. Austin senang akhirnya Lou Och mau belajar bahkan mengingatnya.

"Apa lagi yang kamu pelajari di sekolah, Sayang?" tanya Austin ingin tahu.

Lou Och mengetuk-ketuk dagunya dengan ranting pohon yang ujungnya telah berubah menjadi arang tersebut. Bertingkah layaknya seorang cendekiawan yang tengah berpikir keras. Austin tersenyum melihat dagu putranya menjadi hitam.

"Aku belajar aljabar, itu pelajaran menghitung. Aku bisa menghitung uang dengan baik," jawab Lou Och akhirnya mengingat pelajaran berhitung yang sangat sulit baginya.

"Benarkah? Coba ajari papa berhitung uang," ujar Austin dengan antusias. Dia mengusap dagu putranya selagi remaja itu menuliskan angka-angka di tanah dengan ranting tersebut.

Malam itu mereka bermalam di tengah hutan. Menghabiskan waktu berdua ditemani gelapnya malam dan bisingnya serangga malam. Lou Och tidur saat selesai menunjukkan kemampuan berhitungnya kepada sang papa. Austin senang putranya bisa pandai berhitung dan meninabobokan remaja tersebut di gubuk sederhana yang entah mengapa terasa hangat sekali.