"Apa gunanya menteri?" gumam Jifan mendadak. Hal itu mampu menghentikan Yuan. Laki-laki itu diam mendengar gumaman dari sang adik yang begitu mendadak dan keluar dari topik.
***
"Apa maksudmu?" tanya Yuan tidak mengerti.
"Maksudku, untuk apa mempekerjakan mentri kalau raja yang harus menyelesaikan masalah mereka?" jelas Jifan. Dia hanya merasa kasihan kepada ayah serta kakaknya. Bekerja keras untuk menggantikan kerjaan orang lain. Pemimpin tapi dijadikan buruh.
"Mereka bekerja sesuai bidang mereka dan tentu raja harus bisa me ...."
"Itu dia!" cetus Jifan cepat tanpa memberi waktu kepada sang kakak untuk menyelesaikan ucapannya. Yuan tidak mempermasalahkan ketidaksopanan adiknya. Rencananya memang mengajak adiknya berpikir kritis dengan masalah yang terjadi di tempat mereka tinggal.
"Mereka yang seharusnya menyelesaikan permasalah pada bidang mereka. Lalu kenapa malah mengirim masalah kepada pemimpin? Tugas mereka semua menulis naskah atau apa?" tuding Jifan dengan pikiran polosnya. Itu datang secara mendadak dalam benaknya dan keluar secara reflek. Karena keadaan dan suasana yang nyaman membuatnya mau bersuara secara langsung mengeluarkan pemikirannya yang setiap saat hanya diam membusuk di kepalanya.
"Semua masalah akan dibahas di aula. Raja memberitahu penyelesaian yang mungkin bisa diambil dan para menteri akan menyetujui atau memberi saran lain. Begitulah sistem kerjanya," jelas Yuan. Dia tahu kemungkinan adiknya tidak mengerti bagaimana di ruang aula terjadi diskusi tegang saat mulai membahas suatu masalah. Jifan tidak pernah menyaksikan aula jadi tidak tahu tugas-tugas dan cara kerja semua ini. Mungkin sedikit demi sedikit Yuan akan mengajari adiknya agar remaja itu tidak buta politik.
"Lalu, kenapa mempekerjakan seorang cendekiawan pada bidangnya kalau pada akhirnya membahas bersama? Bukankah sama saja mereka harus mempelajari seluruhnya untuk menyelesaikan satu permasalahan?" tanggap Jifan masih bertahan dengan pertanyaan di kepalanya.
Pantas saja anak para menteri dengan bangga mengatakan diri sebagai orang kaya. Kerjanya santai tanpa resiko tinggi dan mendapat keuntungan yang besar. Tidak bisa dibayangkan bagaimana mereka hidup dalam semua kemudahan yang diberikan ayahnya, sementara ayahnya sendiri bekerja siang malam tiada henti.
"Bukan seperti itu, Jifan! Kami semua bekerja sama demi mem ...."
"Lalu apakah itu bisa dikatakan kerja sama kalau seorang perdana menteri di daerah Sidosari melimpahkan permasalahan daerahnya kepada raja? Bukankah seharusnya dia sudah membuat penyelesaian lalu mengusulkannya kepada raja?" pungkas Jifan untuk kedua kalinya memotong ucapan Yuan. Yuan tersenyum tipis mendengarkan seorang Jifan mau membuka mulutnya dan berbicara banyak.
Tidak perlu diragukan lagi untuk menjadikan Jifan pemimpin, pemikirannya sulit diterima namun memang menyelesaikan masalah. Membuka pikiran orang-orang agar melaksanakan hal baru yang lebih efisien. Yuan dulu merasa tugas raja terlalu berat dan ditekan banyak pihak untuk segera menyelesaikan masalah. Dan berkat pemikiran Jifan hari ini dia sadar bahwa seharusnya tugas-tugas tersebut dikerjakan oleh pihak lain yang ditunjuk pada bidang tersebut di daerah tersebut.
"Rakyat melapor, kepala daerah membuat pertemuan dengan perdana menteri lantas perdana menteri menyelesaikan masalah tersebut. Kalau terlalu kompleks barulah dirundingkan bersama raja. Kenapa malah raja yang diperbud ...."
"Jifan!" tegur Yuan. Jifan mengatupkan mulutnya segera. Yuan tentu tidak ingin adiknya semakin dipandang remeh oleh para pelayan dan lainnya hanya karena ucapannya yang asal ceplos. Padahal biasanya Jifan tidak banyak omong, kenapa sekarang begitu menggebu-gebu? Apa karena dia tahu malam ini bisa ikut sebuah pertemuan resmi sehingga dia merasa senang dan dalam suasana hati yang baik.
"Jadi, menurutmu sistem kita sekarang kurang bagus?" tanya Yuan kembali menghidupkan diskusi. Jifan mengangguk. Yuan manggut-manggut mendapat jawaban singkat tersebut dan kembali membuka gulungan lain. Hal tersebut tak luput dari tatapan Jifan. Remaja itu setia menatapi apa saja yang dilakukan Yuan.
"Kenapa warna kainnya berbeda?" tanya Jifan mendadak. Dia baru sadar warna kain yang digunakan untuk surat berbeda-beda. Apakah ada aturan khusus terkait pemilihan warna? Atau hanya asal pilih kain asal memiliki isi yang baik.
"Kamu memperhatikan semua detail?" tanya Yuan cukup dibuat ternganga dengan pertanyaan Jifan. Siapa juga yang peduli dengan warna kain surat. Hanya Jifan saja yang tampaknya memerhatikan. Sebosan itu adiknya sampai apa saja diperhatikan.
"Apa warna kain mewakili daerah?" tanya Jifan tidak peduli dengan wajah cengo Yuan.
"Tentu saja tidak. Mereka bebas memilih kain," jawab Yuan dengan tenang. Dia seperti menjadi seorang ayah yang siap menjawabi pertanyaan konyol putranya. Apa ayahnya juga seperti ini saat bersama Jifan?
"Kenapa tidak dibuat perdaerah? Itu cukup memudahkan kurir dan si penerima," gumam Jifan dan menghadap pada arah lain. Itu hanya asal ceplos dari pemikiran Jifan tapi pada akhirnya membuat Yuan memikirkannya segera. Benar ucapan Jifan. Kalau semua daerah memiliki warnanya masing-masing para kurir sengan mudah membagi perdaerah agar tidak tercampur dan membuat otak raja dan otaknya pusing tujuh keliling. Dia akan mengusulkannya minggu depan.
Setelah itu tidak ada lagi percakapan antara kedua kakak beradik itu. Keduanya sibuk dengan urusan masing-masing. Yuan yang harus secepatnya membaca semua surat dari menteri sedangkan Jifan duduk termenung memandangi apapun yang melintas di depannya. Termasuk para pengawal yang berjalan hilir mudik mengawasi istana tanpa pembicaraan apapun. Atau bahkan semut yang berjalan berbondong-bondong membawa persediaan makanan. Sudah musim hujan dan mereka baru mengumpulkan makanan. Terlambat.
Terlambat.
Itu juga kata yang cocok untuk dia mengatakan rencana pembangunan bendungan di Ansashi. Itu sudah cukup terlambat. Mereka harus menunggu di musim kemarau tahun depan untuk melangsungkan proyek besar tersebut. Atau kalau terburu-buru bisa terjadi banyak kecelakaan karena ini musim hujan. Debit air yang kuat di sungai karena musim hujan akan menyulitkan para pekerja membangun bangunan bendungan.
Ya, mungkin mereka memang berencana menumbalkan pekerja agar bisa dilangsungkan permohonan kepada dewa. Budaya itu sangat mengganggu pikirannya sejak dulu. Kalau semua memiliki keinginan apakah harus menumbalkan makhluk lain untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan? Lalu kalau semisal dia ingin menyingkirkan seseorang apakah dia juga harus menumbalkan orang lain agar dia bisa membunuh orang? Artinya dia sudah menyingkirkan orang lain kan? Apa tandanya doanya terkabul. Membingungkan.
"Pergilah ke kamarmu, kamu tampak seperti anak domba kehilangan induknya," ujar Yuan mampu membuat kesadaran Jifan kembali pada raganya. Jifan mengembuskan napas sejenak dan melangkah turun dari gazebo. Menunduk sejenak pada sang kakak dan melangkah pergi ke kamarnya.
Salahkan saja ayahnya. Ayahnya yang mengajaknya keluar kamar lantas langsung meninggalkannya seorang diri bersama Yuan. Padahal sudah jelas hubungannya tidak cukup baik dengan si sulung. Jelas saja sekarang dia tampak seperti anak domba kehilangan induknya. Ayahnya tidak masuk akal.